Interpretasi Sesuai Musimnya

Pernahkah dari kita tidak melakukan interpretasi? Mustahil barangkali, sebab manusia dengan piranti akalnya senantiasa melakukannya. Interpretasi adalah sebuah kemampuan akal untuk memandang, memberi tanggapan, maupun menilai yang kesemuanya bisa dijelaskan dengan laku; menafsir.

Di rumah, pasar, sekolah, kantor, jalan, atau di manapun dan pada saat apa saja kita tak bisa lepas dari berinterpretasi. Interpretasi menjadi semacam gerak mekanis yang berputar ketika indera menangkap sesuatu. Ada tanda yang sebenarnya masih dalam bentuk tanda tanya, namun perlu dibaca dan direka untuk menemui makna.

Kalau kata John B. Thompson (2014), dunia ini tersusun dari individu-individu yang berbicara dan bertindak dengan cara-cara penuh makna, mereka yang menciptakan dunia itu dan kemudian memunculkan identitas serta kehidupan mereka, dan kreasi-kreasi mereka hanya dapat dipahami oleh interpretasi.

Dalam kehidupan sosial sehari-hari, pertemuan dengan orang lain menjadi niscaya. Di sana lah interpretasi seringkali berfungsi. Misalnya, ketika melihat muka lawan bicara masam, ada yang berinterpretasi bahwa dia tidak suka dengan pembicaraan atau pada pertemuan. Ketika mendengar teman bercerita tentang kebusukan tindakan seseorang, ada yang berinterpretasi bahwa orang itu memang buruk, jahat, atau tak bermoral.

Ketika melihat seorang tokoh berbicara di televisi dengan nada keras dan kadang terselip kata kasar, ada di antara kita yang mungkin berinterpretasi dia tokoh yang tak menahu sopan santun. Atau ketika ada lawan jenis yang memandang kita dengan senyum, lantas kita sering berinterpretasi dia tertarik dengan kita. Begitulah interpretasi, ia bisa benar bisa juga salah. Meminjam kontemplasi dari Mas Sabrang, berbicara soal interpretasi, selalu ada jarak antara fakta dan makna.

Contoh lain lagi, yakni jika Anda berkenalan dengan seseorang, dan tak berselang lama orang tersebut mengatakan suka kepada Anda. Lalu Anda menafsir secara berlebihan, dan menangkap maknanya sebagai dia mencintai Anda. Tentu saja akan menimbulkan masalah baru yang bisa berujung pada patah hati karena salah menafsir. Bisa saja dia menyatakan suka kepada Anda karena tingkah atau perkataan Anda menyenangkan buat dia. Tak lebih dari itu.

Interpretasi memang menjadi jalan bagi manusia untuk memahami sesuatu. Dalam praksisnya untuk mencapai makna atau maksud dari keadaan di sekitanya. Sesuatu itu biasa disebut simbol atau tanda dan bisa berupa apa saja. Entah itu mimik wajah, tingkah seseorang, awan mendung, burung bersiul, banjir, gunung meletus, dan segala yang tertangkap oleh indera yang di dalamnya terkandung atau diberi makna atau maksud tertentu.

Begitu juga terhadap suatu teks, kita tidak bisa untuk tidak berinterpretasi. Interpretasi diperlukan untuk mendapatkan pemahaman, lebih-lebih sebagai upaya mempertemukan apa yang tampak dengan makna sebenarnya yang dimaksud. Sebab sering kali makna dari sesuatu yang ditampilkan, secara kasat mata dibuat seperti berseberangan dengan apa yang ditampilkan. Hal tersebut ada yang sengaja dilakukan dengan maksud yang menerima informasi bisa bergerak lebih jauh yakni berpikir lebih mendalam, melampaui teks, dan meninggalkan belenggu materi, untuk mencapai yang hakiki atau otentik.

