Dalam dunia mistik, keagungan Persia tanpa sufisme (dimensi mistis Islam) ibarat seekor burung tanpa pita suara. Tak bersiul. Kalaupun mericau paling banter hanya ceracau biasa. Ajaran sufisme yang mana memuat nilai kearifan dan hikmah, kicaunya hingga kini senantiasa menelusup di gendang-gendang telinga dan relung-relung hati setiap manusia. Teladannya yang sejuk begitu menghaluskan hati dan makin masyhur bila mana dikisahkan terus menerus.
Persia dikenal memiliki peradaban yang unggul dan maju. Kerajaan yang wilayahnya meliputi kawasan Iran modern, Irak, Suriah, Pakistan, Asia Tengah, Lebanon dan wilayah Arab ini telah melahirkan banyak sufi kesohor yang tidak ada bandingannya. Bagi pengkaji tasawuf, siapa saja akan peka ketika saya menyebutkan sederetan nama laiknya Fudhail bin Iyadh, Ibrahim bin Adham, Abu Yazid al-Busthomi, Ma’ruf al-Karkhi, Imam al-Ghazali, al-Muhasibi, Abu Qosim al-Junaidi, Sufyan ats-Tsauri dan Imam al-Qusyairi.
Dan mengenai nama terakhir inilah saya akan coba suguhkan ihwal sirah singkat hidupnya.
Imam al Qusyairi bernama lengkap Abdul Karim Hawazin (sebagian menyebut Hawazan) bin Abdul Mulk bin Thalhah bin Muhammad al-Khurosani an-Naisaburi. Tentang sandangan al-Qusyairi sendiri adalah penisbahan yang disandarkan kepada Qusyair bin Ka’ab bin Rabi’ah bin Amir bin Sa’sa’ah al Qusyair al-Ab as-Silmi al-Um, kabilah besar yang telah menurunkan banyak ulama di tanah Khurosan.
Ber-laqob Jamalud Din. Oleh Imam as-Subkiy, Imam al-Qusyairi juga dijuluki sebagai Zainul Islam. Kiprah hidupnya dikenal sebagai seorang sufi, ulama yang cerdik pandai, seorang penceramah, sastrawan, penulis prosa dan sekaligus seorang penyair. Ia dilahirkan pada bulan Rabiul awal tahun 376 H/986 M di Ustu; sebuah desa kecil bagian Khurosan yang berdekatan dengan kota Naisabur.
Berangkat dari keluarga yang terpandang secara keilmuan dan berpunya secara ekonomi. Sedari kecil, ia menerima pendidikan yang baik dan tak kurang-kurang dari segi pendanaan. Ketertarikannya dengan berbagai keilmuan telah nampak pada masa mudanya, sehingga ia terpilih sebagai salah satu delegasi dari desa yang berangkat ke Naisabur guna menuntut ilmu.
Sejarah menuliskan, Imam al Qusyairi banyak mendatangi halaqah-halaqah dari mulai disiplin ilmu hadits, fikih, sastra dan kalam yang diampu oleh ulama-ulama besar. Di kota itu ia berguru kepada seorang teolog Sunni, Abu Ishaq al-Asfarayini. Semenjak itu, ia menganut madzab akidah asy-‘Ariyah. Sedangkan di bidang tasawuf, ia pertama kali menimba ilmu kepada penggede sufi Abu Ali ad-Daqaq, yang kemudian menjadi guru spiritualnya.
Di samping itu, Imam al-Qusyairi juga pernah nyantri kepada Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husin ibn Muhammad al-Azdi al-Sulami al-Naisaburi, Abu Bakar Muhammad ibn al-Husain ibn Furak al-Anshari al-Ashbahani, dan Abu Manshur Aliah Abdur Qahir ibn Muhammad al-Baghdadi al-Tamimi al-Asfarayaini.
Perihal bertulis karya, Imam al Qusyairi terbilang sebagai ulama yang amat produktif menelurkan kitab dengan tema tema yang beragam. Kitab ar-Risalah al-Qusyairiyyah ialah salah satu kitab monumental bernafas tasawuf yang sangat berandil besar terhadap kesufian ulama dan tokoh-tokoh setelahnya.
