Coco (2017): Islam Nusantara dalam Dia de Los Muertos

Disney memang jempolan dalam memproduksi film animasi. Belum hilang ingatan publik akan paras indah Moana (2017), sebuah film animasi bergenre serupa muncul lagi. Drama bertajuk Coco (2017) ini sukses menyentak warga dunia pada bulan menjelang franchise Star Wars rilis dan film-film Oscar bertebaran.

Menurut situs review Cenayang Film, kekuatan utama film ini terletak pada beragam warna yang disajikan secara detail, lagu yang menghentak menyesuaikan jalan cerita, dan narasi yang menyentuh. Tak heran besutan sutradara Lee Unkirch ini menyabet Oscar untuk Lagu Orisinil Terbaik dan Film Animasi Terbaik.

**

Seorang Miguel Rivera barangkali merupakan cerminan anak-anak di lingkungan urban: harus bekerja membantu ekonomi keluarga dan terkekang tradisi di dalamnya, serta barangkali mengalami kebahagiaan justru karena mendapat pengaruh dari luar. Dia bercita-cita menjadi musisi, seperti Ernesto de la Cruz yang foto dan koleksi albumnya ia pajang di eternit rumah.

Setelah sekian lama memendam petikan gitar hanya di dalam loteng penuh debu, ia menemukan momentum saat peringatan Dia de los Muertos, atau Day of The Dead, atau Hari Orang Mati. Impiannya dihadang nenek (dan keluarganya) yang mengutuk segala hal tentang musik, sehingga saat pada akhirnya mereka memergoki hobi Miguel, gitar racikannya sendiri terpaksa menjadi tumbal.

Ia kemudian sesenggukan berlari meninggalkan keluarganya, menuju alun-alun kota untuk mengikuti perlombaan musik, tapi tak punya instrumen (karena telah dibanting sang Nenek).

Mengetahui gitar legendaris de la Cruz dipusarakan di pemakaman kota, jadilah Miguel mengendap ke sana untuk mencuri gitar itu.

Genjrengan pertamanya dengan gitar itu berakibat mistis: pendar daun marigold. Miguel lalu menyadari ia sudah tidak sanggup menyentuh dunia fisik lagi, semua “orang” yang ia temui hanya berupa skeleton, ia berpindah ke alam orang mati!

Dalam perjalanannya mencari cara untuk kembali—bersama nenek moyangnya, ia menyadari keberadaan dunia “baru” yang paradoks: banyak jiwa berbahagia karena masih diingat oleh kerabat mereka di dunia nyata, tetapi ada pula jiwa sendu yang menantikan kematian lanjut karena dilupakan oleh yang masih hidup.

Miguel, yang mengalami plot twist di akhir cerita, mendapat pencerahan tentang bagaimana ke-ada-an jiwa-jiwa itu. Orang mati itu, jiwa hidup itu, skeleton itu, mampu bertahan karena mereka masih dianggap hidup oleh orang-orang di dunia.

Selama warisan mereka masih dikenang oleh orang di dunia hidup dan imaji tentang mereka masih tertempel di pikiran yang hidup, mereka akan bahagia. Bila tidak ada lagi yang mengingat mereka, mereka hilang, mati untuk kedua kalinya.

**

Seorang pemuda tanggung bernama Widodo bertumbuh kembang di lingkungan yang oleh orang-orang sekampungnya dianggap sakral: pondok pesantren. Ia beruntung dilahirkan oleh keluarga penganut Islam kultural, bahkan memiliki ayah yang memelihara budaya Islam sarungan.

Beberapa hal didapatkan oleh Widodo selama ia belajar di bawah pengawasan ayahnya. Semasa kecil ia selalu suka prosesi selamatan kenduri, ia mengincar banyak makanan di sana. Baru belakangan ketika dewasa ia tahu kenduri ialah wujud syukur seseorang (atau keluarga) dengan cara memberikan sedekah berupa makanan kepada para tetangga selama dilakukan dengan ikhlas dan tidak memberatkan keluarga tersebut. Upacara itu punya tujuan menggali rasa persaudaraan di lingkup lokal, sekaligus mensyukuri karunia Tuhan atas limpahan rezeki.

Ayahnya orang terhormat di kampung, biasa memimpin prosesi tiap malam Jumat secara bergilir di rumah warga. Widodo diberi tahu prosesi itu disebut tahlilan, yang juga (harus) dilaksanakan setiap ada orang meninggal. Ayahnya akan memandu warga mengirim doa ke almarhum selama tujuh hari berturut-turut, lalu 40 hari, 100 hari, setahun, dan seterusnya.

Ia pernah mendengar Emha Ainun Najib berkata bahwa tahlilan sering dicap haram, bid’ah, dan semacamnya. Padahal, menurut Cak Nun lagi, membaca tahlil sama sekali tidak dilarang oleh siapa pun, jadi apabila digunakan untuk mendoakan orang meninggal, seharusnya tidak perlu dipermasalahkan.

Pikiran kritis Widodo mengkristal, ia selama ini menjalankan syariat Islam yang berbaur dengan budaya lokal. Ada yang menyebutnya Islam kultural, belakangan orang-orang menyebutnya Islam nusantara. Kebiasaan ayahnya dan tetangganya dihujat bukan karena menyalahi adab manusia, tetapi hanya karena tradisi itu tidak ada ketika Nabi Muhammad hidup. Apa kita harus benar-benar menjalankan syariat secara tekstual? Benarkah kita harus mencontoh tata laku keislaman persis seperti masa Nabi? Widodo bertanya dalam hati, pikirannya menerawang jauh.

Di lain waktu ia bertemu seorang kawan yang tidak terlalu religius. Kawan barunya itu sering bersinggungan dengan kehidupan kaum kafir. Suatu saat sang kawan membawa keping film produksi kaum kafir, sebuah film yang disebutnya sesuai dengan pengembaraan hidup Widodo.

Widodo menontonnya. Ia menemukan beberapa hal menarik. Karakter utama itu menjalani hari bersama orang mati, lalu mendapat simpulan orang-orang tak hidup itu perlu disuplai sokongan moral dari dunia hidup. “Lho kok mirip tahlilan,” gumam Widodo.

Di lain adegan ia melihat berbagai macam hidangan yang turut dinikmati oleh orang-orang mati. “Jangan-jangan makanan kenduri juga begini,” cetusnya. Ia menarik benang merah, orang-orang mati perlu kita biarkan agar tetap hidup, yakni dengan menghormati mereka, mengingat mereka, dan mengirim segala yang kita bisa ke dunia mereka.

Disclaimer: Artikel ini diambil dan direvisi seperlunya dari tulisan serupa yang pernah terbit di GazeboC4.com.