Sepeninggalnya sang Hujjatul Islam—Imam al Ghazali—pada tahun 505 H, lima tahun sesudah itu lahirlah bayi laki-laki dari daratan Baghdad yang nanti akan menjadi sarjana agung dan penggede ulama abad ke-enam hijriah.
Nama lengkapnya adalah Abul Faraj Abdurrahman Abil Hasan Ali bin Muhammad bin Ali bin Ubaidillah bin Abdullah bin Hummadiy bin Ahmad bin Muhammad bin Ja’far al Jauzi bin Abdullah al Qosim bin Nadhor bin al Qosim bin Muhammad bin Abdullah bin Abdurrahman bin al Qosim bin Muhammad bin Abi Bakar as-Shiddiq.
Ia merupakan sejarawan, pakar fikih, ahli tata bahasa, sekaligus ahli tafsir terkemuka pada masanya. Oleh kalangan di sekitarnya ia tenar dijuluki “Jamaluddin al-Hafiz”. Pensifatan gelar al hafiz ini, lantaran ketekunannya dalam muthola’ah dan mengumpulkan ilmu-ilmu yang ia peroleh. Namun, di benak para pengkaji ilmu pengetahuan dan di lisan masyarakat luas, namanya lebih pamor digaungkan dengan Ibn al Jauzi. Usut punya usut, ternyata kemasyhuran nama ini nisbat dari satu tempat di kota Basrah, di mana pada tahun 508 H/1114 M, bayi mungil penyandang nama Abdurrahman ini lahir di distrik al-Jauz.
Menyoal nama asli Ibn al Jauzi, ternyata kejelasannya masih simpang siur, banyak versi meriwayatkan hal tersebut. Satu contoh, dalam kitab “Dzailu Thobaqotil Hanabilah”, Ibn al Qathi’iy mendapatkan cerita bahwa nama dia—Ibn al Jauzi—adalah “al-Mubarok” hingga tahun 520 H. Berarti saat itu dia masih bocah yang berumur belasan tahun.
Lain lagi dengan keterangan yang dituturkan oleh Ibn al Jauzi sendiri; “ Saudaraku (baca: pamanku) bernama Syaikh Ibn Nashir memberiku nama: Abdullah dan Abdurrahman dan Abdurrozaq, tetapi aku telah diberi gelar tersendiri sehingga aku lebih kesohor dengan julukan tersebut.”
Akan tetapi, bila dilihat-lihat secara seksama dari ketiga nama dengan awalan Abd di atas, nama yang lebih populer adalah Abdurrahman. Selain soal nama, ketidakpastian lainnya juga menjangkau di ranah kapan titi mangsa Ibn al jauzi dilahirkan?.
Al-Mundziri mengira-ngira tahun kelahiran Ibn Al jauzi tepat di tahun 508 H, akan tetapi pendapat lain mengatakan tahun 510 H. Sedangkan, Ibn Kholkan menukil dari kitab “Dzailu Tarikh Baghdad” karangan Ibn Najjar, mengatakan: Abul Faraj Ibn al Jauzi telah berkata: “Aku tidak pernah memastikan kapan tahun kelahiranku, selain berdekatan dengan kematian ayahku di tahun 500 H, Ibuku juga bercerita kalau waktu itu umurku masih berkisar tiga tahunan.” Sementara, argumentasi ini dipertegas lagi oleh Ibn al Jauzi dalam kitabnya yang berjudul “Soidul Khotir” halaman 213: “Pada saat ayahku mati, waktu itu aku belum mengerti sama sekali—menyadari betul keadaan yang terjadi, bahkan ibuku pun tidak menoleh ke arahku.”
Tentu adanya perbedaan pendapat mengenai tahun kelahiran Ibn al Jauzi tidak untuk saling dibenturkan, tetapi perkara penting yang mesti ditandai bersama adalah acuan-acuan tahun kelahiran tersebut bisa menampilkan wajah sejarah yang sedang terjadi, baik menyibak kondisi sosial masyarakatnya, peradabannya, ataupun situasi pemerintah yang tengah bergejolak pada zaman itu?
