Suarr.id–Harun al-Rasyid adalah seorang khalifah yang sentimental cum mudah dipengaruhi oleh perasaan. Dikatakan oleh Ahmad Amin di dalam karyanya, Biografi Harun al-Rasyid, ia adalah sosok khalifah yang-kalau dibilang nakal, ya memang. Tetapi, di dalam kitab Tarikh Madinati Dimasyqa, karya Ibnu ‘Asakir, diceritakan bahwa Harus al-Rasyid setiap hari salat seratus rakaat selama hidupnya sampai ia wafat, kecuali ketika ia udzur. Dikatakan juga bahwa ia bersedekah setiap harinya sebanyak seribu dirham yang ia keluarkan dari kantongnya sendiri, bukan milik kerajaan.
Selain itu Harun al-Rasyid tak pernah absen berangkat haji. Tiap kali ia berangkat haji, ia selalu menyertakan seratus orang terdiri dari para ulama dan putra-putranya untuk juga diikutsertakan berangkat haji bersamanya. Kalau pun ia tidak berangkat haji karena suatu udzur, maka ia akan memberangkatkan haji sebanyak tiga ribu orang di antara rakyatnya. Menurut Khalifah bin Khiyath, ia berangkat haji sebanyak sepuluh kali, yakni pada tahun 170, 173, 175, 176, 179, 181, 186, 188 dan 193 Hijriah.
Tak cukup itu saja, ia juga tak pernah menyia-nyiakan siapa pun yang menengadahkan tangan kepadannya. Tak pernah juga menunda-nunda pemberiannya kepada seseorang. Tak pernah mengungkit-ungkit pemberian yang telah ia berikan kepada orang tempo hari. Nyah-nyoh kalau istilah Jawanya. Di samping loyal, ia juga sangat menaruh hati pada bidang keilmuan. Terbukti dengan pesatnya perkembangan dunia keilmuan Islam di bawah pemerintahannya. Memiliki pribadi agung seperti itu, tak heran jika kabar wafatnya menghentak hati seluruh rakyatnya, wazir-wazirnya, bahkan orang-orang non-muslim Eropa saat itu.
Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Tak ada satu pun kematian seseorang yang membuatku sangat bersedih kecuali kematian Harun al-Rasyid. Bahkan aku rela jika Allah mengurangi umurku untuknya.”
Harun al-Rasyid dan Abu Nawas
Yang menarik, di mana ada Harun al-Rasyid di situ ada Abu Nawas. Banyak sekali riwayat yang menceritakan tentang keduanya. Di antaranya adalah seperti cerita di bawah ini:
Diceritakan, Harun al-Rasyid adalah raja diraja yang memiliki pembantu yang begitu banyak. Di antaranya adalah budak-budak perempuan. Dan ada satu orang budak perempuannya yang membuat Harun al-Rasyid jatuh cinta kepadanya. Tapi zaman sekarang sudah tidak ada lagi yang namanya budak, dan otomatis Milk al-Yamin pun juga tidak ada. Bukan malah diada-ada. Ada-ada saja! Hih.. Kembali lagi, gadis tersebut memiliki warna kulit kecoklatan dan watak humoris. Dalam bayangan saya mungkin seperti warna kulit perempuan Indonesia umumnya, sawo matang.
Saking cintanya, Harus al-Rasyid tak mau pisah dengan gadisnya barang semalam saja. Segala perhiasan ia berikan kepada gadisnya. Kalung, gelang, anting, cincin, mutiara, intan, dan berlian. Semuanya dengan kualitas nomor wahid.
Sampai suatu hari datang lah Abu Nawas menghadap Harun al-Rasyid guna ngobrol sastra dengannya. Karena, pada masa itu, Abu Nawas adalah penyair yang sangat terkenal dengan kepiawaiannya bersyair. Maka sebab itu, Abu Nawas sering dipanggil ke istana untuk mendendangkan syair-syairnya di hadapan sang Khalifah.
Biasanya, Harun al-Rasyid tidak pernah tidak takjub kalau mendengar syair-syair Abu Nawas. Ia selalu terpukau dibuatnya. Tapi hari itu berbeda. Ada yang lebih menakjubkan daripada syair Abu Nawas, yaitu gadis yang ada di sampingnya. Sang khalifah sama sekali tak menghiraukan Abu Nawas yang sedari tadi membual berbait-bait syair di hadapannya dan malah sibuk hahahihi mesra-mesraan dengan gadisnya.
Merasa dirinya tak dianggap, Abu Nawas segera pergi meninggalkan istana dengan kedongkolan memenuhi hatinya. Di tengah-tengah ia melangkahkan kakinya menuju pintu utama, ia menemukan satu kamar yang sepi dari pengawasan penjaga istana. Kamar itu milik gadis penyebab dirinya diacuhkan oleh Harun al-Rasyid.
Walaupun kalap, Abu Nawas tak kehabisan akal. Ia mengambil pena di sakunya dan mulai menulis besar-besar satu bait syair yang berbunyi,
لقد ضاع شعري على بابكم * كما ضاع عقد على خالصه
“Telah sia-sia syairku di hadapanmu,
seperti kalung yang tak ada gunanya bagi Khalisha.”