Seperti pada kalimat yang saya dapat dari Mojok yang berbunyi: Buku di tangan kiri, kopi di tangan kanan, jodoh di tangan Tuhan. Ada banyak penafsiran yang bisa lahir dari kalimat tersebut. Sebut saja pada kalimat “buku di tangan kiri”. Wah, ternyata ada juga yang menafsir bahwa buku Mojok beraliran kiri sebab terdapat kata kiri. Ini tentu saja penafsiran yang tidak pas. Kemudian pada kalimat “jodoh di tangan Tuhan”, ada juga yang menafsir secara tekstual bahwa Tuhan bertangan dan memegang jodoh sebagaimana manusia memegang buku dan kopi. Akibatnya ia mengkafir-kafirkan Mojok hanya karena ketidaktepatan penafsiran terhadap kalimat itu. Ironis lagi bebal, bukan?

Barang kali Anda pernah menerima petuah yang beredaksi: diam itu lebih bermanfaat, atau diam itu emas. Tentu saja petuah itu tidak lantas ditafsir secara tekstual semata. Ketika melihat sesuatu yang salah, sewenang-wenang, atau suatu bentuk ketidakadilan, tentunya paling tidak harus bersuara lebih-lebih melakukan tindakan. Diam baru bisa disebut emas jika memang tepat guna. Membicarakan kebohongan, membuka aib yang merugikan, memfitnah dan segala hal yang tidak baik, tidak indah dan tidak benar. Terhadap semua itu, diam baru bisa dikatakan bermakna. Tentu saja diam yang bermanfaat yang bagaikan emas. Terlebih kita sekarang berada di era dimana informasi membanjiri tiap lini kehidupan. Sebagaimana banjir informasi yang terserak ibarat air yang sangat sulit diketahui mana yang bersih dan mana yang kotor, mana yang benar dan mana yang bohong.

Menghadapi hal tersebut, interpretasi semestinya dilakukan secara hati-hati dan tidak tergesa. Menginterpretasi peristiwa, alangkah lebih baik apabila terlebih dahulu mengklarifikasi berbagai sumber yang mengabarkan berita tersebut. Paling tidak, pertama-tama ada penyangkalan dalam diri kita atas berita yang masuk. Menginterpretasi seseorang, kita harus bersedia mendengar, melihat, dan merasakan sendiri bagaimana perkataan dan tingkah lakunya. Disini petuah Pram perlu dipraktikkan, yakni berlaku adil sejak dalam pikiran apalagi perbuatan. Artinya apa yang kita lihat dan dengar sekilas saja tak cukup untuk menafsir seseorang.

Lain lagi dengan menafsir teks, terlebih kitab suci. Ini yang berat, dan sering disalahgunakan. Saya juga merasa berat apabila harus membahas ini. Menafsir kitab suci, menurut kepercayaan saya, sudah sepantasnya tidak dilakukan dengan sembarangan. Boleh saja tiap orang menafsir teks kitab suci, tapi harus paham batas keilmuan, pengetahuan, dan pengalamannya.

Alangkah lebih baik jika berguru pada yang lebih mampu. Sebab teks dalam kitab suci memang sesuatu yang selalu menggoda dan harus ditafsir. Bayangkan, sudah berapa abad yang berjalan sejak kitab suci diturunkan. Sudah berapa generasi yang terus menjaga dan mewariskan kitab suci hingga sampai sekarang? Sudah berapa banyak peristiwa, momen, dan kondisi yang berubah sejak awal diturunkannya? Tentu saja penafsiran kitab suci akan semakin berat menimbang berbagai faktor, keadaan, dan zaman yang berubah terus menerus.

Nah, begitulah mengapa diperlukan guru yang mumpuni dengan segala keilmuan, pengetahuan, dan pengalamannya untuk menafsir teks kitab suci. Bagi saya, setidaknya guru yang menjaga marwah atas peristiwa, kondisi dan cerita masa lampau untuk selanjutnya mampu mengkontekstualisasikan dengan kompleksitas masa kini. Bukankah teks kitab suci sebagai rahmat bagi alam semesta?

Hidup memang banyak peristiwa dan kaya makna, interpretasi dijalankan untuk menjangkaunya. Tiap orang bebas untuk menafsir kehidupannya. Lagi pula tiap orang akan mendapat sesuai apa yang ditanamnya. Sering-sering lah menanam interpretasi yang tepat sesuai musimnya. Selamat berinterpretasi.