Di antara karya-karyanya yang lain ada Ahkam al-Syar’i, Adab al-Shufiyah, Al-Arba’un fi al-Hadits, Istifadhah al-Muradat, Balaghah al-Maqashid fi al-Tasawuf, At-Tahbir fi Tadzkir, Tartib al-Suluk, fi Thariqillahi Ta’ala, Al-Tauhid al-Nabawi, At-Taisir fi ‘Ilmi al-Tafsir, Al-Jawahir, dan al-Dalil ila Thariq al-Shalah, Diwan al-Syi’ri, Al-Dzikr wa al-Dzakir, Al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmi al-Tasawuf, Sirat al-Masayikh, Syarâh Asma al-Husna,, Uyun al-Ajwibah fi Ushul al-Asilah, Lathaif al-Isyarat, Al-Fushul fi al-Ushul, Al-Luma’ fi al-I’tiqad, Majalis Abi Ali al-Hasan al-Daqaq, Al-Mi’raj, Al-Munajah, dan masih banyak lagi.
Ada fakta menarik tentang Imam al Qusyairi yang jarang diketahui oleh orang banyak. Buah karyanya yang berjudul Nahwul Qulub (Gramatika Hati) menggoda untuk disimak kepada pembaca sekalian. Kitab yang telah dikodifikasi menjadi Nahwul Qulub al Kabir dan Nahwul Qulub as-Shagir menunjukan kepakarannya dalam bidang kenahwuan.
Ditopang kepiawaiannya di bidang kesusastraan, kitab itu disajikan dengan gaya penulisan yang ciamik dan sederhana. Dalam buku itu, ia membeberkan secara runtut lagi detail interkoneksi antara term-term kenahwuan dengan pembahasan mistik kesufian.
Nahwu yang bagi kebanyakan orang dianggap sebagai ilmu zahir belaka. Berkat kecerdasaan dan sentuhan tangan dingin Imam al-Qusyairi mampu dikonversikan menjadi tema-tema pengagungan kepada Allah dengan kaidah nahwu.
Lahirnya kitab itu memperkuat pandangan bahwa setiap ulama besar tidak mungkin mengabaikan urgensi disiplin keilmuan Bahasa Arab (nahwu, shorof dan balaghoh).
Nahwu yang secara bahasa adalah tujuan itu sendiri. Menurut Imam al-Qusyairi tujuan pelajar dalam menekuni ilmu nahwu pun juga berbeda-beda. Ada sebagian di antara mereka yang menjadikan kefasihan lisan sebagai tujuan mencari ilmu. Ada juga sebagian yang lain menjadikan kesucian hati sebagai tujuan utama. Dalam artian, sucinya hati ini berimplikasi pada kecakapan seorang salik guna mengerti hakikat bahasa Tuhan dan ketersingkapan makna-makna tersembunyi yang tidak semua orang dapat mengetahui.
Kisah asmara Imam al-Qusyairi nggak neko-neko, melenggang mudah tanpa kendala yang berarti. Diambil sebagai menantu idaman oleh gurunya sendiri, Abu Ali ad-Daqaq. Pernikahanya dengan Fatimah dikaruniai enam putra yang kesemuanya menjadi orang-orang alim dan saleh. Adapun mereka adalah Abu Sa’ad Abdullah, Abu Fattah Ubaidillah, Abu Said Abdul Wahid, Abu Mansour Abdur Rahman, Abu Nasr Abdur Rahim, dan Abul Mudzaffar Abdul Mun’im.
Imam al-Qusyairi wafat di kota Naisabur pada hari ahad Rabiulakhir tahun 460 H/1072 M di usianya yang ke 87. Pusaranya dimakamkan di dekat gurunya, Abu Ali ad-Daqaq.
Dikisahkan, sebelum kemangkatannya ke hadirat Allah Swt. di tengah kondisinya yang sakit, Imam al-Qusyairi bersikukuh enggan duduk ketika menunaikan sholat dan lebih memilih berdiri.
Allahu Yarham