Jannah wa Nar (Surga dan Neraka)

Judul Buku : Jannah wa Nar (Surga dan Neraka)
Penulis : Yahya Yakhlif
Penerbit : Darus Syuruq, Kairo, Mesir
Tebal : 400 halaman
Tahun : 2011
Kategori : Novel (Fiksi), Budaya, Timur Tengah

Setiap orang selalu ingin kembali pulang ke kampung halaman, sebab masing-masing dari mereka rindu bertemu dengan diri mereka sendiri. Yahya Yakhlif menuturkan kerinduan itu dalam sebuah cerita berlatar belakang sejarah yang mengeksplorasi kekayaan tradisi, keunikan letak geografis, adat istiadat dan kebudayaan, serta cerita perjuangan bangsanya, Palestina. Penulis sendiri adalah anak kandung dari tanah yang tak berhenti menyaksikan tragedi perang. “Ini cerita jiwa raga bangsa Palestina di setiap masa,” tutur kritikus sastra Faishal Daraj mengenai novel ini.

Ini novel terbaru Yahya tentang arti penting sebuah identitas. Justru karena bermakna, setiap manusia merasa perlu mencarinya. Di hadapan kita, buku setebal 400 halaman ini membentangkan keindahan negara penulisnya, dengan mengizinkan tanah, musim, baju dan karakter orang-orangnya menuturkan kisah panjang perjuangan melawan Zionisme Israel lewat bahasanya masing-masing.

“Tidak bisa disangkal, karya sastra kerap tak luput dari pengaruh situasi politik tempat ia lahir.” Tutur Yahya dalam sepenggal wawancara, “Setiap ada gerakan kebangkitan politik dan perlawanan nasional, pasti dibarengi dengan lahirnya kebangkitan kebudayaan.”

Cerita bermula dari seorang gadis, Sama’ yang tinggal bersama keluarga kecil di salah satu kamp di Libanon pada akhir era 60-an. Setelah sang ayah meninggal, rahasia besar terkuak. Ia bertemu masa lalunya: seorang anak yang dipungut dari salah satu keluarga Palestina yang daerahnya diserang pasukan tentara Israel. Hidupnya berubah. Tidak ada pilihan lain kecuali mencari keberadaan keluarga aslinya.

Ditemani Badriyah, saudara kerabat keluarga Abu Hamid, perjalanan dan kerja keras Sama’ membantunya memunguti kepingan-kepingan sejarah dan identitas dirinya. Pencarian yang mengantarkanya mengenal apa itu Palestina. Menariknya, petunjuk yang bisa mengantarkannya ke sana hanya sepotong baju tenunan dengan motif-motif klasik, tempat celak berbentuk burung dara, boneka kecil dari kain wol dan topi milik ibunya yang tertinggal bersamanya. Uraian benang kusut cerita ini mampu diurai penulis menjadi cerita penuh muatan pengetahuan, keindahan dan seni
tentang Palestina.

“Setiap baju orang Palestina mengendapkan sejarahnya sendiri,” tulis kritikus Ahmad Rafiq Iwad, “dan tempat-tempat yang disinggahi Sama’ menampilkan pengalaman intelektual, spiritual dan sejarahnya sendiri.”

Dalam satu titik pencariannya, Sama’ akhirnya baru mengerti, orang Palestina pantang meninggalkan Tanah Air. Mereka sudah menyatu dengan tempat dimana ia memperjuangkan hidup. Palestina seperti sudah ditakdirkan jadi tanah yang disuburkan dengan was-was dan kegelisahan. “Andai setiap batang pohon Zaitun mengetahui perasaan yang menanamnya,” demikian petani Palestina bercerita di buku ini, “Pastilah minyaknya dalam sekejap akan menjelma menjadi air mata.”

Senjata terakhir, berbekal sepotong baju sulaman motif klasik bernama Janah wa Nar (Surga dan Neraka)—dijelaskan di dalamnya sejarah bangsa ini sebagai bangsa pertama yang mengenal dan mentradisikan sulam dan tenun—akhirnya Sama’ menemui satu kenyataan nasib bangsanya yang sama-sama tak bisa ia tolak seperti kisah masa lalunya sendiri: begitu juga negaraku, Palestina ibarat surga dan neraka.

Yahya Yakhlif pada 1944 lahir di sebuah kota dekat danau Thabaryiya, Palestina. Ia pernah bekerja sebagai sekretaris jenderal di Ittihad al Kuttab wa al Shahafiyin al Falistiniyyin (Asosiasi Penulis dan Jurnalis Palestina). Ia juga pernah menjabat sebagai menteri kebudayaan dan informasi di Otoritas Nasional Palestina. Beberapa karyanya antara lain Najran tahta Shifr pada tahun 1977, Nasyid al Hayat pada 1983 dan Buhaira wara’a Reih tahun 1991.