Kerajaan dan Kekuatan Rakyat Jelata

Judul : Negeri yang Dilanda Huru-hara

Penulis : Ken Hanggara

Penerbit : BasaBasi

Terbitan : Cetakan Pertama, Maret 2018

Jumlahhal. : 260 halaman

ISBN : 978-602-6651-22-8

Peresensi : Kurnia Sandi Permana

Pada novel perdananya ini, Ken Hanggara mengisahkan sebuah negeri yang bernama Negeri Fiktif Belaka. Negeri tersebut adalah negeri bekas penjajahanan yang dibebaskan oleh raja Mugo I, seorang pahlawan yang akan menjadi pemimpin negara. Raja Mugo I terkenal memiliki sifat adil, cerdas, dan baik sehingga masyarakat menyegani. Kejayaan negeri terjadi pada masa kepemimpinan raja Mugo I sampai ia turun tahkta dan Mugo II, keturunan raja Mugo I, menggantikan kepemimpinannya.

Meskipun raja Mugo II adalah anak dari raja Mugo I, namun ia memiliki sifat yang berbeda dengan ayahnya. Ia digambarkan sebagai raja yang gemar makan. Orang-orang yang masih mengimani ilmu sihir dan kebatinan menganggap kegemaran makan Mugo II mengakibatkan beberapa hal baik di kepala menjadi tergusur dan berubah menjadi sesuatu yang tak baik. Namun, mereka tetap diam dan hanya mengamati di kota bawah tanah. Pada masa raja Mugo II ini, kerajaan menggencarkan gerakan literasi. Kerajaan membangun percetakan dan menerbitkan buku-buku, sampai pada akhirnya Mugo II meninggal karena penyakit diabetes. Pengganti dari Mugo II adalah keturunannya yaitu Mugo III. Pada masa raja Mugo III inilah segala huru-hara terjadi dan menimbulkan dampak besar dalam sejarah Negeri Fiktif Belaka.

Pada masa Mugo III, perkembangan literasi diubahnya menjadi doktrin-doktrin yang rusak dan manipulatif. Mugo III menjadi otoriter dengan membantai beberapa wilayah untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak sejalan dengannya. Hal itu ia tutupi dengan memaksa para penulis mengisahkan kehebatannya, bukan fakta yang terjadi. Hal inilah yang membuat Popo Gusnaldi, tokoh yang mendominasi cerita, berusaha menulis kebenaran dan ingin menyebarkannya ke penjuru negeri. Bukan hanya Popo Gusnaldi, Hady Hamzah, seorang dari dunia bawah, juga berusaha menulis kebenaran, namun sayang takdirnya mengenaskan. Hady dibunuh setelah ia menyelesaikan karyanya dan mayatnya dibuang.

Perjalanan Popo Gusnaldi tidak mulus. Untuk menyelesaikan tulisan, perjalanan demi perjalanan ia lalui lewat jalan yang terjal. Ia harus berhati-hati, bila sampai orang lain mengetahui, bisa jadi ia gagal menyelesaikan misinya. Pada akhirnya, walau bukan melalui tulisannya, ia memiliki andil besar dalam perjuangan. Dibantu oleh para dukun bawah tanah dan rekannya, Ben Asmara, ia berhasil menurunkan Mugo III dari tahtanya. Akhir tragis Mugo III dihukum gantung oleh rakyatnya.

Novel tentang perjuangan melawan tirani kekuasaan mampu Ken Hanggara hadirkan dengan sangat apik. Meskipun alur cerita seakan dibuat serampangan, tetapi cerita tetap mengalir dan enak untuk diikuti. Seakan-akan pembaca melewati waktu, seolah waktu tiba-tiba mundur, lalu maju secara cepat.

Rakyat dan kekuatannya: Nasib Mugo III dan Louis XVI Perancis

Menyaksikan akhir dari kerakusan sebuah tirani kekuasaan seorang raja yang ditundukkan oleh rakyatnya menyisakan rasa pahit dan manis yang bercampur jadi satu. Pahit dari keangkuhan sebuah kekuasaan yang menyiksa lahir maupun batin rakyatnya dan manis dari keberhasilan rakyat merobohkan tirani yang menyiksa mereka. Namun tumbangnya sebuah tirani tidak pernah mudah. Seperti cerita dalam novel Negeri yang Dilanda Huru-hara karya Ken Hanggara.

Maka dalam hitungan pecan, seluruh negeri menginginkan kemusnahan Mugo III. Pada hari bersejarah itu, tak kurang dari duapuluhribu orang gugur dalam pertempuran. Kalodora lagi-lagi menjadi semerah darah dan dipenuhi gunungan jasad. Di pasarraya, kios-kios dihancurkan dan di sanalah Mugo III mengakhiri hidupnya dengan cara digantung di bawah terik sinar matahari oleh rakyatnya sendiri. Mayatnya dibiarkan begitu saja sampai sebulan penuh dan nyaris tandas oleh ribuan belatung dan semut. (Hlm 253)

Kisah pengeksekusian Mugo III memiliki kemiripan dengan sebuah kisah dari Perancis. Pada 21 Januari 1793, Louis XVI, seorang raja Perancis, dihukum mati. Ia berjalan ke guillotine dan terpotonglah kepalanya. Eksekusi tersebut merupakan bagian akhir dari revolusi politik yang terjadi pada abad 18. Rakyat yang tidak diperhatikan hidupnya, juga ditekan dengan biaya pajak tinggi, belum lagi pada masa itu krisis ekonomi sedang terjadi, akhirnya membentuk aliansi untuk menggulingkan kekuasaan feodal dan menggantinya dengan sistem demokrasi.

Semangat revolusi tersulut oleh sebuah karya sensasional dari seorang filsuf bernama Jean-Jeacques Rousseau berjudul Du Contract Sosial. Sama seperti dalam novel perdana Ken Hanggara tersebut. Rakyat Negeri Fiktif Belaka juga tersulut melakukan pemberontakan setelah membaca sebuah novel yang mengabarkan tentang kebenaran yang sebenarnya sedang terjadi, bahwa Mugo III sedang menutupi kebohongan. Kebohongan tentang pembantaian yang terjadi pada masa lalu, terus ditutupi dengan produksi novel-novel yang selalu mengagung-agungkan sosok Mugo III. Sampai akhirnya, Mugo III digantung oleh rakyatnya.