Beberapa orang bilang saya penggosip andal dan jawaban saya: benar, tetapi saya juga gosip-able. Saya memang suka menggosipkan banyak hal, sama seperti orang lain yang suka menggosipkan banyak hal dari saya.
Kata Sartre, begitulah manusia. Saling menatap dan memberi label. Aku menggosip maka aku ada, ucap Descartes imajiner.
Bagi saya, mereka berdua benar. Sejak lahir hingga kematian menjemput, manusia tak bisa lepas dari pergunjingan. Gosip tak lekang oleh waktu.
Saat seorang anak mulai menatap dunia, dia akan disambut dengan, “Anak fulan telah lahir. Dia anu.” Ketika mati, selalu ada gosip yang menyertai pemakamannya; tentang bagaimana dia hidup, kematiannya, dan bagaimana hidup keluarga sepeninggalannya.
Kecuali Anda memilih hidup di gua jauh nun di hutan belantara, tiap hari Anda akan selalu bersinggungan dengan segala macam desas-desus. Anda bisa membuktikan dengan sedikit berjalan-jalan dan mengamati warung kopi, titik-titik perbelanjaan, atau pojok ruang kuliah. Selalu ada perbincangan tentang seseorang atau sesuatu di sana. Selalu ada objek justifikasi. Vonis dan label ditebar di mana-mana, seenaknya.
Kita barangkali santai saja dengan model gosip seperti itu—gosip tradisional. Tidak banyak perubahan, tidak banyak efek bagi si penggosip maupun objek pergunjingan. Kita tahu, ini karena ruang gosip sempit, hanya dihuni oleh beberapa orang. Ia bersifat eksklusif. Biasanya, para penggosip akan menjauhi objek. Bagaimanapun, mereka cenderung tak mau orang yang dibicarakan mendengar.
Persebaran gosip ini, juga cenderung lambat, bahkan akan berhenti di tempat pertama ia dihembuskan. Begitulah realitas gosip tradisional. Kita tak pernah menemukan kasus di mana seseorang dibakar rumahnya hanya karena digosipkan selingkuh seperti yang digambarkan di layar televisi.
Namun, kita tahu pula sebagaimana hal-hal lain, gosip mengalami disrupsi. Jika layanan ojek tradisional yang mengandalkan pangkalan untuk menunggu pelanggan mulai beralih ke ojek yang mengandalkan data geospasial berbasis daring, maka gosip pun sama. Ia menemukan ruang baru. Ada migrasi. Hijrah. Gosip memeroleh tempat baru untuk beranak-pinak: media sosial.
Di lingkup baru itu, gosip mendapatkan peningkatan karakter: ia lebih tajam, mudah diakses sekaligus disebarkan. Upgrade ini, sayang tidak dibarengi kesadaran untuk menahan diri yang lebih kuat. Seseorang kini bahkan merasa bebas mengumbar aib atau kejelekan orang lain di muka umum. Tak ada tedeng aling-aling. Gosip menjadi komoditas inklusif bagi semua orang.
Kawan baik saya pernah memiliki pengalaman buruk tentang ini. Beberapa bulan lalu, saat saya membuka Facebook, kawan sekolah saya itu dituduh merebut pacar seorang wanita yang kebetulan jadi teman saya di jejaring sosial ciptaan Mark Zuckerberg itu.
Foto kawan saya diunggah, lengkap dengan caption menghina; bahwa kawan saya seorang pelakor tak laku. Pos itu mendapatkan lebih dari enam puluh komentar dan dibagikan sebanyak lima kali. Saya merasa tersinggung. Sepengetahuan saya, dia tipe perempuan setia dan tak mau mengganggu hubungan orang lain. Demi mengetahui kebenaran, saya bertanya kepadanya.
“Tidak. Pacarnya saja yang sering mengirim pesan. Aku cuma membalas chat-nya pas tanya-tanya barang,” jawab kawan saya.
Dia sedang kuliah dan nyambi jadi dropshipper. Katanya, awalnya pria itu ingin membeli celana jeans. Lama-lama, bukannya beli, dia malah menanyakan hal-hal yang mengarah pada pendekatan persuasif.
“Mungkin cewenya cemburu. Ya jadilah seperti sekarang,” tambah kawan saya.
Berkat pos itu, kawan saya mendapatkan banyak komentar dan pesan pribadi yang hampir semuanya mengutuk. Sebelum dia klarifikasi dengan menyertakan foto riwayat obrolan dengan pacar perempuan itu, online shop-nya sepi pembeli. Saya iba. Cantik itu memang luka.
Kasus kawan saya ini bisa dibilang kecil di antara banyaknya kasus di media sosial karena pergunjingan—obrolan tentang hal-hal yang tak jelas kebenarannya. Jika kita mau mengingat sebuah peristiwa di penghujung 2017, kita akan tahu betapa masyarakat kita begitu banal dalam menelan informasi mentah dan begitu berhasrat menyebarkannya.
Kala itu, dua orang pria timur tengah baru saja bertemu setelah berpisah selama empat tahun. Mereka berdua saling memeluk, dan sesekali mencium. Di Indonesia, pemandangan seperti ini tentu tak lazim. Dan di mata seorang perempuan, mereka berdua sepasang gay. Dia kemudian merekam dan mengunggahnya di media sosial dengan caption provokatif—tentu, tanpa dasar kebenaran jelas. Perempuan itu menyebar desas-desus, dan seketika warganet di penjuru nusantara ikut menyebarkan.
Desas-desus itu mengundang ribuan kecaman bagi dua pria yang ternyata adik-kakak itu. Mereka disumpahserapahi oleh siapa pun yang termakan kabar burung. Begitulah. Mereka trauma, bahkan tak berani keluar rumah.
Peristiwa itu, membuat kita makin yakin, gosip di media sosial lebih menyeramkan. Ia mengumpulkan energi negatif dari begitu banyak tempat sebelum diletuskan. Hal ini, salah satunya disebabkan media sosial mengakomodasi orang-orang yang tak memiliki lingkaran pergunjingan tradisional—pergunjingan offline.
Sebagai contoh, mereka yang hidup di kota atau wilayah kompleks yang tak saling mengenal tetangga. Di ruang yang cenderung individual itu, mereka sulit berkomunikasi dengan liyan. Akhirnya, media sosiallah yang jadi pelarian.
Kita tentu menyayangkan hal ini. Dengan dominasi media sosial seperti sekarang, gosip yang notabene saudara kandung hoaks, bisa jadi senjata mematikan. Pada tahun-tahun penuh intrik politik seperti sekarang, oknum-oknum licik akan memanfaatkan hasrat kolektif masyarakat untuk terus memperbincangkan keburukan lawan politik. Kubu A sangat mungkin menyebar gosip-gosip—yang tentu tak substansial—sebagai upaya menjegal kubu B, begitu pula sebaliknya. Rakyat akan terus dibodohi dengan transaksi gosip.
Orang-orang waras, sudah pasti jenuh dengan hal ini. Kita ingin semua ini berhenti. Kita ingin gosip-gosip pemantik konflik itu lenyap dari muka bumi. Untuk itu, kita juga harus punya kesadaran untuk menahan diri. Membenci gosip—lalu hoaks—namun tetap memperbincangkan titik hitam orang lain adalah kontradiksi lucu.
Saya tiba-tiba ingat sepetik firman Tuhan dalam surat An-Najm: fala tuzakku anfusakum. Janganlah kamu merasa suci atas dirimu.
Gosip berawal dari rasa suci atas diri sendiri. Maka berhentilah. Sesungguhnya kita semua kotor.