Suarr.id–Sewaktu kecil saya masih kerap menjumpai larangan dari para orang tua ketika bermain di lingkungan yang oleh masyarakat dianggap keramat, “jangan kesitu, pohonnya ada penghuninya“. Mitos yang beredar menyertainya biasanya tak jauh-jauh dari ada orang yang mencoba menebang pohon tersebut tapi jadi sakit, atau melihat penampakan, atau ada yang sampai gila, bahkan yang terparah, sampai meninggal. Sebagai anak kecil tentu saya manggut-manggut dan mengiyakan saja, barangkali itu memang pernah terjadi suatu waktu, dan ceritanya diturunkan dari generasi ke generasi.
Di belahan wilayah yang lain, anggapan tentang tempat keramat, dalam hal ini adalah hutan, juga masih dilestarikan, misalnya di sekitar kawasan hutan lindung Baluran dan Gilimanuk. Di dalam masyarakat adat kawasan hutan Baluran dan Gilimanuk, terdapat mitos‐mitos yang masih terpelihara dan diyakini dengan baik oleh masyarakat adat pendukungnya. Diantaranya ada mitos tentang Mbah Cungking, Blok Candi Bang, Pura Bakungan dan lain sebagainya. Menariknya, menurut Putera Manuaba dalam Mitos, Masyarakat Adat, dan Pelestarian Hutan, mitos inilah yang mempengaruhi tindakan sosial masyarakatnya untuk melakukan pelestarian hutan agar hutan tetap lestari dan makin berkembang. Faktanya memang hutan Baluran dan Gilimanuk yang telah berstatus sebagai kawasan hutan lindung ini menjadi satu dari sekian kecil hutan di Indonesia yang tidak mengalami perusakan yang berarti. Hutan ini keberadaannya tampak masih lestari di tengah masyarakat adat.
Di zaman yang sudah sedemikian kritis dan rasional ini, mengandalkan mitos untuk pelestarian lingkungan tentu saja ide yang sudah usang, tidak dapat diandalkan. Semakin berkembangnya sains dan teknologi, orang-orang cenderung menggantungkan pijakan berpikirnya pada rasio dan tidak percaya lagi dengan takhayul. Maka keberadaan mitos yang oleh masyarakat zaman dulu -bisajadi- diciptakan sebagai pengawal kelestarian lingkungan menjadi tak relevan lagi. Terlebih ketika pemahaman semacam ini dipadukan dengan pemahaman keagamaan, dalam konteks ini adalah pandangan kaum modernis, yang dimanfaatkan untuk kepentingan kapitalis.
Hal semacam ini setidaknya sudah bisa diidentifikasi semenjak era Orde Baru. Misalnya dalam tulisan Robert W. Hefner, Islamizing Java?: Religion and Politic in Rural East Java” yang dikutip oleh Ahmad Baso dalam tulisannya, yang menunjukkan keterkaitan proyek pembangunan Orde Baru tentang pembukaan lahan untuk industrialisasi, dengan upaya untuk mematikan kepercayaan masyarakat terhadap tempat-tempat keramat. Hal itu misalnya dilakukan dengan cara memelihara kelompok-kelompok Islam puritan-modernis-reformis yang akan mendakwahkan kepada masyarakat lokal untuk meninggalkan kepercayaan tentang segala sesuatu yang dianggap keramat. Karena dianggap syirik, takhayul dan khurafat. Ketika kepercayaan tentang yang keramat itu ditinggalkan, maka pemerintah dan perusahaan akan mudah mengeksploitasi air, hutan, gunung, pantai, sehingga sumber-sumber kekayaan alam dan ekonomi yang dimiliki masyarakat.
Pemahaman materialisme-kapitalis yang menemukan kendaraan bernama sains dan teknologi ini diakui atau tidak telah menciptakan jurang menganga yang bernama krisis ekologi. Ilmu pengetahuan yang tujuan awalnya dimaksudkan untuk memudahkan urusan manusia telah memberi dampak yang luar biasa besar. Di satu sisi memang benar telah memberi kemudahan dalam banyak aspek, namun di sisi lain karena hanya mengejar kemudahan dan keuntungan tanpa memikirkan keberlangsungan generasi umat manusia secara jauh, ilmu pengetahuan justru menyebabkan terjadinya destruksi yang amat besar pada lingkungan hidup. Fenomena krisis lingkungan terjadi saat ini adalah akibat dari dominasi perilaku manusia dalam penguasaan teknologi dan keserakahan yang berujung pada menghancurkan keseimbangan alam itu sendiri.
Hari ini krisis ekologi sudah sampai pada taraf yang tak pernah terbayangkan sebelumnya; pemanasan global, cemaran mikroplastik, kerusakan lingkungan, dan beberapa aspek kerusakan lain dampaknya sudah mulai bisa kita rasakan dari detik ini. Saya tidak akan memaparkan lebih luas tentang hal ini, selengkapnya bisa dibaca dalam buku Bumi yang Tak Dapat Dihuni karya David Wallace-Wells. Dan yang perlu digarisbawahi dan direnungi bersama di sini adalah, bahwa manusia takkan bisa menghentikan laju kerusakan ekologi ini, yang bisa dilakukan hanya memperlambatnya.
