High Noon in Jakarta (2001): Catatan Berharga dari Panggung Belakang Presiden

Abdurrahman Wahid dianggap sebagai sosok yang melakukan desakralisasi lembaga kepresidenan Republik Indonesia. Semasa berkediaman di Istana Merdeka dalam kurun 1999-2001, Gus Dur mengembalikan marwah tempat tinggal presiden sebagai rumah rakyat. Istana yang dulu terkesan angker dan kaku, berubah menjadi lebih mudah diakses. Seperti pembawaan sang presiden, suasana Istana pun lebih santai.

Suasana seperti itu memudahkan seorang sineas Australia, Curtis Levy, untuk masuk ke ruang pribadi presiden. Levy sebelumnya telah memproduksi sejumlah dokumenter menyangkut kondisi politik Indonesia, seperti Riding the Tiger (1992) dan Invitation to a Wedding (1995). Film yang disebut terakhir berfokus pada konstelasi politik Islam di Indonesia, dengan Gus Dur saat itu jadi kiai oposan melalui organisasi Nahdlatul Ulama.

Tak dinyana, kiai yang sempat ia filmkan ndilalah terpilih menjadi presiden. Levy pun menelepon sang kiai untuk menanyakan kemungkinan membikin film tentang dirinya yang sudah jadi orang nomor satu. Jawaban dari seberang telepon langsung membuatnya berangkat ke Jakarta, “Ya. Datanglah dan tinggal di Istana.”

Sutradara yang telah memenangi berbagai penghargaan perfilman Australia tersebut tinggal selama empat bulan di Istana. Ia berkesempatan merekam keseharian Gus Dur dan keluarga, mengikuti lawatan Gus Dur ke berbagai negara Eropa dan Asia, dan mungkin yang paling istimewa, mendengar langsung confidential dialogue antara Gus Dur dan sahabat sekaligus menteri luar negerinya, Alwi Shihab. Begitu tak terbatasnya akses yang diperoleh Levy, ia bahkan turut merekam wawancara Gus Dur dengan berbagai media internasional, termasuk wawancara off the record sekalipun.

Membuat Wiranto Resah dari Luar Negeri

High Noon in Jakarta, demikian Levy memberi judul film tersebut. Ide judul tersebut bukan muncul dari Levy, melainkan dari kepala Gus Dur sendiri. Di adegan pamungkas, Gus Dur bercerita tentang film High Noon (1952), sebuah film yang mengisahkan seorang sheriff yang harus berduel dengan dengan seorang bandit di stasion kereta, padahal hari itu pula ia akan melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya.

Dengan tanpa beban, Gus Dur turut bersenandung menirukan sang sheriff, “Do not forsake me, oh my darling. I must be brave …”. Bila dicermati, lirik tersebut dirasa berkelindan dengan apa yang dialami Gus Dur di dunia nyata. Presiden keempat RI tersebut memang tengah menghadapi tekanan dari banyak sisi. Sebagai presiden dengan pemikiran lebih maju dari zamannya, posisi Gus Dur saat itu amat kritis lantaran tak pernah seiring sejalan dengan elite di sekitarnya.

Bagaimana tidak, di saat transisi demokrasi yang menyita banyak energi, presiden baru yang perlu dibacakan dalam melahap koran malah lebih sering bepergian ke luar negeri. Di saat stabilitas nasional menjadi penting untuk dijaga, presiden baru yang harus dituntun dalam berjalan lebih memilih bermain api dengan tentara.

Narasi film ini bergerak mengikuti langkah politik Gus Dur saat itu. Ia berhadapan dengan faksi tentara yang dijadikan penyangga kekuasaan otoriter selama lebih dari tiga dekade. Problem terbesarnya adalah Wiranto, panglima ABRI terakhir yang punya “riwayat buruk” di Timor Leste. Dunia internasional menantikan apa yang akan dilakukan Gus Dur terhadap sang jenderal.

Wiranto sendiri saat itu masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan. Keberadaannya di kabinet dianggap membebani reformasi. Gus Dur sendiri, dalam perbincangannya dengan Alwi Shihab, merasa Indonesia baru akan dipercaya dunia internasional jika Wiranto keluar dari kapal pemerintah.

Saat temuan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor Timur dirilis pada akhir Januari 2000, nama Wiranto turut disebut sebagai pihak yang terlibat. Gus Dur masih dalam rangkaian kunjungan ke berbagai negara di Eropa dan Asia. Dalam setiap lawatan yang terekam kamera Levy, Gus Dur selalu mendapat pertanyaan seputar status Wiranto dari wartawan. Cucu KH. Hasyim Asy’ari yang memang terkenal ceplas-ceplos terang saja menjawab akan meminta Wiranto mundur dari jabatannya begitu pulang ke Indonesia.

Wiranto yang resah akibat pemberitaan media sampai merasa perlu untuk menyambut Gus Dur di bandara. Nalar politik publik menganggap penyambutan itu merupakan langkah sang jenderal untuk “menatap mata” presiden secara langsung akibat huru-hara yang ia sampaikan selama di luar negeri.

Seperti dilansir Tirto, Gus Dur pada awalnya memberi kesempatan Wiranto untuk menjalani proses hukum. Akan tetapi, keputusan Gus Dur berubah setelah meneliti kegiatan Wiranto selama dirinya pergi dari Jakarta. Gus Dur bahkan menggunakan kata “menonaktifkan” dalam pernyataannya tentang nasib Wiranto kepada Kompas.

Sulit Muncul Dokumenter Serupa

Film ini barangkali memang berniat mengisahkan benturan Gus Dur dengan tentara (baca: Wiranto). Levy hanya menampilkan obrolan tentang sikap Gus Dur ke tentara dalam pembicaraan dengan pembantunya dan para wartawan. Adegan diplomatik pertama dalam film ini pun berupa kunjungan Presiden CNRT—dan kelak menjadi presiden pertama Timor Leste- Xanana Gusmao ke Jakarta. Lantas di akhir film, tepat setelah pernyataan pers Wiranto soal penonaktifan dirinya, Levy menampilkan kunjungan balik Gus Dur ke Dili. Kita semua tahu, Timor Leste adalah tempat permasalahan HAM Wiranto bermula.

Di sisi lain, Levy berhasil menggambarkan Gus Dur sebagai manusia seutuhnya. Potret presiden yang lari pagi mengitari kompleks istana sungguh langka bagi kita yang mengingat Gus Dur sebagai kiai berkursi roda. Keseharian Gus Dur yang memakai kaos oblong serta berbagi canda dengan koleganya juga masuk layar.

Saya kira, Levy memanfaatkan kesempatan berharga menyiarkan pribadi presiden yang bisa saja tak diizinkan dipublikasikan karena memuat banyak aktivitas di “panggung belakang”. Merujuk pada kemauan banyak pejabat publik yang hanya mau ditampilkan di depan publik kala berpentas di “panggung depan”, dokumenter ini menjadi catatan berharga dalam lembaga kepresidenan RI, bahwa pernah ada presiden yang mempersilakan obrolannya dicatat, kesehariannya direkam, bahkan panggilan teleponnya didengar.

Ada rasa skeptis yang membuat saya ragu akan muncul dokumenter serupa. Segala kerumitan protokoler dan usaha-usaha pencitraan, saya kira akan menyulitkan sineas mana pun di masa depan untuk menembus sekat kaku kepresidenan seperti yang didapat Levy. Hanya kerendahan hati dan keterbukaan pikiran Gus Dur yang membuat Curtis Levy mampu menyajikan High Noon in Jakarta.