Suarr.id – Salah satu pemikir kuno yang menurut saya memiliki peran menarik namun tidak banyak diketahui dalam semesta pemikiran Abû Hâmid al-Ghazâlî adalah Galenus dari Pergamon (dalam bahasa Arab biasa dialih-suarakan menjadi Jâlinûs), dokter dan filosof dari zaman Romawi kuno.
Hubungan antara al-Ghazâlî dan Galenus menarik karena menghadirkan kepada kita interaksi yang kritis namun juga akrab di antara dua pemikir yang berbeda latar belakang budaya dan agamanya ini: Beberapa aspek dari pemikiran Galenus dikritik dengan keras oleh al-Ghazâlî, namun beberapa yang lain ia terima dan ia adopsi dalam karya-karyanya.
Dalam otobiografinya, al-Munqidz min adh-dhalâl, ketika menjelaskan aliran-aliran pemikiran dalam filsafat Yunani kuno, al-Ghazâlî menyebut keberadaan mazhab yang ia sebut ath–thabî‘iyyûn, “kaum Naturalis.”
Ia menyebut mazhab ini sebagai golongan yang—berbeda dari “kaum Materialis” (ad-dahriyyûn) dan “para ahli metafisika” (al-ilâhiyyûn)—mengkaji alam secara mendalam sehingga menemukan keajaiban, keindahan, dan keteraturan dalam alam (perlu dicatat, ini adalah argumen teleologis dalam ikhtiar membuktikan Tuhan melalui filsafat).
Akibatnya, para pemikir dalam mazhab ini percaya pada keberadaan Tuhan dan menulis karya-karya yang mengupas tentang “anatomi dan manfaat anggota badan” (‘ajâ’ib manâfi‘ al–a‘dhâ’). Sayangnya, mereka ini, kata al-Ghazâlî, tidak percaya kepada kenabian dan oleh karena itu pantas disebut kaum zindîq.
Al-Ghazâlî sama sekali tidak menyebut siapa saja tokoh pemikir yang menganut keyakinan ‘naturalis’ ini. Tapi melihat deskripsi yang ia berikan: bahwa kaum Naturalis itu mendekati Tuhan secara teleologis dan bahwa mereka itu tidak percaya kepada kenabian, tak pelak lagi, al-Ghazâlî sedang membicarakan pemikiran Galenus dari Pergamon.
Dan ketika menyinggung karya yang mengupas “anatomi dan manfaat anggota badan,” al-Ghazâlî pastilah sedang merujuk pada salah satu karya utama Galenus, De Usu Partium. Karya ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab beberapa abad sebelum al-Ghazâlî lahir oleh Hunain ibn Ishâq, dan isinya diparafrasekan dalam dua buku yang dinisbatkan kepada pemikir Kristen dari Irak abad ke-9, Jibrîl ibn Nûh al-Anbârî, dan teolog Mu‘tazilah awal, al-Jâhizh (omong-omong, buku yang terakhir ini, yang berjudul al-‘Ibar wa-l-I‘tibâr, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Serambi dengan judul Desain Ilahi).
Baca juga: Gema al-Ghazali dalam Karya-karya Barhebraeus
Al-Ghazâlî pastilah sudah membaca karya Galenus ini, entah melalui terjemahan Hunain ibn Ishâq atau melalui parafrase Jibrîl ibn Nûh dan al-Jâhizh. Dan terlepas dari ketidaksukaan al-Ghazâlî terhadap penulisnya yang ia sebut zindîq, gemanya bisa kita rasakan dalam dua karya sang Hujjat al-Islâm: yang pertama adalah sebuah risalah tipis, al-Hikmah fî Makhlûqât Allâh (kalau buku ini, entah sudah berapa kali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia).
Dan yang kedua adalah dalam salah satu bab Buku ke-39 magnum opus-nya, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, Kitâb at-Tafakkur, yang ia beri judul “Bayân Kaifiyyat at-Tafakkur fi Khalq Allâh” (“Tentang Cara Merenungkan Ciptaan Allah”). Kedua buku ini mengajak kita untuk menemukan keindahan, kerapian, dan telos (tujuan) dalam kosmos. Dus, seperti Galen, al-Ghazâlî mengajak kita untuk menggunakan argumen teleologis dalam mencari Tuhan.
Aspek kedua dari daya tarik Galenus kepada al-Ghazâlî adalah kebiasaannya menulis otobiografi dan menyelipkan informasi otobiografis dalam karya-karyanya. Al-Ghazâlî terkenal biasa memetakan buku-buku yang pernah ia tulis dan mengajari para pembacanya tentang bagaimana mereka mendekati buku-bukunya. Ini sesuatu yang Galenian banget.
Galenus menulis sejumlah buku otobiografis, terutama De libris propriis (Tentang Buku-bukuku) dan De ordine librorum propriorum (Tentang Urutan Buku-bukuku) dan De propriorum animi cuius libet affectuum et peccatorum dignotione et curatione (Nafsu dan Kesesatan Diri, yang mengingatkan kita pada otobiografi al-Ghazâlî sendiri, yang ia beri judul al-Munqidz min adh-dhalâl, atau “Penyelamat dari Kesesatan”).
Lewat cerita tentang al-Ghazâlî dan Galenus ini, kita bisa sedikit paham tentang sesuatu yang lain: tentang interaksi sang Hujjat al-Islâm dengan tradisi filsafat secara umum. Dalam buku-buku babon tentang sejarah filsafat Islam, al-Ghazâlî biasanya dipandang sebagai lawan atau musuh filsafat.
Para pengkaji filsafat Islam di Barat sejak Ernest Renan hingga Majid Fakhry biasanya memandang ulama Persia ini sebagai representasi ‘ortodoksi’ atau ‘dogma’ yang anti terhadap ‘filsafat’ atau ‘rasionalisme’. Shlomo Munk sampai-sampai menyebut al-Ghazâlî sebagai ‘eksekutor’ filsafat di Islam Timur yang membuatnya “tak pernah bangkit kembali.”
Dari interaksinya dengan Galenus, kita bisa melihat bahwa al-Ghazâlî tidak patut disebut sebagai ‘musuh filsafat’ atau ‘eksekutor utama’ kehancuran filsafat Islam seperti yang biasa kita baca dari buku-buku babon lama tentang filsafat Islam. Lebih tepat melukiskan interaksi al-Ghazâlî dengan filsafat sebagai perjumpaan kritis.
Beberapa aspek dari pemikiran filsafat Yunani kuno ia serap dan ia selaraskan dengan semesta pemikiran Islam, sementara aspek-aspek lain yang ia anggap salah ia serang dengan kritis. Hasilnya adalah bukan kehancuran tradisi ilimiah dan filsafat dalam Islam, tapi terserapnya tradisi pemikiran filosofis di dalam semesta pemikiran Islam. Dan peran al-Ghazâlî dalam proses ini sangatlah besar.