Belajar dari Gus Dur, Tidak Pernah Punya Pacar dan Lebih Banyak Membaca Buku

K.H. Abdurrahman Wahid atau biasa disapa dengan panggilan Gus Dur, lahir dengan nama Abdurrahman Ad-Dakhil, pada tanggal 4 Agustus 1940 di Jombang dan merupakan anak pertama dari enam bersaudara.

Ayahnya K.H. Abdul Wahid Hasyim, adalah putra dari pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang, dan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama yaitu K.H Hasyim Asy’ari. Selain itu, ibundanya juga seorang anak tokoh besar Nahdlatul Ulama, yaitu Nyai Hj. Sholehah yang merupakan putri K.H. Bisri Syansuri, yang merupakan Rois Aam Nahdlatul Ulama setelah K.H. Wahab Hasbullah.

Sejarah kehidupan Gus Dur, tidak mencerminkan kehidupan seorang keturunan ningrat. Beliau hidup dan berproses sebagaimana layaknya masyarakat pada umumnya. Meminjam istilah Clifford Geertz, beliau adalah seorang santri dan sekaligus priyayi.

Sejak kecil Gus Dur belajar di pesantren, bahkan saat berusia lima tahun beliau sudah lancar membaca Alqur’an, yang mana gurunya pada waktu itu adalah kakek beliau sendiri yaitu K.H. Hasyim Asy’ari.

Pada saat masih kecil, beliau tidak seperti kebanyakan anak seusianya yang memilih bertempat tinggal dan dekat dengan ayahnya. Namun, Gus Dur ikut bersama kakeknya di pesantren Tebuireng, Jombang, belajar mengaji dan membaca Alqur’an bersama kakeknya. Selain itu, Gus Dur juga memperdalam ilmu agama, dan belajar ilmu politik dari orang-orang yang berkunjung ke kediaman kakeknya.

Gus Dur kecil kian akrab dengan dunia politik melalui kolega-kolega ayahnya, yang sering mampir ke rumahnya. Buku, bola, catur, dan musik merupakan empat hal yang tidak pernah lepas dari pengamatan masa kecilnya. Dalam hal literasi kaitannya dengan pengetahuan masa kecilnya, beliau juga sering memanfaatkan waktunya di perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu, beliau juga tidak melupakan untuk menambah koleksi bacaannya untuk datang ke perpustakaan umum yang ada di Jakarta.

Saat usianya menginjak 16 tahun, Gus Dur lebih sering menggunakan waktu sehari-harinya dengan mendalami dunia literasi dan membaca buku. Beliau akrab dengan hal-hal yang waktu itu asing, diantaranya adalah majalah, surat kabar, novel, dan buku-buku berat seperti buku filsafat, dokumen-dokumen sejarah mencanegara, dan fiksi sastra. Sehingga beliau dikenal sebagai seorang tokoh yang bacaannya sangat kuat.

Maka tidak heran jika Gus Dur pernah memberikan pengakuan, “Saya ini gak punya pacar, teman main saya hanya buku dan bola”.

Mungkin saja, kesibukan Gus Dur dengan dunia literasi dan membaca buku tidak sempat memikirkan dunia percintaan di masa muda, sehingga beliau tidak punya pacar. Atau mungkin saja, kalau punya pacar hanya akan mengganggu fokus belajar beliau. Walaupun tidak punya pacar, Gus Dur pun juga menikah dan dikaruniai anak-anak hebat yang selalu memperjuangkan nilai-nilai yang diajarkan oleh beliau.

Dari kisah hidup Gus Dur tersebut, bisa kita contoh tentang bagaimana semangat membaca beliau terhadap berbagai buku. Tidak punya pacar, bukan berarti malah menjadi malas-malasan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Gus Dur tidak pernah punya pacar, tetapi waktunya dipergunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, salah satunya yaitu membaca dan menulis. Bahkan beliau juga pernah memenangkan lomba karya tulis sewilayah kota Jakarta dan mendapatkan hadiah dari pemerintah.

Dan yang paling penting adalah walaupun beliau tidak punya pacar, pada akhirnya beliau menikah. Kesibukannya dalam belajar dan menuntut ilmu, tidak melupakan salah satu perintah sebagai umat Nabi Muhammad saw, yaitu menikah.