“Sekarang, kamerad, apa sih, sifat kehidupan kita? Mari kita hadapi: hidup kita ini sengsara, penuh kerja keras, dan pendek. Tak seekor binatang pun di Inggris ini yang bebas. Hidup seekor binatang super sengsara dan penuh perbudakan: ini adalah kenyataan yang sebenar-benarnya.”
Novel Binatangisme merupakan novel klasik fenomenal karya penulis agung kelahiran Britania, Eric Arthur Blair (1903-1950) atau yang lebih akrab disapa George Orwell. Berangkat dari buku tipis ini Orwell merengkuh puncak kejayaan di kancah kesusastraan dunia. Dari buku ini pula ia berhasil memperoleh beberapa penghargaan mulai dari Retro Hugo Award (1996) untuk novel terbaik hingga penghargaan Prometheus Hall of Fame Award (2011).
Novel ini merupakan bentuk satire untuk alegori politik di masa perang dunia II atas totaliterisme Uni Soviet. Di dalamnya terkandung banyak kisah penuh kebijaksanaan, pesan moral, dan peringatan untuk mawas diri bagi manusia di kemudian hari.
Tidak dapat dipungkiri, sejarah kehidupan manusia selalu dihiasi dengan penindasan manusia atas manusia lainnya, penindasan kelas borjuis atas kelas proletar, tuan tanah atas kaum buruh, penghisap atas yang dihisap.
Sudah barang tentu semua manusia mencita-citakan kebebasan atas dirinya sendiri, dan merasa tak pantas diteruskan seandainya kebebasan itu dieksploitasi terus menerus oleh tirani pemerintahan. Sama halnya buku ini, Orwell dengan sangat cerdik mengumpamakan binatang-binatang ternak seperti layaknya manusia yang mempunyai akal sehat, logika, dan kemampuan berpikir. Hemat kata, siap berontak apabila ditindas dan akan bersungut-sungut semisal harga dirinya direndahkan.
Cerita diawali dari seruan si Major, babi tua yang bijaksana yang mendapati sebuah mimpi aneh pada suatu malam. Karena begitu pentingnya mimpi tersebut hingga ia menganggap perlu kiranya untuk mimpi itu disampaiakan kepada semua binatang-binatang di peternakan Manor.
Dengan suara parau Major menjelaskan dengan runtut dan sabar.
Khotbah singkat itu lebih merujuk untuk membuka pikiran akan arti kehidupan bagi binatang-binatang di tanah Inggris. Sebab selama ini semua binatang senantiasa hidup dalam kesengsaraan, diperah tenaganya saban hari, penuh perbudakan, kalaupun cukup umur akan berakhir di pisau bengis meja penyembelihan.
Di penghujung cerita, si babi tua menggaungkan semboyan bahwa manusia adalah musuh nyata kaum binatang. Apapun yang berkaki dua adalah musuh, dan yang berkaki empat adalah teman. Di antara pesan lain yang ditekankan bernada, cepat atau lambat pemberontakan akan terjadi. Entah kapan waktu pastinya.
Pertemuan itu ditutup dengan sorak sorai nyanyian lagu kebangsaan ‘Binatang Inggris’.
Tak terduga oleh siapapun, akhirnya pemberontakan yang diperkirakan sebelumnya benar-benar terjadi, sekumpulan babi, kuda, keledai, sapi, biri-biri, ayam, angsa dan burung merpati menyerang Pak Jones dengan penuh keberanian. Dalam sekejap, barisan Pak jones dan karyawannya lari terbirit-birit, buyar tercerai berai dan terpaksa terdepak dari tanah miliknya sendiri. Sekarang kepemilikan sepenuhnya milik para binatang. Hidup Kamerad!!
Secara otomatis tampuk kepemimpinan atas peternakan Manor dipegang kendali oleh binatang yang paling cerdas. Oleh Snowball dan Napoleon keberlangsungan hidup dijalankan semestinya. Binatangisme, begitulah prinsip ideologi yang menjadi ruh dan semangat perjuangan kaum binatang. Sudah waktunya binatang menikmati sepuasnya hasil kerja mereka sendiri dan lebih punya waktu senggang yang cukup lama dari biasanya.
Akan tetapi asas sosialisme dalam praktik ini tidak bisa bertahan lama, barangkali julukan “dwi tunggal” tak pantas disematkan untuk sepasang babi ini. Salah seekor babi bernama Napoleon mempunyai perangai yang licik dan rakus, selalu ingin berkuasa. Baginya tidak mungkin suatu kepemimpinan dipegang oleh dua tangan.
Pilihanya sederhana, membunuh atau terbunuh?