Maka upaya dalam rangka memperlambat laju kerusakan bumi ini harus terus digalakkan, kapanpun dan di manapun. Dahulu mungkin ada mitos yang cukup efektif untuk menjaga kelestarian lingkungan, namun saat ini, ketika mitos sudah tidak memungkinkan lagi, dan ilmu pengetahuan telah terlalu jauh meninggalkan kemanusiaan, maka harapannya tinggal satu, yaitu menumbuhkan kembali kesadaran spiritualitas diri pada lingkup lingkungan berdasarkan nilai-nilai primordial yang telah ada dalam tradisi agama-agama dunia.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, agama memiliki peran penting dalam membantu mengatasi masalah lingkungan yang krusial ini. Bagi Nasr, alam adalah simbol Tuhan. Pemahaman terhadap simbol ini akan mengantarkan pada eksistensi dan keramahan Tuhan. Maka, merusak alam sama dengan “merusak” Tuhan. Dalam ekosofi Islam ala Nasr, wacana spiritual ekologis mengenalkan telaah hubungan spesifik antara Tuhan, manusia, dan alam. Keterhubungan ini digambarkan dalam imajinasi keharmonisan manusia terhadap alam melalui imajinasi spiritualitas manusia terhadap realita krisis lingkungan, yang sebenarnya adalah krisis spiritual dan religiusitas manusia terhadap apa yang disebut Nasr sebagai akibat dari kelalaian manusia modern pada kebenaran abadi (perennial truths).
Dede Rodin dalam Al-Quran dan Konservasi Lingkungan: Telaah Ayat-Ayat Ekologis, menuliskan bahwa Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam banyak mengungkap persoalan lingkungan. Al-Quran juga berbicara secara tegas dan spesifik tentang krisis lingkungan. Ketika berbicara tentang kerusakan lingkungan Al-Quran menggunakan beberapa term, antara lain fasad, halaka dan sa’a. Secara leksikal, kata fasād –yang merupakan antonim dari ṣalah (manfaat, berguna)– bermakna “keluar dari keseimbangan (khuruj al-sha’i ‘an al-i‘tidal) (sesuatu yang keluar dari keseimbangan). Sementara cakupan makna term fasad mencakup jiwa, fisik, dan apa saja yang menyimpang dari keseimbangan/yang semestinya.
Para mufassir klasik umumnya memaknai kata fasad dalam ayat ini sebatas kerusakan sosial dan kerusakan spiritual, sebagaimana pendapat Ibn Katsir yang mengartikan fasad dalam ayat di atas dengan perbuatan syirik, pembunuhan, kemaksiatan, dan segala pelanggaran terhadap Allah. Sementara ulama kontemporer, seperti halnya Yusuf al-Qardhawi cenderung memaknai fasad sebagai krisis lingkungan dalam artian fisik yang dapat mengakibatkan berbagai macam bencana, seperti wabah penyakit, krisis pangan, krisis sumber daya alam, perubahan iklim, serta pencemaran lingkungan yang membahayakan bagi keberlangsungan seluruh spesies bumi.
Konservasi lingkungan adalah amanah bagi manusia untuk memelihara kehidupan dengan segenap sistemnya, dan seperti usulan Dr. KH. Ali Yafie, pemeliharaan lingkungan (ḥifdh al-bī’ah) merupakan salah satu dari tujuan syariah (maqāṣid al-sharī‘ah). Konservasi yang dilakukan melalui pelestarian, perlindungan, pemanfaatan secara lestari, serta rehabilitasi lingkungan pada dasarnya dilakukan untuk menjamin kemaslahatan umat manusia beserta makhluk hidup lainnya dalam jangka panjang dan berkesinambungan.
Manusia sebagai hamba Allah (‘abdullāh) berkewajiban untuk mengabdi kepada-Nya sehingga konservasi lingkungan adalah bagian dari pengabdian (ibadah) seseorang kepada Sang Khalik. Sedangkan sebagai wakil Allah di bumi (khalifatullah fi al-arḍ) manusia bertugas mewakili Allah untuk mengelola dan memakmurkan bumi beserta segala isinya. Prinsip ini membuat manusia harus menyadari seutuhnya bahwa, dia adalah penanggung jawab dalam mengelola alam semesta, sekalipun dia dibolehkan mengambil manfaatnya, tetapi dia tetap harus memelihara dan menjaga kelestariannya dan dilarang merusaknya.
Dalam berinteraksi dengan alam serta lingkungan hidup itu, manusia mengemban tiga amanah dari Allah. Pertama, al-intifā’. Manusia dipersilahkan oleh Allah untuk mengambil manfaat dan mendayagunakan hasil alam dengan sebaik-baiknya demi kemakmuran dan kemaslahatan umat manusia. Kedua, al-i‘tibār. Manusia dituntut untuk selalu memikirkan dan menggali rahasia di balik ciptaan Allah serta mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa-peristiwa alam (ayat-ayat kauniyah-Nya). Ketiga, al-iṣlāh. Setelah manusia diizinkan untuk mengambil manfaat dari alam, maka manusia diberikan tanggung jawab untuk terus menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan itu.
Semoga kita tidak termasuk pihak-pihak yang digolongkan oleh Allah ke dalam golongan mufsidun, orang-orang yang berbuat kerusakan.