Ngaji Jurumiyah (1): Kalam

Dalam diskursus keilmuan pesantren, jika dibandingkan dengan disiplin ilmu lainnya, ilmu nahwu termasuk dalam kategori disiplin ilmu yang kurang disukai oleh para santri karena sulitnya memahami ilmu ini. Ilmu nahwu memang gampang-gampang susah, dan untuk dapat menguasainya diperlukan ketekunan dan konsistensi tinggi sebagimana mempelajari bahasa-bahasa lainnya. Mempelajari ilmu ini pun tidak bisa dilakukan secara melompat-lompat seperti ketika mempelajari ilmu tarikh atau akhlak. Ilmu nahwu harus dipelajari secara bertahap, karena jika bab awal belum paham maka akan susah untuk memahami bab setelahnya. Seperti pada maqolah Arab:

اِنَّ النَّحْوَ بَابُهُ حَدِيْدٌ وَدَاخِلُهُ خَصْبٌ

“Sesungguhnya ilmu nahwu pintunya terbuat dari besi dan bagian dalamnya dari rotan”.

Maksudnya jika bagian awal pembahasan nahwu yang lumayan susah untuk dipahami itu (ditembus) sudah mampu dikuasai, maka untuk memahami bab-bab yang setelahnya akan lebih mudah.

Maka dari itu, untuk memberikan tambahan wawasan kepada pembaca terkait ilmu nahwu, selain kajian kitab Nahwu al ‘Arobi yang sudah mulai tayang sebelumnya, kami juga akan mengkaji salah satu kitab nahwu dasar lainnya yaitu kitab Jurumiyah karangan Syaikh Ajurrum As Shonhaji. Kitab Jurumiyah ini sangat populer di kalangan pesantren karena kemudahan memahami isinya yang cukup sederhana jika dibandingkan dengan kitab-kitab lainnya. Setelah menyelesaikan kitab ini biasanya nanti para santri akan diajarkan kitab nahwu yang lebih tinggi seperti Imrithi dan Alfiyah Ibnu Malik.

Kitab Kuning Jurumiyah (dok. google.co.id)
Kitab Kuning Jurumiyah (dok. google.co.id)

Pembahasan dalam kitab Al Jurumiyah dimulai dengan pembahasan mengenai kalam atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan kalimat (untuk lebih jelasnya baca Membicarakan Tentang Kalimah, Kalam, Kalim, Qoul, dan Lafadz). Hal ini penting untuk memberikan gambaran bagi pembelajar ilmu nahwu agar mengetahui struktur kebahasaan bahasa Arab yang cukup berbeda dengan bahasa lainnya.

***

الكلام هو اللفظ المركب المفيد بالوضع

Kalam dalam ilmu nahwu (menurut ahli nahwu) diartikan sebagai “lafadz yang tersusun, yang memiliki faidah (memahamkan) bagi orang yang diajak bicara dan itu dilakukan (lafadz itu keluar) secara sadar/disengaja”.

Contoh:

  • قام زيد  (Zaid telah berdiri > Terdiri dari fi’il dan fa’il)
  • زيد قائم (Zaid adalah orang yang berdiri > Terdiri dari mubtada’ dan khobar)

Pengertian ini sedikit berbeda dengan pengertian kalam menurut bahasa yang diartikan sebagai segala sesuatu yang diucapkan oleh manusia entah itu memahamkan atau tidak, baik disengaja atau tidak.

Penjelasan:

Lafadz disini diartikan sebagai suara yang terdiri/tersusun dari sebagian huruf hijaiyah.

Contoh: زيد (terdiri dari huruf hijaiyah ز ي dan د).

Maka apabila suara tersebut tidak terdiri dari huruf hijaiyah seperti halnya suara hewan maka tidak termasuk lafadz. Tidak termasuk lafadz juga sekalipun itu mufid (memahamkan) yaitu: isyarat, tulisan, akad, dan penunjuk arah.

  • المركب (Tersusun)

Murokkab disini diartikan sebagai sesuatu yang tersusun dari dua kalimah (kata) atau lebih.

Contoh:

  • قام زيد  (Terdiri dari fi’il dan fa’il)
  • زيد قائم (Terdiri dari mubtada’ dan khobar)

Maka apabila tidak terdiri dari dua kalimah (kata) atau lebih maka tidak bisa dikatakan murokkab, seperti halnya lafadz mufrod  زيد.

  • المفيد (Memahamkan)

Mufid disini diartikan sebagai sesuatu yang memberikan pemahaman antara orang yang berbicara (mutakalim) dengan orang yang diajak berbicara (saami’), yang ditandai dengan tidak munculnya pernyatan/pertanyaan baru dari kedua orang tersebut karena informasinya sudah utuh.

Contoh: قام زيد

Kalimat diatas menginformasikan tentang berdirinya Zaid. Maka ketika mendengar informasi tersebut, orang yang mendengar tidak lagi menunggu kalimat apa lagi yang akan keluar dari mutakallim (tidak muncul pertanyaan baru) karena kalimatnya sudah utuh. Tidak seperti halnya ketika mutakallim mengucapkan kalimat jika-maka (syarat-jawab), misal: jika Zaid berdiri. Dalam kalimat ini akan muncul pertanyaan baru dari orang yang mendengarkan, “jika Zaid berdiri lalu apa?”. Nah, contoh yang terakhir ini tidak bisa dikategorikan sebagai mufid karena belum memahamkan.

Tidak termasuk mufid juga yaitu kalimat yang murokkab namun tidak memiliki faidah. Seperti pada lafadz غلام زيد . Dalam contoh ini hanya terdiri dari subjek, dan tidak ada predikat atau keterangan. Jadi informasi yang terkandung di dalamnya hanya separuh, belum utuh.

  • بالوضع (Dengan disengaja)

Bil Wadl’i disini diartikan sebagai sesuatu yang disengaja. Jadi, seseorang mengatakan sesuatu itu secara sadar. Jika tidak secara sadar seperti bicaranya orang yang sedang tidur (mengigau) maka tidak bisa dikatakan bil wadl’i.

 

Catatan:

Dalam tulisan diatas mungkin ada beberapa kosakata yang sedikit membingungkan karena tumpang tindih antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab. Dibawah ini sedikit gambaran padanan kata tersebut dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab.

Indonesia = Arab

Kalimat = Kalam

Kata = Kalimah

Lafadz = Lafadz

Penulis: Imam Syafi’i Zahri – Pernah mengenyam pendidikan di Pesantren Al Muhibbin Kampoeng Pitulikur, Blora.