Bagaimana Membedakan Buku yang Palsu dari yang Otentik dalam Korpus al-Ghazali (1)

Suarr.id–Sejak di masa hidupnya di abad ke-11 M, hingga sekarang di abad ke-21 M, Abu Hamid al-Ghazali adalah salah seorang ulama yang paling berpengaruh di Dunia Islam. Karena alasan ini, selalu ada potensi karya-karya palsu yang sebenarnya bukan karangannya tapi dinisbatkan kepada Mahaguru Madrasah Nizhamiyyah ini. Motivasinya bermacam-macam. Misalnya, penulis yang ingin karyanya menjadi best-seller di pasar buku akan tergoda untuk menyebut al-Ghazali sebagai penulis buku yang ia karang. Atau seseorang yang ingin mendiskreditkan nama baik sang Hujjat al-Islam di panggung pemikiran Islam akan menulis buku yang berisi pemikiran yang sesat lalu menisbatkanya kepada ulama kelahiran Thus ini.

Para pengkaji al-Ghazali di zaman modern sudah sejak lama bergulat dengan persoalan ini: bagaimana kita membedakan karya al-Ghazali yang otentik dari yang meragukan dan palsu? Apa kriteria yang bisa kita gunakan untuk membedakan karya yang otentik dari yang palsu?

Untungnya, beberapa aspek dari tugas berat ini diringankan oleh al-Ghazali sendiri. Ia biasa mengutip buku-bukunya sendiri dan kerap melakukan rujukan silang ketika membicarakan suatu topik tertentu. Otobiografi spiritualnya, misalnya, bukan sekadar narasi tentang pencarian kebenaran yang ia lakukan sepanjang hayatnya, tapi juga catatan oto-bibliografis tentang buku-bukunya. Jadinya, kita bisa tahu bahwa al-Ghazali menulis Maqashid al-Falasifah dan Tahafut al-Falasifah tentang filsafat, menulis Fadha’ih al-Bathiniyyah untuk menyerang Isma‘iliyyah-Nizariyyah, dll. Kita bisa menarik simpulan bahwa buku-buku tersebut benar-benar ditulis oleh al-Ghazali dan tak mungkin palsu.

Sayangnya, rujukan silang oleh al-Ghazali ini hanya menyebut puluhan karyanya. Padahal, kitab-kitab yang dinisbatkan kepada sang Hujjat al-Islam berada dalam kisaran 400-an judul! (404 judul dalam hitungan Maurice Bouyges dan 450 judul dalam hitungan Abdurrahman Badawi, tapi hitungan mereka mungkin saja mencakup buku sama yang berjudul ganda). Bagaimana kita menangani korpus Ghazalianum dalam skala raksasa ini?

Pada tahun 1950-an, W. Montgomery Watt menawarkan kriteria baru yang di kemudian hari berpengaruh cukup besar dalam Ghazalian studies. Bertolak dari karya-karya yang secara pasti benar-benar ditulis oleh al-Ghazali seperti al-Iqtishad fi-l-I‘tiqad, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, atau Tahafut al-Falasifah, Watt berargumen bahwa karya-karya ini menyajikan kepada kita sudut pandang dan pemikiran tertentu yang akan ‘diulang’ dalam karya-karyanya yang lain.

Dalam Iqtishad, misalnya, al-Ghazali mengajarkan kepada kita teologi Asy‘ari dalam format yang canggih dan dalam bahasa yang enak dibaca dan sistematis; sementara dalam Tahafut, al-Ghazali menyerang dengan keras ajaran-ajaran al-Farabi dan Ibn Sina dalam metafisika dan ilmu alam. Maka, kata Watt, buku apa saja yang dinisbatkan kepada al-Ghazali tapi berisi ajaran yang secara eksplisit berbeda dari Iqtishad dan Tahafut patut kita curiga sebagai palsu.

Lewat kriteria ini, Watt curiga bahwa Bab 3 Misykat al-Anwar adalah palsu. Alasannya adalah bahwa bab ini ia pikir mengajarkan doktrin emanasionisme yang dikritik dengan keras oleh al-Ghazali dalam Tahafut. Mana mungkin ajaran yang dikritik dengan keras oleh al-Ghazal di satu buku, kata Watt, malah ia anut di buku yang lain? Tidakkah ini kontradiktif? Lewat kriteria yang sama, Watt meragukan otentisitas risalah-risalah tipis yang secara tradisional biasa dinisbatkan kepada al-Ghazali seperti ar-Risalah al-Laduniyyah, Mizan al-‘Amal, dan al-Ajwibat al-Ghazaliyyah. Alasannya sama: buku-buku ini mengajarkan doktrin Avicennian tentang metafisika dan psikologi.

Kriteria yang ditetapkan Watt berpengaruh cukup kuat terhadap banyak pengkaji al-Ghazali di Barat. Meneruskan pemikiran gurunya, salah seorang murid Watt, Hava Lazarus-Yafeh, menetapkan kriteria lain lagi untuk membedakan karya yang otentik dari yang palsu: penggunaan istilah-istilah teknis filsafat. Dalam karya-karyanya yang otentik, kata Lazarus-Yafeh, al-Ghazali tak pernah menggunakan istilah-istilah teknis filsafat yang diciptakan oleh al-Farabi atau Ibn Sina, seperti al-‘aql al-fa“al, al-‘aql al-kulli, al-‘aql al-qudsi, dll. Jadi, karya-karya yang dinisbatkan kepada al-Ghazali tapi menggunakan istilah-istilah di atas, bisa dipastikan, kata Lazarus-Yafeh, karya-karya tersebut tak mungkin ditulis olehnya.

Penalaran yang sama dikemukakan oleh Eric Ormsby dalam disertasinya yang membicarakan konsep teodisi dalam tasawuf al-Ghazali. Ia curiga risalah populer al-Hikmah fi Makhluqat Allah bukanlah karangan al-Ghazali. Alasannya adalah bahwa buku ini menekankan pentingnya telos atau tujuan dalam penciptaan alam yang dalam pandangan Ormsby akan bertentangan dengan konsep Asy‘ariyyah tentang kemahakuasaan Tuhan. Dengan penalaran yang sama, A.S. Tritton berargumen bahwa Ma‘arij al-Quds fi Madarij Ma‘rifat an-Nafs bukanlah karya al-Ghazali. Alasannya sama dengan Watt: buku ini kental sekali beraroma ‘Aviennian’ sehingga tak mungkin ditulis oleh al-Ghazali, sang ‘musuh filsafat’.