Perubahan sosial yang dipegang teguh dengan dasar sama rata sama rasa kini melenceng menjadi kesewenangan yang baru. Memang benar kata pepatah “Tidak hanya anggur dan wanita saja yang memabukkan, kekuasan pun begitu”. Faktanya kita tidak pernah benar-benar bisa mengusir sistem kesewenangan secara 100%, dia akan muncul dengan bentuk yang baru”.
Prinsip binatangisme ini bisa dikatakan sebuah alegori dari prinsip komunisme Uni Soviet kala itu di bawah kuasa tangan besi Stalin. Di mana sebuah perubahan sosial hanya akan berhasil apabila kaum proletar dalam hal ini kaum binatang, melakukan perjuangan lewat jalan partai yang dicetuskan oleh sang pemimpin, Napoleon.
Serupa sebuah sistem pemerintahan negara, peternakan binatang (bermula dari peternakan manor yang diubah menjadi peternakan binatang) juga membuat undang-undang peraturan untuk mempersatukan para binatang guna menjaga semangat juang perlawanan terhadap manusia. Tujuh butir aturan tersebut tertulis dalam dinding rumah peternakan. 1.) Apapun yang berjalan dengan dua kaki adalah musuh, 2.) apapun yang berjalan empat kaki, bersayap adalah teman, 3.) binatang tidak boleh mengenakan pakaian, 4.) binatang tidak boleh tidur di ranjang, 5.) binatang tidak boleh minum alkohol 6.) binatang tidak boleh membunuh binatang lainya, 7.) semua binatang setara.
Dengan terusirnya Snowball dari peternakan binatang oleh Napoleon, praktis hanya dia yang berkuasa dengan ajudan setianya, anjing-anjing yang terdidik. Siapapun yang tidak terima dengan kebijakan yang disulkan, anjing-anjing itu akan menyalak, menggeram, dan gigi runcingnya siap merobek perut untuk binatang manapun yang tidak patuh.
Dia melakukan dominasi kekuasaan dan hegemoni dalam segala segi. Ketujuh aturan sakrali itu sekarang dimanipulasi secara halus. Nyatanya intrik itu terbukti ampuh. Alhasil kehidupan para binatang sekarang tidak sebahagia zaman Pak Jones. Malahan sebaliknya, sekarang mereka harus bekerja dua kali lebih keras dari biasanya.
Dalam hal ini Orwell ingin menyisipkan pesan betapa gampangnya politik yang semula bertujuan mulia untuk kesejahteraan sesama, berbelok haluan menjadi propaganda tipu-menipu, bodoh- membodohi untuk kesenangan perorangan dan beberapa golongan saja. Dan betapa buruknya efek samping dari dominasi kekuasaan itu. Segala bentuk keburukan ditutup-tutupi dengan berbagai dalih alasan dan bumbu pencitraan.
Tiada pernah miskin bahan penulisan, Orwell dalam beberapa karyanya selalu mengangkat isu-isu kehidupan di tengah-tengah kita. Membaca novel Animal Farm ini menjadi refleksi untuk kita bahwa novel ini akan relevan sampai kapanpun.
Begitu sering kita mendengar sebuah pemimpin negara mengoperasikan sistem pemerintahan yang tiran hanya untuk mengembungkan perut sanak keluarga dan orang terdekat belaka.
Bukan tanpa solusi, Orwell juga menguraikan dengan rinci jalan yang mesti ditempuh untuk menumbangkan sebuah tatanan yang mapan. Akan tetapi masalah yang paling vital adalah ketika pemimpin lama tumbang, siapa eksekutor pemimpin selanjutnya, apakah dia bisa menjaga iman kekuasaan yang amat menggiurkan itu atau tidak, jangan-jangan setelah jadi nantinya dia malahan melanggar demokrasi yang dilengkingkan secara lantang di awal.
Paradoksnya lagi ia berbuat atas nama demokrasi. Fenomena ini banyak ditemui di level tertinggi pemerintahan negara. Tidak menutup kemungkinan juga pada level sederhana organisasi pada jajaran lini kehidupan kita. Akankah kita akan menjadi pewaris Napoleon selanjutnya?
“Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengonsumsi tanpa menghasilkan. Ia tidak memberi susu, ia tidak bertelur, ia terlalu lemah menarik bajak, ia tidak bisa berlari cepat untuk menangkap truwelu. Namun dia adalah penguasa atas binatang. Manusia menyuruh binatang bekerja, manusia mengembalikan seminimal mungkin hanya untuk menjaga binatang agar tidak kelaparan, sisanya untuk manusia sendiri. Tenaga kami untuk membajak tanah, kotoran kami untuk menyuburkan tanah, tetapi tak satupun dari kami memilik tanah seluas kulit kami.” (halaman 5-6)
Pict: degilzine.com