Dilema Pasca Kampus: Idealis atau Realistis?

Banyak orang yang mengatakan bahwa tahap paling berat dalam menjalani kehidupan mahasiswa adalah ketika mengerjakan tugas akhir/skripsi. Hal itu bisajadi benar. Namun, masih ada sebuah tahap yang paling membuat resah dan galau tingkat akut dalam kehidupan mahasiswa, yaitu tahap setelah lulus kuliah dan resmi menyandang gelar sebagai seorang sarjana.

Ketika menjalani tahap mengerjakan skripsi, kita masih dalam tanggungan biaya orang tua. Meski beberapa mahasiswa sudah ada yang mandiri dengan berwirausaha dan tidak lagi mendapat kiriman oleh orang tua di kampung, namun persoalan mengenai biaya tak menjadi persoalan utama yang rumit bagi mereka yang masih mendapat kiriman uang. Lebih sering kita dipusingkan oleh bimbingan yang tak kunjung usai karena revisi yang banyak di setiap lembarnya sehingga tidak segera mendapat paraf acc oleh dosen pembimbing untuk melangkah ke BAB berikutnya.

Kita dituntut untuk tidak menyerah dan terus mencari cara agar bisa selesai secepat mungkin dan wisuda meski tidak ada yang mendampingi selain kedua orang tua atau saudara. Karena kita sudah memilih untuk memulai kuliah maka kita juga harus berkewajiban menyelesaikanya. Bukan tugas orang tua, ataupun dosen, melainkan diri sendiri.

Tekanan yang mungkin paling berat dirasakan oleh mahasiswa tingkat akhir adalah ketika melihat teman satu angkatan sudah lulus. Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah melihat adik angkatan ada yang sudah lulus mendahului kita, maka kegundahan hati semakin berkecamuk dan membuncah.

Ada mahasiswa yang melihat tekanan sebagai motivasi untuk segera menyelesaikan, tapi banyak juga yang melihat tekanan sebagai sebuah tembok besar dan tinggi sebagai barikade yang sukar untuk ditembus. Mereka memilih jalan lain, semakin jauh dan melenceng dari tujuan yang ingin dicapai.

Kegaualauan yang dirasakan mahasiswa semester akhir tidak seberapa jika dibandingkan dengan mereka yang baru lulus kuliah.

Mungkin orang menyangka lulus merupakan akhir dari sebuah perjuangan di bangku kuliah. Namun ibarat keluar dari mulut singa dan masuk ke mulut buaya, perjuangan menjadi seorang sarjana jauh lebih berat dan penuh kegalauan akan ketidakpastian.

Seorang sarjana harus lepas dari tanggungan biaya orang tua dan hidup mandiri. Artinya tidak ada kewajiban dari orang tua untuk memberikan uang saku setiap bulannya. Nah bagi freshgraduate, dituntut untuk segera memiliki pekerjaan supaya ada penghasilan tetap perbulan untuk biaya hidup.

Namanya freshgraduate tentu belum memiliki pengalaman kerja sama sekali. Setiap hari setiap waktu dihabiskan untuk membuka lowongan kerja di website atau di koran-koran, jobfair di kota-kota terdekat juga didatangi untuk menjemput peruntungan. Tidak sedikit lowongan kerja yang mensyaratkan harus berpengalaman. Jadi tambah pusing kan?

Di benak pikiran, “Kapan bisa berpengalaman jika lowongan kerja semuanya mensyaratkan berpengalaman?”

Akhirnya sehari-hari dihabiskan dengan kegalauan dan kegundahan untuk segera memulai pekerjaan pertama.

Memulai pekerjaan pertama memang tidak mudah. Apalagi jika mempunyai cita-cita yang idealis seperti harus BUMN atau Pegawai Negeri. Semua bidang lowongan kerja selain itu harus di skip dahulu.

Ada juga freshgraduate yang mensyaratkan gaji harus diatas 3 juta, meski belum punya pengalaman sama sekali. Disinilah pergolakan idealisme dimulai. Jika kita ingin mengejar cita-cita kita seharusnya kita juga mempersiapkan diri dengan baik. Mengasah potensi akademik dan skill penunjang lainnya sehingga mampu bersaing dengan ribuan calon pekerja lain.

