Suarr.id–Di belahan bumi manapun kelompok minoritas selalu berada di posisi yang lemah, mereka kerapkali menjadi sasaran diskriminasi dan tindakan persekusi. Untuk konteks Indonesia, semenjak era Orde Baru kasus-kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap minoritas lazim terjadi, khususnya kepada etnis Cina dan kelompok minoritas agama. Bahkan untuk kasus yang terakhir, tren intoleransi menunjukkan peningkatan.
Sebelumnya dikenal KH. Abdurrahman Wahid yang telah menjadi simbol sebagai sosok pembela kaum minoritas. Ada banyak pembelaan yang sudah dikenal khalayak, mulai dari pembelaan terhadap etnis Tionghoa, warga Papua, artis Inul Daratista, hingga jemaat Ahmadiyah. Semuanya dibela oleh Gus Dur dengan dasar bahwa di NKRI semua warga negara setara, tidak boleh ada satupun pihak yang boleh menindas dengan dalih mayoritas.
Selain Gus Dur tentu saja masih ada banyak tokoh, akademisi, dan intelektual yang memiliki kesamaan visi dengan Gus Dur tentang pembelaan terhadap kaum minoritas. Salah satu sosok yang barangkali luput dari pemberitaan padahal jasanya tak kalah dalam hal pembelaan terhadap hak-hak minoritas adalah KH Salahuddin Wahid, yang tak lain adalah adik Gus Dur sendiri.
Gus Sholah, sapaan akrab KH. Salahuddin Wahid, adalah teknokrat, politisi, dan cendekiawan muslim terkemuka yang akrab dengan isu-isu hak minoritas di Indonesia. Dengan karismanya sebagai tokoh ulama yang berasal dari kalangan pesantren tradisional memberinya sebuah otoritas dalam berbagai aspek ajaran Islam. Gus Sholah aktif mengemukakan pandangan-pandangannya lewat media sosial, khususnya platform Twitter. Ia sadar betul pentingnya media sosial sebagaimana pentingnya mempromosikan keberagamaan yang inklusif dan penghormatan terhadap hak-hak kelompok minoritas.
Gus Sholah lahir dari garis keturunan darah biru NU. Kakeknya adalah pendiri jam’iyyah NU dan ayahnya merupakan salah satu tokoh pahlawan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia lewat BPUPKI dan PPKI.
Tidak seperti ulama lain yang lahir dari pendidikan pesantren, Gus Sholah lahir dari pendidikan umum. Dari SD hingga SMA dia habiskan di sekolah umum di Jakarta dan berlanjut hingga kuliah di jurusan Arsitektur ITB. Meskipun begitu ia tetap belajar pelbagai disiplin ilmu pesantren seperti fikih, nahwu, shorof, tauhid, dan sejarah Islam dari ayahnya, KH Wahid Hasyim, dari ibunya, dan dari pengajar-pengajar yang didatangkan langsung dari Tebuireng. Kakeknya dari jalur ibu, KH Bisri Syansuri juga kerapkali datang ke Jakarta untuk menengok sang cucu sekaligus mengajarkan ilmu-ilmu agama.
Perpaduan antara kultur keilmuan pesantren dan ilmu umum ini menjadikan Gus Sholah memiliki kelebihan sebagai sosok kiai tradisional yang tidak hanya membumi, tapi sekaligus akrab dengan isu-isu kontemporer dan media sosial modern. Hal ini menjadikan Gus Sholah mampu mengkomunikasikan isu-isu kontemporer dengan menggunakan bahasa yang sederhana sehingga dapat menjangkau mayoritas komunitas muslim di Indonesia.
Dengan kemampuan komunikasi yang baik serta posisinya sebagai tokoh agama kenamaan, tidak heran jika Gus Sholah seringkali mampu menjadi penengah dalam konflik-konflik sosial serta pelbagai permasalahan HAM. Misalnya ketika Gus Sholah terlibat dalam rekonsiliasi konflik antara Muslim dan Kristen yang pecah pada tahun 1999 di Ambon. Kekhawatirannya dengan rekonsiliasi konflik juga dapat dilihat dari keterlibatannya dalam mengurangi konflik antara para pendukung Gus Dur (yang sebagian besar terdiri dari para anggota Nahdlatul Ulama) dan para pendukung Amien Rais (yang sebagian besar terdiri dari para anggota Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia) mengenai Sidang Istimewa MPR yang diadakan pada bulan Juli 2001, yang menargetkan pemakzulan Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan.