Fakta ini menunjukan bahwa periode kelahiran Ibn Al Jauzi berbarengan dengan adanya dominasi Seljuk atas dinasti Abbasiyah dari khilafah al-Mustadhiri billah, yaitu rentang tahun 487 H sampai 512 H, yang mana dikenal sebagai periode dengan perpolitikan dan pertahanan yang kacau balau.
Masa Kecil
Ibn al Jauzi tumbuh besar sebagai anak yatim di tengah keluarga berpunya bersama ibu dan bibinya. Selama masa-masa perkembangan ini, bibinya menangkap sinyal positif dari keponakannya itu. Dinilai memiliki tingkat intelejensi dan kecerdasan di atas rata-rata, akhirnya ia dikirim ke masjid Abu Fadhl ibn Nashir—Muhammad Nashir al Hafiz—yang tak lain adalah pamannya sendiri. Di titik inilah Ibn al Jauzi dipoles dan digembleng dengan bermacam displin keilmuan yang banyak digemari para pelajar pada waktu itu.
Di bawah sentuhan tangan dingin pamannya, Ibn al Jauzi dikader menjadi seorang sarjana yang menjulang tinggi keilmuannya. Masa-masa bersama sang paman inilah merupakan masa yang penting bagi Ibn al Jauzi, sebab pada titik inilah yang menentukan corak mazhab apa yang akan diikuti. Satu bukti menampilkan bahwa Ibn al Jauziy merupakan seorang ahli fikih bermazhab Hanbali, bila ditelusuri genealogi keilmuannya, ternyata di masa kecilnya ia banyak dipengaruhi oleh sang paman ketika bergumul di pengajian-pengajian kitab yang mengkaji musnad al Imam Ahmad bin Hanbal.
Kegandrungannya terhadap ilmu pengetahuan, membuat ia hobi berkelana kemana-mana, meskipun jarak perjalanan hingga bermil-mil jauhnya. Di samping itu, ia juga berkarib baik dengan santri-santri yang tak seumuran dengannya, karena bagi Ibn al jauzi tidak ada waktu sedikitpun yang disisihkan untuk bermain bersama anak-anak di jalanan. Segalannya, ia curahkan untuk mengabdi kepada ilmu dan ilmu. Alih-alih menghabiskan waktu untuk kejar kejaran dengan anak sebayannya, ia justru lebih memilih bersimpuh di serambi masjid untuk belajar ilmu hadits, mengingat pelajaran apa yang didengar selama pengajian, kemudian setibanya di rumah ia tulis kembali.
“Aku adalah seorang yang mencintai ilmu pengetahuan sedari kecil, maka aku selalu menyibukkan diri denganya. Tidaklah aku batasi cita-citaku hanya dengan mencintai satu disiplin ilmu saja bahkan beragam ilmu aku juga pelajari.” Begitu ujar Ibn al jauzi menggambarkan dirinya sendiri.
Tak ketinggalan perhatian, Ibn al Jauzi kecil juga menaruh hati yang sangat dalam kepada Al-Quran sebesar ketertarikannya menghadiri majlis-majlis keilmuan. Kesaksian ini dinyatakan oleh Abu Syamah dalam kitab “adz-Dzailu ‘ala Raudlotain”, halaman 21 “Ibn al Jauziy mengkhatamkan al-Quran sekali dalam seminggu, dan ia hanya akan keluar rumah untuk mendatangai masjid saja, kalau tidak untuk salat jum’ah, ya mendatangi majelis ilmu.” Hari-hari ia habiskan dengan menekuri kitab-kitab dan memperbanyak muthola’ah. Bila ditaksir berapa banyak kitab-kitab yang sudah ia lahap, kurang lebih 20.000 kitab.
