Kisah Ibrahim AS: Alegori Pencarian Tuhan dengan Logika dan Cinta

Alquran bukanlah dokumen sejarah. Meskipun di dalamnya termuat kisah-kisah masa lalu, ia datang sebagai petunjuk atau pedoman manusia (hudan linnaas).

Kisah-kisahnya adalah pelajaran (ibrah) bagi umat manusia. Dalamnya terkandung segala ajaran menuju jalan yang lurus (shirathal mustaqim) agar seorang hamba bisa mencapai derajat hanifaam muslimaan; yang lurus lagi berpasrah.

Di Alquran, salah satu kisah menariknya bertaut tentang pencarian Tuhan. Sementara itu, di kalangan pemuka agama, mengenai diskursus tersebut masih menjadi sorotan dan pembicaraan yang tak pernah habis untuk diperbincangkan.

Dulu, konsepsi dan doktrin tentang penciptaan dijadikan manusia sebagai sarana pencarian kepada-Nya.

Mula-mula, manusia melihat bulan, mereka beriman bahwa bulan adalah Tuhan-nya. Kali lain, memandangi matahari, mereka mengimani. Lanjut, memperhatikan api yang menyala dan membakar, pun mereka menaruh kepercayaan kepadanya. Begitu rendah dan murah.

Di era sekarang, mungkin semua itu terbantahkan dengan  kecanggihan sains, bahwa matahari, bulan, api dan lain semacamnya bukanlah Tuhan dalam arti yang sebenarnya. Walau begitu, kaum Zoroastrianisme atau Majusi masih tetap percaya penuh .

Paparan di muka tak ada beda dengan kisah penelusuran Ibrahim kepada wujud Tuhan yang sejati. Kisah ini sebagaimana yang difirmankan Allah Swt kepada  Ibrahim A.S di surat Al-An’am ayat 76-79.

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَىٰ كَوْكَبًا ۖ قَالَ هَٰذَا رَبِّي ۖ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ (76) فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَٰذَا رَبِّي ۖ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِن لَّمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ (77) فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَٰذَا رَبِّي هَٰذَا أَكْبَرُ ۖ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ (78) إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Ketika malam telah gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat”. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. Al-An’am:76-79)

Lalu pertayaannya, tidak kuno kah jika kisah Ibrahim ini dijadikan sebagai standar pencarian Tuhan?

Sebelum masuk dalam telaah kronologi kisah Ibrahim. Alangkah baiknya bila kita sedikit mengulik dan mengenal sosok Ibrahim serta keadaannya sebelum ia berekspedisi dalam pencarian Tuhan.

Banyak ahli tafsir menjelaskan bahwa Ibrahim hidup pada zaman raja Namrud ibn Kan’an. Oleh Imam Husain ibn Mas’ud Al-Baghawi, di dalam tafsirnya Namrud dinarasikan sebagai manusia pertama yang menaruh sebuah mahkota di kepalanya lalu meminta manusia-manusia untuk menyembahnya.

Ia dikenal memiliki sekawanan peramal yang handal lagi jitu. Mereka dimaksudkan untuk menjaga kekuasaannya. Sampai pada suatu hari datanglah salah satu peramal menghadap raja Namrud dan mengabarkan kalau di tahun ini akan lahir seorang bayi, kelak menjatuhkan dan menghancurkan kerajaannya.

Mendengar hal itu, Namrud geram sangat. Lalu, ia memerintahkan seluruh prajuritnya untuk mengumpulkan semua wanita hamil, dan meminta kepada mereka untuk menggugurkan anaknya.

Saat itu ibu Ibrahim tengah mengandung Ibrahim, tapi perutnya belum tampak sama sekali tanda-tanda kalau ia hamil. Dalam artian belum membesar.

Selamatlah Ibrahim dari kekejaman Namrud yang memaksa setiap wanita menanggalkankan jabang bayinya.

