Bagaimana Membedakan Buku Yang Palsu dari Yang Otentik dalam Korpus al-Ghazali (2)

Suarr.id–Sejauh ini, kriteria W.M. Watt untuk membedakan karya-karya al-Ghazali yang otentik dari yang palsu adalah kokoh dan secara argumentatif solid. Kita memang sebaiknya bertolak dari karya-karya yang otentik untuk menemukan gaya tulis, sudut pandang, dan pola pemikiran yang bisa kita sebut ‘khas al-Ghazali’. Baru setelah itu kita bisa menilai karya-karya lain yang dinisbatkan kepada sang Hujjat al-Islam.

Masalahnya adalah bahwa, berkenaan dengan korpus al-Ghazali, menetapkan kriteria yang solid untuk membedakan karya-karya yang otentik dari yang apokrif adalah satu hal, tapi memahami karya-karyanya secara tepat adalah soal yang lain lagi. Dan inilah tampaknya yang menjadi batu sandungan Watt. Ia beranggapan bahwa karya-karya yang kental ‘bernuansa Avicennian’ seperti Misykat al-Anwar, ar-Risalah al-Laduniyyah, dan Ma‘arij al-Quds sebagai karya-karya palsu atau setidaknya meragukan otentisitasnya.

Akar dari simpulan ini tampaknya adalah persepsinya tentang Tahafut al-Falasifah sebagai karya al-Ghazali yang ‘membantah’ ajaran-ajaran al-Farabi dan Ibn Sina. Dalam bukunya, Islamic Philosophy and Theology, Watt melihat sejarah perkembangan teologi dan filsafat sebagai riwayat tanggapan para cendekiawan Muslim terhadap serangan ‘gelombang Helenisme’. Gelombang pertama Helenisme berlangsung di era awal Dinasti ‘Abbasiyah ketika para khalifah menjadi patron gerakan penerjemahan teks-teks filsafat Yunani kuno ke dalam bahasa Arab yang antara lain melahirkan Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah dalam gelanggang pemikiran teologi.

Al-Ghazali hidup dalam periode selanjutnya, masa yang oleh Watt disebut kurun ‘gelombang kedua Helenisme’. Periode ini bermula di abad ke-10 dan didominasi oleh dua ‘raksasa’ dalam filsafat Islam: Abu Nashr al-Farabi dan asy-Syaikh ar-Ra’is Ibn Sina. Kedua filosof Muslim ini membangun sistem pemikiran yang luas dan padu, mencakup sains, metafisika, hingga psikologi agama. Peran al-Ghazali dalam gelombang kedua Helenisme ini, kata Watt, adalah melakukan pembacaan kritis terhadap filsafat: beberapa aspek dari ajaran filsafat yang ia anggap salah dan bertentangan dengan agama ia kecam dengan sengit, sementara aspek-aspek lainnya yang netral atau malah mendukung agama ia serap ke dalam pemikiran teologi dan hukumnya. Dalam konteks ini, Tahafut memiliki peran strategis: sebagai bantahan terhadap ajaran-ajaran para filosof, buku yang oleh Watt diterjemahkan menjadi Inkonsistensi Para Filosof ini menunjukkan apa saja ajaran-ajaran para filosof yang dapat diterima dan mana yang tidak.

Tak pelak bahwa Tahafut al-Falasifah merupakan ‘bantahan’ (radd) terhadap ajaran para filosof Muslim. Lewat buku ini, al-Ghazali menyerang aspek-aspek filsafat yang ia anggap salah atau bertentangan dengan ajaran agama. Tapi Tahafut adalah ‘bantahan’ dengan strategi unik. Tanpa pembacaan yang cermat terhadap buku ini, kita akan mudah salah menangkap poin-poin yang hendak dicapai oleh al-Ghazali melalui karya seminal ini.

