Adonis: Aku Dilahirkan untuk Puisi

“Adonis” merupakan salah satu penyair Arab modern paling berpengaruh saat ini, ia sekaligus seorang pemikir pembawa suara kebaruan di jantung puisi-puisinya. Pada paruh abad 20, ia memimpin revolusi modernisme kesusastraan Arab di barisan terdepan dari apa yang disebut “Revolusi Penyair Baru”. Aksinya ini dianggap sebanding dengan revolusi modernisme yang dilakukan oleh TS Elliot dalam khazanah kesusastraan Inggris.

Adonis sendiri bukanlah nama asli. Diambil dari legenda Babilonia kuno, nama itu diberikan oleh Anton Sa’adah, pendiri dan ketua Partai Nasionalis Syuriah di tahun 1940-an. Dalam naungan partai inilah, Adonis turut andil tergabung di lembaga sastra dan seni. Ia adalah seorang sosialis dan pendukung loyal Pan-Arabisme.

Adonis lahir dan tumbuh besar di kota kecil Qassabin, dekat Lakasia, Suriah. Sewajarnya sebagai seorang bocah, ia juga kerap bekerja di ladang. Tetapi, Ahmad Said Esber—ayahnya—memastikan betul penguasaan Adonis kecil terhadap puisi-puisi Arab. Di usia muda sekali (14 tahun), ia telah menulis syair-syairnya sendiri.

Pada tahun 1944, saat Presiden Suriah pertama kali—Shukri al-Kuwatli—tengah berkunjung ke desanya, dengan keberanian yang aneh Adonis membacakan puisi-puisi heroik karyanya sendiri di depan Presiden dan membuatnya terpesona.

Melihat itu, sang Presiden lantas bertanya, “Apa yang bisa saya bantu?”

Dengan lantang Adonis menjawab, “Aku ingin pergi ke sekolah”

“Sudah barang tentu, kamu akan pergi ke sekolah,” jawab sang Presiden memastikan

Yang ia ingat usai kejadian itu, ada satu baris puisi ciptaan Adonis yang digunakan sang Presiden ketika berpidato. “For us you are sword, for you we are sheath”.  Berawal dari puisi akhirnya ia jadi pergi ke sekolah di kota Tartus. Dan berkat puisi pula ia menganggap dirinya dilahirkan untuk puisi.

Karir pendidikannya diteruskan di Universitas Damaskus, bidang hukum dan filsafat. Pada tahun 1954, ia berhasil menggondol gelar BA (Bachelor of Arts). Dengan proyek disertasinya yang berjudul “Yang Statis dan Dinamis dalam Budaya Arab”, Adonis sukses merengkuh gelar doktor spesifikasi Sastra Arab di Universitas Saint Joseph pada tahun 1973.

Oleh sebab pertentangannya dengan rezim politik pada tahun 1956, ia akhirnya melarikan diri ke negeri tetangga, Lebanon. Pada masa ini ia memainkan peran yang penting bagi wajah baru budaya Arab. Utamanya kala ia mendirikan majalah Asy’ir dan Mawaqif bersama koleganya, Yousuf al-Khal. Melalui kanal media ini, ia membuka jalan baru puisi Arab dalam hal modernisme dan evolusi puisi serta prosa puisi.

Pada tahun 1981, Adonis menetap di Paris karena kecamuk perang saudara yang meletus di Lebanon. Titik ini membentuk satu corak lain di diri Ali Ahmad Said—nama asli Adonis. Yaitu, mistisisme tanpa agama dan sufistik tradisional serta proses menjelajah di garis perbatasan melalui jalan surealis dan metafisik individualisme.

Di Indonesia, Adonis kebanyakan dikenal lewat buku babonnya “al-Tsaâbit wal Mutahawwil” (Yang Mapan dan Yang Berubah). Buku—yang mulanya disertasi—ini telah dialihbahasakan dengan apik, padat, dan gamblang oleh tim penerbit LKiS. Selain itu, seterbatas pencarian saya, setidaknya sudah ada 3 buku lainnya tentang Adonis, baik bentuk terjemahan maupun tulisan yang mendedah pemikirannya, antara lain: “Nyanyian Mihyar dari Damaskus”, (2008) penerjemah Ahmad Mulyadi, “Panggung dan Cermin”, (2018) penerjemah Fazabinal Alim dan “Adonis: Gairah Membunuh Tuhan, Cendekiawan Arab-Islam”, (2011) penulis Zacky Khoirul Umam.