Kemudian, berbicara seputar guru-guru Ibn al Jauziy, bila dihitung dari segi kuantitas ternyata ia gemar nyantri kepada banyak guru, berpindah dari satu pondokan ke pondokan lainnya. Mereka di antaranya; Ibrahim bin Dinar an Nahrowaniy, Ahmad bin Ahmad bin Abdul Wahid al Mutawakkiliy, Ahmad bin Hasan bin Ahmad Abdullah bin al banna, Ahmad bin Hasan bin Hibatullah bin Husain al Muqri’ al Iskaf, Ahmad bin Said bin ali al ‘Ijliy, Ahmad bin Dzofar bin Ahmad al maghoziliy, Ahmad bin Ali bin Muhammad al Mujalliy, Ahmad bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Ahmad bin Sulaiman al baghdadiy, ahmad bin Muhammad bin Husain Utsman al Madzariy, Ahamd bin Muhammad bin Badul Aziz al ‘Abbasiy Asy Syarif, dan masih banyak yang lain lagi. Apabila seluruhnya ditotal, guru Ibn Al Jauzi mencapai delapan puluh sembilan syaikh. Jumlah yang fantastis bukan.
Sedangkan, mengenai buah karyanya sudah barang tentu tak bisa dikesampingkan lagi, produktivitasnya yang luar biasa dalam menulis membuat karyanya bejibun sampai empat ratus lebih. Anak-anak rohani itu antara lain bernama Ikhbar ahlirrusuh fil fiqhi wal hadits bimiqdaril mansukh minal hadits, Akhbar al Adzkiya’, Akkhbar al hamqa wal mughafalin, Akhbar adz-dzurof wal mutamajinin, Akhbar an Nisa’, Bustanul wa’idzin wa riyadus Sami’in, Tarikh Umar bin Khattab, Talbis Iblis, Taqwimul lisan, Ruhul Arwah, dan Sirah Umar bin Abdul Aziz, manaqib ahmad bin Hanbal, Manaqib al hasan al bashri, al muntadhim fi tarikhil muluk wal umam, dan Nawasikhul Quran.
Wafat
Malam Juma’at, di waktu antara magrib dan isyak, hari ke tiga belas bulan Ramadhan tahun 1200 M, Ibn al Jauzi meninggal dunia disebabkan penyakit darah yang menggerogoti kesehatanya selama lima hari sebelumnya. Ia menghembuskan nafas terakhir di rumahnya sendiri yang berdekatan dengan kuburan sufi arif billah Ma’ruf al Karkhi, sebelah barat kota baaghdad.
Dikisahkan, bahwa kabar kemangkatnnya merupakan duka yang tak terperi dan guncangan yang dahsyat di hati seluruh penduduk kota Baghdad. Bahkan sebagai penghormatan kali terakhir kepada Ibn al Jauzi, banyak pasar-pasar besar sepakat tutup meliburkan diri.
Ribuan orang mengiringi jenazah ibn al Jauzi menuju masjid al Manshur untuk disholati, menurut satu riwayat mengatakan bahwa yang mengimami sholat adalah anaknya sendiri, yaitu Abul Qosim Ali. Karena kelewat banyaknya pelayat yang hadir, masjid pun menjadi sempit, sesempit dada orang-orang yang menanggung kesedihan melepas kepergiannya. Disebutkan juga prosesi penyolatan jenazahnya bahkan dilakukan sampai dua kali. Semoga Allah merahmati dan mengasihinya.
Ibn al Jauzi dikebumikan di dekat kuburan Imam Ahmad rahimahullah. Sibtuh Abul Mudzfir—cucu Ibn al Jauzi—berkata: “Kakekku berwasiat kepadaku untuk menuliskan bait-bait syair ini di atas kuburannya.”
يا كثير العفو عمّن • كثر الذّنب لديه
جاءكَ المذنب يرجو الـ • ـصّفح عن جرم يديه
أنا ضيف و جزاء الـ • ـضّيف إحسان إليه
Duhai dzat yang berlimpah maaf, dari hamba yang banyak dosa
Datang kepada Mu mengharap ampunan dari kejahatan
Aku hanyalah tamu dan balasan bagi tamu hanya ingin diperlakukan dengan baik.