Ritual keagamaan, seberapapun pentingnya dalam kehidupan keagamaan, hanyalah sekedar “simbol”. Paling jauh adalah aktivitas yang membantu pelakunya mengoperasikan keruhaniahannya dengan lebih baik. Betapapun juga terkait etika, hukum, politik, kemanusiaan dan soal-soal yang lainnya, puncak keberagaman atau inti beragama selalu ada di “alam ruhani.”
Agama memang tak pernah bisa dilepaskan dari keruhanian (spiritualitas). Agama tanpa spiritualitas bukanlah agama, namun hanya simbol-simbol kosong tanpa makna. Dan, karena itu, jika ia dilaksanakan secara fisik namun tak melahirkan dampak apa-apa, maka yang ia lakukan hanyalah seperti fragmen orkestra.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa tanpa ragu, tujuan beragama adalah keruhaniahan. Jika kita urutkan, bermula dari janji keimanan kepada Tuhan, yang diikrarkan saat (cikal) manusia masih bersifat ruhani dan berakhir ketika manusia menjadi sepenuhnya ruhani lagi setelah mati.
Banyak ulama’ menganalogikan bahwa, “Manusia (ketika hidup di dunia ini) sesungguhnya dalam keadaan tertidur. (Baru) ketika mati, mereka terjaga“. Karena hakikatnya pasca kematianlah kita memperoleh apa yang kita lakukan di dunia yang fana ini. Maka para sufi memberikan petuah bahwa, “Agar kita terus terjaga, maka matilah sebelum kalian mati.” Dalam bahasa yang biasa kita pakai yaitu “Mati sakjroning urip”, yakni mati secara fisik (nafsu hewani) agar yang tinggal hanya ruhani kita.
Walaupun dalam prakteknya sangat sulit, namun dapat kita pahami bahwa meski keadaan kita masih dalam selubung fisik, namun kita tak pernah kehilangan kontak dengan ruhani. Seperti yang dikatakan para pelaku tasawuf bahwa, “Kita bukanlah makhluk manusia yang memiliki pengalaman spiritual, namun kita adalah makhluk spiritual yang menjalani pengalaman sebagai manusia.”
Dalam kerangka ini, jasad manusia hanyalah kendaraan dalam menggali makna-makna spiritual dalam perjalanan hidupnya di alam fisik. Sebab, pada puncaknya, yang esensial bagi manusia adalah makna dari pengalaman-fisiknya itu.
Disini saya hadirkan sepenggal syair dari Syekh Hamzah Fansuri ulama’ dari Aceh yang berjudul “Sidang Ahli Suluk“.
“Hamzah Fansuri di dalam Mekkah, mencari Tuhan di Bait Al-Ka’bah. Dari Barus ke Qudus terlalu payah, akhirnya dijumpa di dalam Rumah” (Sidang Ahli Suluk bagian 3 bait 14).
Di dalam syairnya Syekh Hamzah Fansuri membagikan pesan atau pengalaman spiritual yang pernah dilakoninya kepada kita. Beliau dengan jujur mengungkapkan bahwa selama ini ia telah bersusah payah mencari Tuhan di luar dirinya, hal ini disimbolkan dengan Ka’bah atau pun Qudus (nama masjid di Yerusalem: Masjid al-Aqsa).
Proses pencarian Tuhan di luar dirinya tersebut telah membawanya mengembara ke mana-mana meninggalkan kampung halamannya yang bernama Barus di Aceh. Tetapi, akhirnya beliau tersadar, bahwa Tuhan yang selama ini dicarinya di luar diri, ternyata dijumpa di dalam “rumah”, di dalam dirinya sendiri. Proses “perjumpaan” dengan Tuhan di dalam dirinya sendiri ini telah mengakhiri “pencarian” yang meletihkan dari seorang Hamzah Fansuri.
Bagi seorang sufi sejati, penemuan Tuhan sebagai “jati dirinya” sendiri akan membuat hidupnya benar-benar bebas dari segala keterikatan apa pun, ia berada dalam “kemiskinan Ilahiah”, kemiskinan yang membebaskannya dari segala kemelekatan pada kesementaraan benda-benda, pada ilusi dunia yang tercipta dari pikirannya sendiri.
Ia bersiap sedia mengorbankan dirinya demi melayani kehendak Ilahi. Ia tidak lagi tersekat-sekat dalam pandangan sempit kesukuan atau fanatisme agama, karena ia telah menyadari bahwa keberadaannya yang sementara selalu berada dalam keberadaan Sang Maha Abadi.
Ia sadar bahwa fungsinya di dalam dunia hanyalah menjadi perantara atau pembawa pesan dari Keabadian, dari Allah yang senantiasa bersemayam dalam hatinya. Itulah yang diungkapkan oleh Syekh Hamzah Fansuri, yang saya kutip secara bebas, di dalam syair yang berjudul “Sidang Ahli Suluk”.