Suarr.id–Kisah ini datang dari Baghdad pada abad 8 M: tentang perdebatan dua ulama termasyhur.
Syahdan, si alim yang baru menginjakkan kaki di Baghdad, datang menemui Al Kisâ`i, pakar kondang di bidang nahwu-sharaf dari Madrasah Kufah. Al Kisâ`i bertanya, “Kalimat manakah yang benar: dzanantu al-`aqrab asyadda las’atan min az- zunbûr, ‘faidza huwa hiya’ atau ‘faidza huwa iyyâhâ’?”
Yang ditanya menjawab, “Yang benar adalah ‘faidza huwa hiya’. Harus rafa’, tak boleh nashab.”
“Kamu salah,” kata Al Kisâ`i, “orang-orang Arab biasa mengatakan kalimat itu dalam kondisi rafa’ (hiya) dan nashab (iyyaha) .”
Satu versi meriwayatkan bahwa kemudian si alim terpukul. Usai kekalahannya beretorika, niatnya melancong ia gugurkan. Bergegas ia kembali ke Persia menyusuri tepi pantai Bashrah. Ia tulis sepucuk surat kepada murid sekaligus temannya, Al Akhfasy al Ausath, pengalaman yang ia alami di Baghdad. Akhirnya ia pulang ke Syiraz, tak kembali lagi ke Bashrah sampai meninggal pada 180 H.
Si alim itu adalah Sibawaih. Konon nama itu susunan dua kata dalam bahasa Persia; sib (buah Apel) dan waih (tanda nisbat dalam bahasa Persia yang sudah tak dipakai lagi). Nama aslinya Amr bin Utsman bin Qanbar. Laki-laki yang “kedua pipinya seperti Apel segar” ini dilahirkan dari kaum ajam Persia di desa Syiraz pada masa ketika tampuk kekhalifahan beralih ke tangan Bani Abbasiyah.
Masih kecil, ia sudah pergi ke Bashrah—kota yang masa itu lebih ramai geliat keilmuannya ketimbang Kufah dan Baghdad. Sejak kecil ia sudah tertarik dengan halaqah-halaqah Nahwu. Wawasan nahwunya matang di bawah asuhan Al-Khalil ibn Ahmad, alim Bashrah yang meletakkan batu dasar ilmu arudl wal qafiyah. Jika ia datang, Al Khalil menyambutnya penuh mesra, “Selamat datang pengunjung yang tak bosan-bosan…”
Tapi pengunjung (majlis ilmu) yang tak bosan-bosan itu tak berusia panjang. Usianya kira-kira 40 tahun. Pada tahun 1965, terbit buku anggitan Dr. Syauqi Dhoif yang secara sistematik-geografis menelaah peta epistemologi ilmu Nahwu. Salah satu dari empat pusat studi Nahwu adalah “Madrasah” di Bashrah. Dan Sibawaih termasuk ulama generasi ketiga di “Madrasah” tersebut ketika nahwu merangkak ke fase ketika “mengapa fail harus rafa’” atau “maf’ul kudu nashab” bahkan “mengapa susunan inna dkk beserta isim dan khabar dianalogikan dengan fiil yang maf’ul-nya didahulukan dari fail-nya” mencari jawabnya. Syauqi menulis, “Sibawaih tak hanya menulis bentuk-bentuk (shighat) bahasa Arab… ia mulai menganalisa sesuatu yang sekiranya masih berupa dugaan dan susunan-susunan yang memungkinkan dengan bersandar pada analogi dan ta’lil.”
Semua uraiannya ia tulis dalam karya kanonikalnya, Al Kitâb—buku yang tak dimukadimahi pendahuluan dan tak diakhiri kesimpulan. Risalah yang belum sempat diberi judul oleh Sibawaih sendiri ini bukan buku pertama yang meneliti sintaksis atau morfologi bahasa Arab. Jauh sebelumnya pada pertengahan pertama abad 2 H, Isa ibn Umar at Tsaqafy (morfolog generasi pertama di Bashrah) menulis Al Jâmi’ dan Al Mukmil; lalu Al-Khalil, Leksikolog dengan magnum opusnya, Al `Ain. Tetapi, seperti tulis Syauqi bahwa Al-Kitâb adalah kitab pertama yang merangkum perbendaharaan teori-teori nahwu-sharaf-`arudl Madrasah Bashrah. Bahkan Al-Kitâb tetap menjadi referensi penting dalam studi morfologi-fonologi semisal Ibn Malik, musta’rib yang sangat masyhur di dunia pesantren Indonesia dengan karyanya Alfiyah yang tersusun dalam nadzam berjumlah 1002 bait. Morfolog Andalusia ini hidup pada awal abad 7 H.
