Dalam jagat perbincangan sosial masyarakat kita lima tahun terakhir, ramai diperbincangkan sebuah istilah tentang fenomena kependudukan yang dinamakan bonus demografi. Bonus demografi merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi kependudukan suatu negara, dimana penduduk yang berada pada usia produktif lebih banyak ketimbang penduduk yang berada pada usia non produktif.
Berdasarkan kalkulasi Badan Pusat Statistik (BPS), bonus demografi di Indonesia diprediksi akan terjadi antara tahun 2020 hingga 2030. Begitu memasuki tahun 2020, persentase penduduk usia produktif akan mencapai 70 persen dan non produktif 30 persen. Persentase ini akan semakin ideal begitu memasuki masa puncak antara tahun 2028-2030. Setelah itu, komposisi bakal mulai kembali menjauh dari persentase ideal. Oleh sebab itulah, bonus demografi hanya akan terjadi sekali dalam sejarah perjalanan sebuah bangsa.
Jumlah penduduk usia produktif hingga 70 persen pada saat puncak bonus demografi, memang sangat menguntungkan dari sisi pembangunan. Tingginya jumlah usia produktif tentu saja bakal mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, didapatkannya bonus demografi pada suatu negara bukan berarti tanpa resiko. Banyaknya jumlah usia yang produktif juga berpotensi menimbulkan segudang permasalahan sosial jika tidak dibarengi dengan persiapan yang matang oleh pemerintah. Sebut saja tingkat pengangguran yang tinggi, meningkatnya angka kriminalitas, serta meletusnya konflik sosial.
Dalam kasus bonus demografi di Indonesia yang diperediksi akan terjadi mulai 3 tahun ke depan. Satu hal yang menarik adalah komposisi usia produktif di masa-masa tersebut akan lebih banyak diisi oleh orang-orang dari generasi milenial. Jika didasarkan pada Generation Theory yang dicetuskan oleh Karl Mannheim pada tahun 1923, generasi milenial adalah generasi yang lahir pada rasio tahun 1980 sampai dengan 2000. Generasi ini mempunyai karakteristik komunikasi yang terbuka, pengguna media sosial yang fanatik, kehidupannya sangat terpengaruh dengan perkembangan teknologi, serta lebih terbuka dengan pandangan politik dan ekonomi. Sehingga, mereka terlihat sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di sekelilingnya.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Youth Lab, sebuah lembaga studi mengenai anak muda Indonesia, generasi milenial dianggap memiliki karakter yang jauh lebih kreatif dan informatif. Generasi ini juga memiliki cara pandang yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
Dari segi pendidikan, generasi milenial pun memiliki kualitas yang lebih unggul. Memang masih ada beberapa yang lulusan sekolah dasar, tapi jumlahnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Selain mutu pendidikan yang membaik, generasi ini juga mempunyai minat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Generasi ini sadar betul bahwa pendidikan merupakan prioritas yang utama. Bahkan lebih dari itu, generasi ini tidak hanya berpuas diri selesai pada S1 (sarjana), sebagian malah berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2 (magister) maupun S3 (doktoral).
Kemampuan yang mumpuni di bidang teknologi juga menjadikan milenial sangat berpeluang untuk berinovasi di sektor ini. Nadiem Makarim, pendiri Go-Jek yang juga berasal dari generasi milenial telah membuktikannya. Selain menemukan sebuah solusi untuk mengatasi kemacetan di kota-kota besar, terutama DKI Jakarta, Go-jek juga berhasil memberi dampak ekonomi yang besar bagi tukang ojek yang terlibat di dalamnya. Ditambah lagi mulai bermunculannya beberapa start-up lain yang diinisiasi oleh para milenial juga membuktikan bahwa generasi ini akan mampu mewujudkan kemandirian secara ekonomi bagi Indonesia.
Namun demikian, peran pemerintah juga sangat vital untuk dapat menyongsong bonus demografi ini dengan baik. Menurut Sri Moertiningsih Adioetomo, guru besar Ekonomi Kependudukan Universitas Indonesia, pemerintah dinilai berhasil menghadapi bonus demografi jika memenuhi enam elemen. Pertama, mencermati perubahan struktur penduduk. Kedua, menjaga kesehatan ibu dan anak, sejak ibu mengandung hingga anak berusia sekitar dua tahun. Ketiga, investasi di bidang pendidikan dengan keahlian dan kompetensi guna meningkatkan kualitas tenaga kerja. Selanjutnya, keempat, kebijakan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja. Kelima, good governance serta prosedur investasi yang sederhana. Dan terakhir, pertumbuhan ekonomi yang diindikasikan dengan jumlah produksi yang lebih besar daripada tingkat konsumsi.
Menurutnya, ibarat sebuah mesin, enam elemen ini harus bersinergi secara bersama-sama. Seperti roda yang saling berhubungan, harus bergerak secara bersama. Jika salah satu roda macet, maka yang lain juga macet. Itu konsepnya menghadapi bonus demografi. Disini semakin jelas bahwa kemampuan SDM pun tidak cukup. Perlu adanya keselarasan antara pemerintah dan milenial dalam proses persiapan menyongsong bonus demografi.
Namun Bangsa Indonesia patut optimistis terhadap berbagai potensi yang dimiliki oleh generasi milenial. Sebab, generasi ini adalah generasi terbaik dalam segi pendidikan yang memposisikan pendidikan sebagai prioritas utama. Pola pikir yang terbuka, bebas, kritis, dan berani adalah suatu modal yang berharga. Ditambah penguasaan dalam bidang teknologi, tentu akan menumbuhkan peluang dan kesempatan berinovasi di era ini.
Intinya, generasi milenial adalah modal besar untuk mewujudkan kemandirian bangsa dalam segala aspek. Dalam hal ini tidak berlebihan kiranya jika saya mengatakan bahwa:
Milenial adalah koentji.