Strategi Tahafut dalam ‘membantah’ ajaran para filosof Muslim mungkin akan terlalu panjang bila dibicarakan secara detail di sini. Tapi intinya adalah bahwa seperti yang dijelaskan oleh dalam mukadimah buku ini, al-Ghazali bermaksud untuk menujukkan bahwa tidak semua ajaran para guru filsafat di masa lalu, seperti Platon, Aristoteles, dll, telah mencapai tingkat kebenaran tertinggi yang tak mungkin dibantah; kebenaran yang telah mencapai tingkatan demonstrasi (burhan, apodeixis). Alih-alih, beberapa di antaranya diperoleh lewat spekulasi teoretis yang sulit dibuktikan kebenarannya, atau malah dirumuskan dengan tergesa-gesa oleh mereka (yang menjadi latar belakang pemilihan judul buku oleh al-Ghazali: Tahafut al-Falasifah, yang sebaiknya kita terjemahkan menjadi “Kecerobohan Para Filosof.”

Kedua puluh bab Tahafut al-Falasifah dikerahkan bukan untuk menunjukkan bahwa ke-20 ajaran para filosof yang dipilih tersebut tidak benar atau tidak sesuai dengan ajaran Islam seperti yang kita baca dari Qur’an atau Hadis, tapi hanya untuk menunjukkan bahwa ajaran-ajaran tersebut tidak mencapai tingkat kebenaran demonstratif. Strategi al-Ghazali dalam membuktikan hal ini adalah dengan mengkritisi teori-teori para filosof tersebut, lalu mengajukan penjelasan alternatif yang ia comot dari mana saja. Dalam ungkapan al-Ghazali sendiri, “Aku tidak berdebat dengan mereka [para filosof], kecuali sebagai seseorang yang menuntut [klarifikasi dari mereka] lalu membantahnya, bukan dengan mengklaim dan menunjukkan [teori alternatif yang lebih benar].” Intinya, lewat Tahafut al-Ghazali tidak bermaksud membangun, tapi menghancurkan. Dan pandangan al-Ghazali sendiri tentang topik-topik tersebut bagaimana? Kita dibiarkan tidak mengetahuinya.

Karena Tahafut cuma bermaksud menunjukkan kecerobohan para filosof Muslim, bukan kesalahan mereka, kita bisa melihat bahwa al-Ghazali juga memanfaatkan teori-teori para filosof yang disusun melalui ‘spekulasi teoretis yang tidak demonstratif’ tersebut untuk menjelaskan pemikiran-pemikirannya sendiri, utamanya dalam ranah ilmu alam, epistemologi, psikologi, bahkan tafsir. Teori Ibn Sina tentang psikologi mungkin saja ia bantah sebagai teori yang tidak demonstratif menurut standar logika dalam Tahafut, tapi ia tetap memanfaatkannya sebagai landasan teoretis psikologi ruhani dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din, misalnya.

Seandainya kriteria Watt di atas kita terapkan secara ketat: bahwa setiap buku yang memanfaatkan teori-teori Avicennan adalah palsu dan tak mungkin ditulis oleh al-Ghazali, semestinya Ihya’, Kimiya-yi Sa‘adat, Misykat al-Anwar, dll pun patut kita anggap apokrif juga! Sebab, nuansa ‘Avicennian’ pun kental terasa dalam buku-buku tersebut. Yang problematik, dengan demikian, adalah penafsiran Watt terhadap Tahafut, juga hubungan antara al-Ghazali dan Ibn Sina, yang kemudian berpengaruh terhadap keputusannya untuk menuduh apokrif karya-karya al-Ghazali yang memanfaatkan teori-teori Ibn Sina untuk merumuskan ajaran-ajarannya sendiri.

Kriteria Watt bahwa korpus al-Ghazali yang memanfaatkan teori-teori Ibn Sina adalah palsu atau setidak-tidaknya meragukan, dengan demikian, dirumuskan—meminjam istilah al-Ghazali—secara tergesa-gesa dan dengan demikian, kita masih terbuka untuk mengkaji karya-karya semisal ar-Risalah al-Laduniyyah, al-Hikmah fi Makhluqat Allah, Ma‘arij al-Quds, lebih-lebih Mizan al-‘Amal dan Misykat al-Anwar sebagai karya-karya al-Ghazali yang otentik. Dan PR kita selanjutnya? Merumuskan secara lebih tepat hubungan intelektual di antara al-Ghazali dan Ibn Sina.