Di satu kesempatan, ketika berkumpul bersama keluarga di dapur, Bahareh lancang bertanya perihal bahasan kepemilikan yang agak sensitif. Masih diingat betul, pada waktu itu ia terbilang masih bocah kemarin sore dengan segala ke-ndablegan dan kepolosannya. Dengan didorong rasa penasaran yang terus mendamprat kepalanya berhari-hari, sekarang ia coba melucuti kepengecutannya dan memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan itu. Ia mengira pertanyaan itu masih dalam batas hal yang wajar, jadi tak perlu dipikir berlebihan.
Namun selang beberapa hari, begitu menyesalnya diri Bahareh atas tindakan bodohnya itu, mengapa dulu ia tidak berpikir cerdas. Kira-kira apa yang mesti dikata bapaknya atas pertanyaan yang tak mungkin bisa dijawab, kalaupun menjawab itu hanya sekadar agar membahagiakannya. Dan kira-kira bagaimana akibat dari tajamnya pertanyaan yang terhunus dari sarung mulutnya itu bakal menyakiti hati bapaknya.
Berikut penulis kisahkan:
Bahareh : “Bapak, tiadakah kita punya sepetak kolam ikan yang bisa digarap layaknya saudara dan tetangga-tetangga kita yang ada di samping rumah, belakang rumah, dan belakangnya lagi?”
Bapaknya tersentak tak bisa menangkis pertanyaan anaknya seolah-olah lidahnya menulang sedetik setelah pertanyaan itu diutarakan, ia hanya mampu mengedarkan pandangan dan akhirnya saling bersitatap dengan mata sayu istrinya.
Dalam bahasa hati bapaknya bertanya balik dan coba mencari jawaban kepada istrinya, karena memang diam adalah bahasanya;
“ Apa yang mesti kita jawab ibu?” dengan mata berkaca-kaca.
Akhirnya keheningan sirna berbarengan dengan jawaban ibu yang meredamkan pertanyaan nakal Bahareh.
Ibu : “ Mengapa kita mesti punya sepetak kolam ikan nak? Bukankah itu akan merepotkan kita saja. Hari-hari, saban pagi, siang dan sore kita harus bertandang ke kolam menabur makanan untuk mengenyangkanya, padahal kita sendiri kelaparan. Berapa lagi biaya yang mesti kita sediakan untuk sewa kolam pertahun dan pakan perkarungnya?”
Bahareh :”Bukankah itu bisa kita peroleh dari hutang terlebih dahulu. Dan jika berhasil panen kita akan membayarnya dan meraup uang yang melimpah. Tentunya juga bisa digunakan untuk membiayai kelanjutan kuliah Bahareh”
Ibu : “Coba bandingkan, Nak!! Siapa di antara bapakmu dan tetangga kita yang jauh lebih kaya? Jelas yang lebih kaya bapakmu. Seharusnya kita perbanyak syukur hari hari ini bukan malah buang-buang waktu untuk berkeluh kesah saja dan ketus terhadap nikmat-Nya.”
“Bayangkan, Nak!! Saat tetangga kita hanya punya sepetak kolam yang luasnya tak seberapa itu, bapakmu sudah melampauinya, bapakmu sudah punya sepetak kolam yang terhampar luas tak terkira sejauh pandangan mata. Tiada perlu kita merepotkan diri untuk mengenyangkan ikan-ikan saban pagi dan sore, tanpa perlu juga kita khawatir soal ikan-ikan kita akan dicuri orang. Laut di seberang sana adalah kolam bapakmu, tak kenal waktu dan musim kita akan tetap memanennya saban hari, meskipun bapakmu mencarinya tanpa perahu, ia hanya bisa menyisiri ikan di sepanjang tepian pantai.”
Bahareh : “Sungguhlah apa yang ibu katakan benar adanya”.
Ibu : “Malahan, sebenarnya kita tak pantas mendapatkan kegelimangan kekayaan ini, ibadah apa yang telah kita perbuat sehingga sebanding dengan pemberian nikmat-Nya yang sedemikian banyak ini”
***
Tidak ingatkah kita tentang kebijaksanaan adiluhung yang telah diajarkan sufi bijak bestari terdahulu. Salah satunya seperti keterangan yang disampaikan oleh kitab Min Ma’arifi as-Sadah as-Shufiyah tentang kaca mata Imam al-Junaidi memaknai rasa syukur sebagaimana berikut ini:
Imam al-Junaid berkata: “Syukur adalah kamu tidak melihat dirimu pantas memperoleh nikmat.”
***
Apa yang telah kamu lakukan sehingga kamu merasa berhak mendapatkan perlakuan baik dari-Nya?
Apa yang mula-mula kamu perbuat sampai dapat menyamai nikmat yang diberikan-Nya kepadamu?
Bahkan boleh jadi kamu berbuat buruk tapi Allah membalasnya dengan kebaikan.
***
Imam al-Junaid mengajari kita berkata, “Demi Allah, aku tidak menemukan diriku sebagai orang yang berhak dan pantas atas nikmat terkecil yang Allah anugerahkan kepadaku. Kendati demikian, limpahan nikmatnya datang silih berganti sampai-sampai menenggelamkanku dari ujung rambut hingga ujung kaki.”
Pada waktu muda, aku adalah laki-laki sembrono dan gegabah. Aku tenggelam dalam lumpur duniawi. Tidak ada yang aku pedulikan selain diriku sendiri. Sudah begitu banyak aku berbuat salah terhadap orang lain. Tidak sedikit orang yang aku sakiti. Hingga Tangan Tuhan yang Maha Pemurah terulur ke arahku dan melantingku dari kubangan lumpur dunia tanpa amal shalih yang pernah aku lakukan lalu membersihkanku dari noda dan kotoran.
Allah Swt. telah melimpahkan kepadaku nikmat yang tidak mampu aku hitung. Allah sungguh menganugerahkan kepadaku pekerjaan dimana aku tidak diatur oleh siapapun.
Allah memberiku rezeki lapang yang melebihi seluruh kebutuhanku tanpa aku harus bersusah payah dan kesulitan memperolehnya. Allah mengaruniai aku istri yang aku sama sekali merasa tidak berhak mendapatkannya, tidak pula sebanding dengannya—seorang perempuan berakhlak mulia dan memegang teguh agama.
Di atas semua itu, wanita yang aku nikahi ini lebih cantik dari yang pernah aku bayangkan. Darinya, Allah Swt. memberiku keturunan yang jauh lebih unggul daripada apa yang pernah aku harapkan dan impikan.
Allah berbuat terhadapku sesuai kehendak-Nya. Nikmat demi nikmat tidak berhenti mengucuriku begitu deras.Imam al-Junaid tidak kuat mengendalikan diri lalu menangis. Beliau berdiri kemudian beranjak pergi.