Sibawaih tak memberi judul bukunya karena ia ingin membacanya ulang. Namun ajal menjemputnya lebih awal. Ia kirimkan tulisannya kepada Al-Akhfas Al-Ausath. “Ketika selesai menetapkan dasar-dasar di kitabnya,” kenang Al-Akhfas seperti tertulis dalam Mu’jam al-Udabâ`, “Sibawaih selalu memperlihatkannya kepada saya.” Karena di mata sang guru, “Saya lebih mengetahui persoalan tersebut padahal saya betul-betul tahu bahwa beliau lebih alim dari saya…
Syahdan, Al-Akhfash—nama lengkapnya Abul Hasan Said ibn Mas’adah—yang menerakan karya gurunya dengan Al Kitâb. Nama yang menegaskan dua penegasian: “Al Kitâb” adalah isyarat kepada buku Sibawaih bukan ulama lain sekaligus satu-satunya karya Sibawaih semasa hidupnya. Praktis setelah wafatnya sang guru, ia—memakai kata-kata Al-Sîrafy, penyarah termasyhur Al Kitâb yang hidup pada pertengahan pertama abad 4 H—adalah “satu-satunya perantara untuk mempelajari karya Sibawaih karena kita tak tahu siapa yang mempelajari langsung buku ini kepada sang empunya yang sementara ia pun tak mengajarkannya kepada siapapun.” Ketika Sibawaih wafat, Al-Kitâb lalu dimasyhurkan ke khalayak oleh Al-Akhfasy sampai ia wafat pada 221 H. Bahkan satu riwayat mewartakan kalau Al-Kisai pun mempelajarinya diam-diam kepada Al Akhfasy.
Al-Kitâb terdiri dari 80 bab. Di halaman pertama, mata kita dicegat oleh bab kalam dan taksonominya. Karena ilmu jenis ini sebagian besar bersandar pada metodologi “mengambil apa yang didengar dari orang Arab”, dalil yang dipakai Sibawaih mayoritas dikutip dari syiir bukan al Qur’an. Dalam sebuah risalah magister yang ditulis pada 1980 dengan judul Syawâhid as Syi’r fi Kitâb Sibawaih, Dr. Khalid Abdul Hakim Jum’ah menulis “Ia mendapatkan teks-teks morfologis-fonologis dari gurunya Al-Khalil dan orang-orang Arab yang dipercayainya.”
Dari kategori syi’ir Arab, Sibawaih mengutip 1050 bait; dari ayat Al Qur’an, ia mengutip lebih dari 400 ayat; dari prosa Arab, ia mengambil ratusan natsr (prosa) mulai dari khutbah, amtsal (perumpamaan), cerita dan sebagainya; dan dari Hadits—inilah yang paling sedikit—ia hanya mengambil 6 buah. Alasannya karena jalur periwayatannya bukan lewat teks namun saripati maknanya.
Sibawaih tak memiliki banyak murid. Ia meninggal muda tanpa sempat menyempurnakan karyanya. Ia ibarat bangunan yang belum selesai. Ia pokok yang penuh bolong-bolong yang kemudian Al-Akhfasy menyempurnakannya selama 40 tahun. Lalu datang Al Mubarrid, As-Sakaky, As-Sirafy, Al A’lam, Ar-Rumany, Ibn Malik…
Syahdan, pernah ada dosen yang mengusulkan agar Al Kitâb dijadikan buku pegangan supaya mahasiswa dapat mengetahui metodolgi riset para sarjana morfolog Islam klasik. Namun dosen lain menolaknya, “Apa manfaatnya? Buku itu lahir lantas mati, adakah kau ingin menghidupkannya di abad 20 ini?”
“Selain Anda, adakah orang lain yang berani bilang demikian?” tangkis si pengusul, “dosen Sastra Arab pun tak berani berujar seperti itu. Al-Kitâb tak akan lapuk. Ia terus dikenal laiknya matahari mengelilingi belahan bumi dan orang-orang menaruh perhatian besar untuknya. Buktinya, tidak sedikit ulama yang menuliskan syarah, hasyiyah bahkan juga tafsir atas syahid di dalam karya Sibawaih.”
“Justeru itu menunjukkan kalau buku itu tak layak diapresiasi,” ia menyangkal, “karena sudah tak butuh akan penjelasan dan penelitian lagi.”
Usulan itu ditolak. Dan satu abad sebelumnya, pada 1881, untuk pertama kalinya Hurtwigz Dernburgh, orientalis Perancis mencetak Al-Kitâb