Sejak tahun 2002, Adonis juga mulai menggemari kebiasaan baru—melukis. Perpaduan antara gambar yang abstrak, semburat tinta yang surealis bersanding karib dengan kaligrafi tulis tangan yang liris. Di saat sukar menulis puisi, ia memenuhi hasratnya dengan kegemaran barunya itu. Tapi meski begitu, puisinya tidak pernah kering.

Elaborasi antara puisi dan lukisan, ia ingin menciptakan sebuah kreasi gambar yang abadi; dengan tambahan kata-kata berwarna dalam tubuh lukisan. Tidak sedikit yang mengatakan Adonis adalah seorang pelukis, tetapi ia menepis pernyataan tersebut. Ia lebih suka dipanggil sebagai seorang penyair, karena yang dilakukannya tak lain adalah perpanjangan dari puisi itu sendiri.

Hasil gambar untuk bank photo adonis ali ahmad said png

Adonis sedang berpose di depan Rakima (nama lain Kolase)

Sejarah mencatat, Adonis pernah melawat sekali ke Indonesia pada tahun 2010. Kunjungan ini diinisiasi oleh Komunitas Salihara di Jakarta. Di sana, ia diberi panggung kehormatan untuk menyampaiakan kuliah umum dengan tajuk “Kebenaran Agama dan Kebenaran Puisi”.

Garis besar isi dari makalah yang disampaikannya sebagaimana berikut ini:

Puisi dan kebenaran puisi sepenuhnya bertolak belakang dengan agama dan kebenaran agama. Kebenaran dalam puisi tidak tetap, tidak pernah final dan senantiasa samar. Puisi dalam makna ini berada di luar kebenaran agama dan menembus batasnya. Dalam posisi ini puisi seperti suatu karakter yang tak lazim atau bebas. Tidak ada yang tidak berubah dalam kebenaran puisi. Puncak kreativitas dalam puisi adalah keterputusan dan kesinambungan. Artinya, kreativitas tersebut berada dalam suatu proses ketegangan: persambungan dan pemutusan. Situasi puisi berbeda dengan agama. Puisi berproses dalam situasi yang terus berubah dan menjadi, sedangkan agama berada dalam situasi yang pasti, abadi, dan tanpa perubahan.

Agama adalah jawaban. Sedangkan puisi adalah pertanyaan. Sebab itu agama tidak akan bisa menjadi rujukan puisi. Bahasa puisi adalah dialog antara yang terlihat dan yang tak terlihat, antara alam nyata dan alam gaib. Puisi puisi adalah objek pertanyaan dan keraguan, bukan objek keimanan dan kepasrahan. Oleh karena itu, kita melihat kebenaran puisi dicari dalam yang tak diketahui dan non-rasional, berbeda dari kebenaran agama. [1]

Goenawan Muhammad—sastrawan besar Indonesia—memiliki kesan unik menguraikan tentang diri Adonis.

 Agaknya tiap kali Adonis lahir. Sebaris sajak dalam Concerto: “Uban ramai di kepalaku, tapi isi badanku fajar anak-anak.” Tatapannya seperti melihat dunia buat pertama kali: riang, ingin tahu, pandangan bocah yang cerdas, ceria dan jail di umur yang sudah hampir seabad.  [2]

Puisi Bagi Adonis

Bagi Adonis sendiri dalam memandang puisi memiliki makna yang berlainan dari penyair kebanyakan. Menurutnya tidak ada perbedaan antara puisi dan pemikiran. Puisi adalah pikiran, dan pikiran yang hebat juga puisi. Dia menjelaskan lebih lanjut bahwa puisi itu melampaui batas klasik puisi tradisional; puisi melebihi aturan-aturan yang mengaturnya. Puisi dapat ditemui dalam novel; dalam artian puisi dapat ditemukan dalam bahasa filosofis.

Tak sedikit filsuf yang sekaligus menjadi seorang penyair, seperti Nietzsche atau nenek moyang orang-orang Suriah, Heraclitus. Jadi dengan cara menjadi penyair juga harus menjadi pemikir, karena jika kita mengubah dunia kita tidak hanya mengubah citra atau bentuk dunia, bersamaan kita juga mengubah maknanya. Puisi harus menjadi cara baru untuk melihat dunia, bukan deskripsi atau narasi horizontal tetapi visi vertikal.

Capaian dan penghargaannya sudah bejibun sangat banyak. Karya-karyanya apalagi, telah diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa. Bahkan beberapa kali namanya digadang-gadang sebagai calon terkuat peraih Nobel Sastra.

Dari kanan ke kiri: Ahmad Matar, Blind Haydar, Nizar Qabani, Adonis, Naji Ali dan Musthofa zein–London (1986).