Ibnu Saqa; Kawan Syaikh Abdul Qadir yang Malang

Suarr.id–Ada satu kisah menarik di dalam kitab al-Hubbu fi al-Quran karya Syaikh Ramadhan al-Buthi, seorang ulama sunni dari negeri Syam.

Alkisah ada tiga orang pemuda yang hendak nyantri kepada salah satu ulama besar di suatu kampung yang amat jauh dari rumah mereka. Ulama itu adalah Syaikh Yusuf al-Hamdani. Kisah ini terjadi pada abad 5 H.

Belakangan ketiga pemuda itu ialah Ibnu Saqa, Ibnu Ashrun dan Abdul Qadir. Mereka bertiga berangkat nyantri dengan membawa niat yang berbeda satu sama lain. Dengan membawa bekal secukupnya dan berpamit kepada orangtua masing-masing, mereka bertiga berangkat berjalan kaki menyusuri jejalanan melewati lembah demi seteguk ilmu.

Di tengah jalan, terjadi perbincangan di antara mereka bertiga. Satu orang bertanya kepada satu yang lain. Dimulai oleh Ibnu Saqa, ia bertanya kepada kedua kawannya, “Kalau boleh tahu, apa niat kalian nyantri ke Syaikh? Kalau aku ingin menguji ilmu Syaikh tentang ilmu-ilmu agamanya. Dan akan kutunjukkan kebodohannya kepada orang-orang yang tertipu dengan jubah dan jenggotnya.”

Ibnu Anshur dan Abdul Qadir tercekat mendengar niat kawan mereka, Ibnu Saqa.

Lalu giliran Ibnu Ashrun mengutarakan niatnya. “Aku ingin meminta doa yang ampuh dari Syaikh supaya aku memiliki harta yang sangat banyak, dan orang-orang memandangku sebagai orang yang kaya raya.”

Tinggal Abdul Qadir yang belum mengutarakan niatnya. “Kalau kamu, Dir, apa niatmu?” tanya kedua kawannya. Yang ditanya menjawab, “Aku pergi nyantri kepada Syaikh karena beliau terkenal salih dan merupakan pribadi yang agung. Aku ingin bertabarruk kepada beliau dan memohon agar mendoakanku.”

Setelah berhari-hari berjalan sampailah mereka ke pondokan Syaikh Yusuf. Segera mereka dipersilakan masuk sowan kepada Syaikh.

Belum sampai mereka bertiga mengutarakan maksud kedatangannya, sang Syaikh sudah memandangi satu persatu wajah mereka. Mereka bertiga diam seribu bahasa. Tak ada yang berani memulai berbicara. Akhirnya sang Syaikh mulai angkat berbicara. Sambil memandang wajah Ibnu Saqa beliau berbicara, “Aku melihat Dajjal dan kekufuran di antara kedua matamu. Kau datang ke sini hanya untuk mengujiku dan berniat buruk kepadaku.”

“Celaka.” batin Ibnu Saqa tertegun mendengar penuturan sang Syaikh. Mulutnya terkunci rapat. Sang Syaikh beralih memandang Ibnu Ashrun dan berkata sambil menunjuk dadanya, “Kau, suatu ketika akan mendapatkan harta yang kauinginkan.”

Sang Syaikh beralih memandang Abdul Qadir. Seorang pemuda yang memiliki niat tulus nyantri kepada sang Syaikh. “Kelak telapak kakimu ada di pundak para auliya’(wali-wali) zamanmu.” Terang sang Syaikh kepada Abdul Qadir yang kelak menjadi Sulthanul Auliya’, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Pencetus tarekat Qadiriyah.

Singkat cerita, semua apa yang dikatakan sang Syaikh benar-benar terjadi. Ibnu Ashrun menjadi orang terkaya di dunia pada masanya. Kuburnya ada di Damaskus di kota yang dinamai menggunakan namanya, Ashruniyyah.

Lalu apa yang terjadi pada Ibnu Saqa? Punya usut, ia diutus oleh khalifah pada masanya untuk pergi ke Prancis. Di sana ia ditugasi untuk mendebat orang-orang Nasrani dalam masalah agama dan keyakinan mereka dan mengajak mereka untuk memeluk Islam. Ia dipercaya oleh khalifah karena di samping hafal al-Quran, ia juga ahli dalam teologi beserta argumen-argumennya. Selain itu ia juga seorang faqih yang hafal seluk beluk serta celah-celah dalam hukumnya.

Pada suatu hari ia mendapat undangan jamuan dari istana raja negeri setempat. Ia menyambut undangan itu dengan senang hati. Di istana, sang raja memperlakukannya bagai tamu istimewa. Bahkan sang raja memilih putrinya sendiri untuk melayani Ibnu Saqa. Walhasil, Ibnu Saqa jatuh hati kepada putri sang raja. Dengan berani ia melamar sang putri.

Tak serta-merta sang raja melepaskan putrinya. Ia mengajukan satu syarat kepada Ibnu Saqa. Jika Ibnu Saqa ingin menikahinya maka ia harus murtad dari Islam dan memeluk agama Nasrani.Kadung cintanya Ibnu Saqa sampai menanggalkan agamanya demi seorang wanita.

Akan tetapi, setelah semua ritual pembaptisan Ibnu Saqa selesai, semua orang hilang bagai ditelan bumi. Semuanya meninggalkan Ibnu Saqa. Tak ada satu pun yang memperhatikan Ibnu Saqa. Lalu pernikahannya dengan putri raja bagaimana? Sang raja menolak keras jika putrinya dinikahkan dengan Ibnu Saqa. Ia diusir dari istana.

Ibnu Maad dalam Shuzurat al-Dzahab melanjutkan kisah ini. Pada akhirnya, Ibnu Saqa ditemukan di Kostantinopel dalam keadaan sakit. Ia memegang sebuah kipas dan banyak lalat berterbangan dari wajahnya. Ia ditanya apakah masih hafal al-Quran(?) jawabnya tidak. Ia tidak mengingat satu pun ayat al-Quran kecuali Al-Hijr : 2, “Orang-orang kafir itu (di akhirat nanti) terkadang menginginkan andaikan mereka menjadi orang muslim.” Dan ia meninggal dalam keadaan sia-sia.