Ya, Khalisha adalah nama gadis yang Harun al-Rasyid cintai. Setelah Abu Nawas selesai menulis satu bait tersebut di pintu kamar Khalisha, ia lalu pulang dengan badan menggigil seperti orang demam saking marahnya kepada Khalisha.
Keesokan harinya, para pelayan Khalisha satu persatu lapor kepadanya bahwa ada tulisan bernada menghina besar terpampang di pintu kamarnya, tapi ia tak mengindahkan sama sekali ucapan mereka, karena semalam ia tidak melihat kejanggalan apa pun di pintu kamarnya.
Karena laporan itu terus datang, ia jadi penasaran dan beranjak dari ranjangnya untuk memastikannya benar atau tidak. Benar saja. Setelah ia memeriksa sendiri barulah ia percaya dan merasa harga dirinya sebagai kekasih Khalifah diinjak-injak. Ia tidak terima dan murka.
“Demi Allah, ini pasti kerjaan Abu Nawas, dia cemburu khalifah kurebut darinya. Awas kau Abu Nawas, kupenggal kau!!” ujar Khalisa
Ketika Harus al-Rasyid mendatangi Khalisha, ia mendapati Khalisha sesenggukan di atas bantal. “Kamu kenapa, Dik?” tanya Harus al-Rasyid. Tapi yang ditanya tak menjawab malah menarik tangan Harun dan membawanya menuju depan kamar.
“Lihatlah itu!!” sambil menunjuk pintu “Tak mungkin seorang pun yang menulis bait itu kecuali Abu Nawas.”
“Ya. Aku tahu persis tulisan Abu Nawas, dan ini memang tulisan tangannya. Kan kuberi sanksi dia sampai berjanji tak akan mengulanginya kembali. Suruh dia mengahadap kepadaku!!”
Maka para prajurit kerajaan segera menyebar mencari Abu Nawas. Tiap rumah digeledah. Akhirnya Abu Nawas mengetahui bahwa dirinya menjadi buronan istana. Belum selesai para prajurit mencarinya. Abu Nawas malah menyerahkan diri dengan menghadap khalifah sendirian. Dengan keyakinan digenggam.
Prajurit penjaga gerbang istana kaget. Pasalnya, wong prajurit lain sedang memburunya, lha ini malah datang sendiri. Akhirnya, tanpa pemeriksaan Abu Nawas langsung dipersilakan masuk sendiri. “Sudah ditunggu khalifah,” kata prajurit.
Jalan menuju aula istana hanya satu dan untuk sampai ke aula harus melewati kamar-kamar para selir Harun al-Rasyid. Termasuk kamar Khalisha. Abu Nawas sudah tahu ihwal kenapa ia dipanggil. Sudah pasti syair dzamm atau hinaannya kepada Khalisha. Maka sejak berangkat dari rumah, ia sudah menyiapkan ide untuk pembelaannya. Ia mencari kamar Khalisha. Tak butuh waktu lama ia menemukannya. Karena ia masih hafal betul dengan pintu kamar orang yang menghina dirinya.
Abu Nawas memandangi bait yang ditulisnya. Sejurus kemudian ia menghapus lekung/perut huruf ‘ain pada kata ضاع. Dan tinggallah kepalanya yang mirip huruf hamzah (ء). Jadilah bait tersebut berbunyi;
لقد ضاء شعري على بابكم * كما ضاء عقد على خالصه
“Bersinar benderang syairku pada pintumu.
Sebagaimana berkilau kalung di lehermu.”
Setelah menghapus perut ‘ain menjadi hamzah, ia melanjutkan langkahnya menuju aula istana. Sesampainya Abu Nawas di aula, Harun al-Rasyid langsung mengeluarkan sumpah serapahnya di hadapan Abu Nawas.
“Waihak Ya Aba Nawas…”
“Keparat kau, Abu Nawas!! Apa maksudmu menulis bait itu di pintu kamar Khalisha?” teriak Harun al-Rasyid.
“Apa yang engkau maksud, wahai Tuanku?” tanya Abu Nawas berlagak tidak tahu.
“Syair yang membuatku murka!”
“Ayolah, Tuan. Aku tidak paham apa yang engkau maksud. Aku memujinya, bukan menghinanya. Kalau tidak percaya, mari kita lihat.”
“Baiklah, kalau saja apa yang kaukatakan adalah dusta belaka, maka kau kan kubunuh!”
“Baiklah.”
Kemudian khalifah beranjak menuju kamar Khalisha dan diikuti Abu Nawas di belakangnya. Sesampainya di depan pintu, Harun al-Rasyid membaca syair yang terpampang.
لقد ضاء شعري على بابكم * كما ضاء عقد على خالصه
Bukannya tambah murka, Harun al-Rasyid malah memberi Abu Nawas seribu dinar.
“Lho, wahai Amirul Mukmin, dia kan mengganti ‘ain dengan hamzah. Dia menghapus perut ‘ain-nya sedemikian rupa.” Protes salah satu wazir.
“Memang, aku juga sudah tahu. Karena kecerdasannya, aku memberinya hadiah.” Jawab Harun al-Rasyid dengan raut sumringah
Khalisha tertegun mendengarnya. Tak berhasil ia membuat Abu Nawas menderita.