Bagi freshgraduate haruslah bersikap sedikit realistis bahwa memulai pekerjaan pertama harus juga melihat peluang yang ada. Idealisme lulusan sarjana tetap berkomitmen bahwa pekerjaan seharusnya liniear dengan bidang ilmu pendidikan yang telah didapatnya, tidak melihat peluang di bidang lain yang sebenarnya juga membutuhkan bidang pendidikan kita.

Tidak sedikit kita melihat banyak sarjana yang melamar untuk lowongan menggunakan ijazah SMA yang umum karena sedikit sekali lowongan yang sesuai dengan bidang pendidikan saat sarjana. Saat inilah kita mulai berkompromi dengan idealisme bahwa kadang apa yang kita inginkan terbentur peluang dan kesempatan yang ada. Sehingga kita bersikap realistis bahwa saya harus memulai pekerjaan pertama saya “dimana saja”. Tak peduli latar belakang pendidikan, passion dan cita-cita. Yang penting bisa hidup mandiri, nyaman tidak nyaman itu urusan nanti.

Namun kita juga harus ingat bahwa pekerjaan adalah bukan seperti kuliah atau magang yang tanggung jawabnya hanya berbentuk laporan saja, setelah itu selesai. Dunia kerja mengharuskan kita untuk bertanggung jawab terhadap tugas yang telah diberikan dan target yang harus dicapai sehingga dibutuhkan kerja keras, semangat, dan etos kerja yang tinggi.

Untuk itu, hal utama yang harus kita persiapkan sebelum masuk dunia kerja adalah “passion”. Karena minat terhadap sesuatu membuat kita mencintai suatu pekerjaan dan mengerjakan segala tugas dengan nyaman dan bahagia. Tidak tertekan sehingga mampu mencapai target yang telah direncanakan.

PNS dan BUMN masih menjadi daya tarik bagi lulusan sarjana untuk dibidik sebagai pekerjaan utama karena menawarkan gaji tetap setiap bulan, berbagai tunjangan dan jaminan di hari tua, serta mempunyai nilai lebih di mata calon mertua.

Pendapat seperti itu sah-sah saja namun kita juga seharusnya melihat bahwa ketika kita menjadi seorang pekerja di instansi dan perusahaan manapun, semua sudah menjadi tanggungan BPJS ketenagakerjaan. Sehingga, tidak ada perbedaan antara PNS ataupun non PNS yang signifikan, sama-sama mendapat gaji tetap perbulan, dan jaminan di hari tua. Mungkin yang sedikit membedakan hanya pada nilai “tunjangan”.

Untuk itulah kegalauan yang umum dirasakan bagi lulusan sarjana adalah tetap pada cita-cita sesuai prinsip idealisme atau sedikit berkompromi dengan idealisme dan menatap sesuatu lebih realistis? Pilihan ada di tangan kita semua.

Bagi rekan yang melanjutkan studi lanjut ke program magister (S2) seharusnya sudah mempunyai planning yang matang untuk menatap masa depan karena dengan gelar master dan pendidikan yang tinggi maka kompetensi dan persaingan kerja semakin ketat.

Pilihan menjadi akademisi adalah hal yang realistis bagi lulusan magister karena “jarang” sekali ada lowongan untuk lulusan S2 freshgraduate. Jika adapun harus sudah mempunyai pengalaman bertahun-tahun di bidangnya. Maka tidak ada salahnya jika menempuh pendidikan magister juga sambil bekerja untuk mencari pengalaman.

Merencanakan masa depan adalah investasi jangka panjang sehingga kita tahu bagaimana dan ke arah mana harus melangkah. Bekerja merupakan sebuah kewajiban untuk hidup mandiri dan lepas dari tanggungan orang tua, terutama untuk para lelaki yang juga harus memberikan nafkah kepada istri dan anaknya.

Jangan pernah menyesal dengan apa yang telah kita lalui. Sesungguhnya Allah SWT adalah sebenar-benarnya pengatur skenario hidup terbaik. Tugas manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Dengan ridho Allah SWT dan ridho orang tua, semua yang kita cita-citakan pasti dapat terwujud.