Menurut Asfa Widiyanto dalam “Salahuddin Wahid and the Defence of Minority Rights”, setidaknya ada beberapa isu yang menjadi konsen Gus Sholah terkait dengan hak-hak kelompok minoritas, diantaranya: isu minoritas etnis, minoritas agama, hak-hak perempuan, kekerasan terhadap Ahmadiyyah, dan pernikahan antar agama.
Pada Mei 1998 saat terjadinya kasus kekerasan terhadap minoritas Tionghoa sebelum jatuhnya Presiden Soeharto (pemerintahan 1966-1998). Gus Sholah memperkirakan bahwa etnis China akan menjadi korban jika negara berada dalam situasi chaos. Hal ini disebabkan oleh kecemburuan sosial “mayoritas miskin” terhadap minoritas China (yang merupakan “penguasa pasar”), di mana pedagang tradisional sering mendapat tindakan penggusuran sementara pemilik modal besar (yang sebagian besar orang China) mendapat karpet merah. Di mata Gus Sholah untuk menyelesaikan masalah itu pemerintah harus mengeluarkan kebijakan ekonomi yang memihak kepada rakyat, terutama di daerah perkotaan yang penghuninya berpotensi terlibat dalam kekacauan.
Selanjutnya dalam isu hak perempuan, misalnya ketika adanya polemik terkait boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin negara jika dilihat dari kacamata hukum Islam. Dalam hal ini Gus Sholah menekankan bahwa di kalangan cendekiawan Muslim ada beragam sudut pandang terkait dengan kemungkinan pemimpin perempuan.
Akar perselisihannya sebenarnya adalah interpretasi yang berbeda mengenai perkataan Nabi bahwa orang yang menyerahkan urusannya kepada seorang wanita maka tidak akan berhasil. Banyak cendekiawan muslim memaknai hadits ini secara langsung dan karena itu yakin bahwa mempercayakan seorang wanita sebagai penguasa negara adalah tidak sah.
Namun beberapa cendekiawan lain memandang hadits ini dari sudut lain, yaitu dari konteks historisnya, dimana pada saat itu seorang wanita tidak memiliki kapasitas untuk memerintah negara tertentu. Jadi dia tidak akan diizinkan untuk berposisi sebagai penguasa negara. Tetapi dalam momen lain dalam sejarah, menunjukkan bahwa seorang wanita tertentu jika memiliki kapasitas kepemimpinan mumpuni, maka mengangkatnya sebagai penguasa negara tidak akan menjadi masalah.
Dan terakhir terkait dengan isu agama minoritas, komitmen Gus Sholah dalam memberantas tindakan intoleransi misalnya dapat dilihat dari pembelaannya kepada kepala desa Lenteng Agung di Jakarta. Kepala desa yang baru terpilih didemo oleh beberapa warganya yang tidak terima dengan hasil pemilu karena fakta bahwa agama kepala desa tersebut berbeda dengan mayoritas konstituennya. Selain itu, Gus Sholah juga berperan dalam meminimalkan intoleransi dalam tubuh Nahdlatul Ulama, sebagaimana dapat diamati dari rekomendasinya kepada kiai-kiai Madura untuk berdamai tanpa syarat dengan para penganut Syiah di wilayah tersebut.
Di luar beberapa kasus di atas tentu masih banyak jasa Gus Sholah dalam pembelaannya terhadap hak-hak minoritas. Berkaca dari apa yang tertulis di atas, maka tidak heran jika Gus Sholah pernah menduduki jabatan sebagai Wakil Ketua Komnas HAM (2002-2007), serta diakui sebagai salah satu dari lima cendekiawan Muslim terkemuka paling berdedikasi di negara ini versi harian Kompas.