Perkara hijrah belakangan ini menjadi buah bibir. Hal ini lantaran banyak nama-nama beken dari kalangan artis banyak yang memprokamirkan diri telah berhijrah. Seketika, kata hijrah menjadi pembicaraan publik. Lantas apa sebenarnya hijrah itu?
Kata hijrah pada awalnya memiliki makna berpindahnya Nabi Muhammad saw. beserta para sahabatnya dari kota Makkah menuju Yatsrib (Madinah) pada 20 Juli 622 M (Said Ramadhan, fiqih al-sirah). Hijrah Nabi ini disebabkan karena penindasan kaum musyrik Quraisy yang luar biasa terhadap Nabi dan para sahabatnya. Lantas yang menjadi pertanyaan, apakah sama hijrahnya Nabi dengan hijrahnya para anak muda sekarang?
Jawabannya tentu saja berbeda, karena Nabi bersabda dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a “Tidak ada hijrah setelah adanya fath al-makkah (dikuasainya kota Makkah dari kaum kafir ketangan kaum Muslimin) namun (yang ada hanya) hijrahnya dengan niat yang bagus (meninggalkan perbuatan yang buruk menuju perbuatan yang lebih baik)”
Kini fenomena hijrah sudah menjadi sesuatu yang hits dikalangan anak muda. Mereka berbondong-bondong berhijrah menuju kehidupan yang sederhana namun serat akan nuansa islami yang kemudian merubah apapun mulai dari gaya hidup, cara berpakaian, hingga cara berbahasapun mereka ganti. Lalu apakah itu semua sudah dikatakn sebagai orang yang berhijrah (selanjutnya disebut muhajir)?
Menurut saya pribadi bahwa hijrah bukanlah perkara fisik lahiriyah semata, melainkan lebih kepada jiwa batiniyyah. Karena Islam bukan hanya tentang simbolis fisik saja, namun Islam adalah tentang rasa. Jadi bila memang berkeinginan untuk berhijrah maka jangan hanya terpatok pada simbol-simbol yang dianggap islami. Arab pun bukan sebuah pengerucutan dari hijrah itu sendiri sehingga muhajir tidak harus mendandani diri mereka layaknya orang Arab untuk melakukan tren berhijrah hingga bahasapun ikut dirubahnya yang semula menggunakan istilah aku, saya, gue berubah menjadi ana, ane. Yang semula kamu, loe dirubah dengan istilah anta, antum hingga berujung antem-anteman.
Kita harus mengapresiasi niatan mulia mereka berhijrah untuk lebih mendekatan diri kepada Tuhan. Namun sangat disayangkan bila niatan mulia itu ditampung oleh orang-orang yang keliru, yang memiliki kepentingan tersendiri lalu membungkusnya dengan istilah hijrah, mencekoki para muhajir dengan faham-faham yang kaku, melenceng, hingga yang lebih ekstrim lagi mendoktrinnya dengan faham radikalisme. Karena dari yang saya amati bahwa kebanyakan para muhajir adalah orang-orang yang dasar keagamaanya terbatas sehingga ketika ada seseorang tokoh yang bermodalkan followers ribuan, berpakaian kearab-araban, mengutarakan beberapa dalil, mereka para muhajir dengan mentah mengiyakan serta menganggap itu adalah Islam yang benar, islam yang murni diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.
Para adek-adek yang berbahagia sebangsa setanah air yang tengah galau tentang perkara hijrah, saya tekankan sekali lagi bahwa agama Islam bukanlah tentang simbol dan Islam bukanlah tentang Arab. Untuk berhijrah tak perlu memaksakan untuk menjadi Arab, cukup dengan berpakaian sopan yang menutup aurat sesuai dengan pakaian serta budaya yang ada sehingga tak perlu ngotot memaksakan menumbuhkan jenggot karena menurut sang guru memelihara jenggot hukumnya wajib. Bila memang wajib maka saya yang dilahirkan dengan wajah mulus bersih tanpa jenggot akan terkena dosa setiap hari. Lebih dari itu hijrah adalah tentang bagaimana kita menata ulang hati, sikap, tutur kata, menebar kasih sayang, meningkatkan kualitas ibadah serta seberapa manfaat kita untuk sekitar.
Sejalan denga itu, di tengah ramainya dunia maya yang membahas masalah hijrah serta romantisme umur 20’an banyak yang lupa bahwa di tahap yang sama mereka juga harus berjuang membuktikan diri kepada dunia tentang siapa dia, apakah nantinya ia akan menjadi sampah masyarakat, orang biasa, atau menjadi seorang yang ahli. Selepas puluhan tahun sekolah kita harus menyadari bahwa kita harus berkembang serta mengambil satu peran yang kemudian akan kita mainkan seumur hidup.
Jangan hanya terpatok pada pendidikan karena lembaga pendidikan hanya mencetak bukan untuk menjadi pengembang. Pendidikan hanya soal angka dan nilai, berkembang atau tidaknya kita tergantung dari kita menyikapi setiap fenomena yang ada lalu mengambil sikap.
Setelah kita mengambil satu peran maka mainkanlah peran itu dengan sebaik-baiknya, percayalah bahwa di dunia ini tidak semua orang dilahirkan untuk mejadi seorang jutawan, ilmuan, dokter serta aneka peran lainnya. Kita harus menyadari bahwa urusan kegalauan berlebih tentang apapun terutama mengenai pasangan telah banyak menyita waktu ke hal-hal yang tidak penting dan tak berdampak.
Untuk mengatasi masalah yang ada serta masyarakat yang begiitu besar, kita lebih banyak butuh ahli bidang keilmuan dari pada ahli bidang poles memoles wajah, lebih butuh banyak cendekia dari pada selebgram. Terkadang saya merasa pekok melihat bagaimana dunia ini berjalan di tengah orang-orang yang begitu sibuk memikirkan eksistensi diri sendiri berlomba-lomba mencari perhatian publik dengan berbagai sensasi yang menurut saya unfaedah.
Ambilah peran yang dengan bijaksana, peran yang memberikan kebaikan kepada diri sendiri dan sekitar, peran yang sekiranya memberikan pahala serta keberkahan. Bukan masalah seberapa banyak uang yang kita dapatkan dari peran itu, tapi tentang seberapa maksimal kita mampu memeberikan yang terbaik melalui peran tersebut.
Semakin kesini semakin kita memahami bahwa ini adalah masa bagi kita untuk kembali berpikir, merenungkan, menata ulang niat, dunia ini tidak sedang baik-baik saja seperti yang kita lihat setiap hari maka isilah peran yang telah kita ambil dengan rasa syukur menjalani dengan sebaik-baiknya karena kita diciptakan untuk menjalani peran untuk menjadi seorang khalifah minimal untuk diri sendiri, bukan diciptakan hanya sebagai angin lewat yang selalu menebar omong kosong.