Anjing dan Abu Yazid al-Busthomi: antara Najis zahir dan Najis Batin

Abu Yazid al-Busthomi merupakan sosok maha guru, seorang wali agung, sekaligus wakil kebenaran. Tentangnya, kenangan dari Imam Junaid al-Baghdadi mengatakan:

“Ia adalah lelaki dari Khurosan, di mana kedudukan nya di antara kita seperti kedudukan Malaikat Jibril di antara malaikat-malaikat lainnya.”

Menimbang dari uraian tersebut menunjukan kepada kita, bahwa sufi kaliber penyandang nama asli Taifur ini keilmuannya begitu luas dan sudah terakui, maqom-nya bukan kelas teri lagi. Meski begitu, ia tetap saja merendah hati dan mau menerima pelajaran dari seekor anjing, yang dianggap kotor oleh kebanyakan orang.

Terlebih lagi karena mayoritas penduduk Indonesia bermadzab Syafi’i. Tak syak lagi jika doktrin kepada kita semasa kecil  berbuntut pada tertanamnya stereotip tidak baik dalam memandang seekor anjing. Walaupun begitu, kenajisan anjing tidak berarti bahwa Islam membenci anjing. Maka dari itu tidak ada alasan satupun yang tepat bagi kita untuk menyakitinya dan menganggap rendah lagi hina dina kepada seekor anjing. Boleh jadi, ia justru lebih suci dalam arti yang sesungguhnya. Sebagaimana kisah antara seekor anjing dan penggede para sufi, Abu Yazid al-Busthomi.

Suatu hari Abu Yazid tengah menyusuri jalan ketika seekor anjing berlari di sampingnya. Melihat hal ini, Abu Yazid buru-buru mengangkat jubahnya.

Seandainya saja tubuhku kering,” sergah si anjing itu, “aku tidak melakukan kerusakan apa-apa terhadap jubahmu itu. Dan seandainya tubuhku basah, engkau pun cukup menyucikanya dengan air bercampur tanah tujuh kali. Lalu selesailah persoalan di ananta kita. Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubahmu seperti orang Parsi (Persia), dirimu tidak akan menjadi bersih walau engkau membasuhnya dengan air dari tujuh samudra sekalipun.”

Benar sekali, kau najis di luar, sedangkan aku najis di dalam.” jawab Abu Yazid “Ayoo, kita bekerja sama, sehingga kita bisa menjadikan diri kita bersih.”

Engkau tidak pantas berjalan bersama denganku dan menjadi sahabatku.” Jawab si anjing. “Karena manusia-manusia menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu, tetapi siapa pun yang bertemu denganmu mereka akan menerimamu dengan haru bahagia sebagai raja di antara para mistikus (sufi).  Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang akan tetapi engkau memiliki periuk-periuk dipenuhi gandum untuk makanan esok hari.”

Aku tidak pantas berjalan bersama seekor anjing,” kata Abu Yazid yang tampak gelisah begitu hebat. “Bagaimana aku dapat berjalan bersama Dia yang Abadi dan Kekal?

Mahabesar Allah yang telah memberikan pengajaran kepada yang termulia di antara makhluk-Nya melalui yang terhina di antara semuannya!

Wallahu ‘alam

Kisah disarikan dari Kitab Tadzkirotul Auliya, Fariduddin Attar