Salah satu hal menarik yang saya temukan dalam tafsir Al-Baghawiy, dalam riwayat Muhammad ibn Ishaq dikatakan: Bahwa ketika mendekati hari kelahiran, sang ibu kabur dari khalayak masyarakat. Ketakutan anaknya akan dibunuh, ia lari ke sebuah gua dan melahirkan Ibrahim disana.

Dibedong dengan kain, bayi Ibrahim ditaruh di antara semak-semak belukar. Sehari bagi Ibrahim serupa dengan satu bulan pertumbuhan bagi manusia biasa. Sebulan sama artinya setahun. Dan bayi Ibrahim tumbuh sangat cepat di gua tersebut.

Abu Ruwaq menjelaskan, Ia memakan dari pangan yang terpancar dari jari-jarinya berupa air mineral, susu, samn (semacam mentega), dan kurma. Ibrahim hidup dalam gua tersebut kurang lebih 15 bulan. Hingga suatu saat ia keluar seraya berkata:

Sesungguhnya Tuhan ku adalah yang menciptakan ku, memberi aku rizki, makan dan minum. Tiada Tuhan selain diri-Nya.

Dimulai lah ekspedisi pencarian Tuhan oleh Ibrahim. Ketika ia keluar, pertama ia melihat sebuah bintang, “Inilah Tuhan ku?” ketika bintang tenggelam ia berkata “Aku tidak suka apa-apa yang tenggelam.”

Di benak Ibrahim, Tuhan mustahil tenggelam.  Analisis inilah yang menjadi keyakinan pokok dari pemikiran Ibrahim. Lalu, ia melihat bulan, dalam penglihatan kasat matanya bulan lebih terang dari bintang. Ibrahim lagi-lagi menganalisa, bulan lebih agung dari bintang karena cahayanya yang lebih kuat.

Lalu saat bulan tenggelam, Ibrahim berkata dengan seruan yang berbeda saat ia melihat bintang redup/tenggelam.

“Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.”

Ibrahim masih dalam pencarian, padahal dari pernyataanya tersebut ia telah mencapai kepada titik yang sebenarnya, sadar bahwa Tuhan, entah apa atau siapa itu akan memberikan petunjuk kepadanya untuk sampai kepada keimanan dan keyakinan yang benar — bukan menyembah sesuatu zat yang tenggelam.

Selanjutnya Ibrahim melihat matahari dan mendapati cahaya yang begitu terang “Inilah Tuhanku? Ia lebih besar lagi”. Tapi, lagi-lagi standarisasi Ibrahim adalah “Tuhan mustahil tenggelam.”

Maka saat ia menemukan matahari tenggelam, ia mencapai keyakinan yang benar akan Tuhan. KalauTuhan bukanlah bintang, bulan, dan matahari karena semua hal tersebut tenggelam dan sirna.

Kita tidak bisa samakan pemikiran ini termasuk yang tidak logis karena jika matahari tenggelam di barat maka sedang terbit di timur. Tidak. Malah sebaliknya, pada zaman teknologi yang belum canggih seperti saat ini, pemikiran Ibrahim lah pemikiran tercanggih pada zamannya, terlebih lagi bahwa nabi tak terlepas dari sifat  wajibnya, fatahanah (cerdas).

Pada akhirnya Ibrahim berseru “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” Benak dan analisa Ibrahim sampai bahwa Tuhan ialah pencipta langit dan bumi.

Jika kita meninjau ayat tersebut lebih jauh dari aspek gramatikal bahasa, maka akan didapati hal menarik lainya. Redaksi yang Allah firmankan pada empat ayat di atas kesemuanya menggunakan kata penghubung huruf “fa”.

Fa dalam bahasa Arab berarti “kemudian”. “Kemudian”  yang di maksud memiliki makna waktu yang tanpa jeda waktu. Contoh: “aku duduk kemudian (fa) berdiri”. Tanpa jeda waktu.

Jika menggunakan”tsumma” yang sama artinya “kemudian” ia mengandung unsur makna dengan jeda waktu. “Aku duduk kemudian (tsumma) berdiri”, maka ada jeda diantara dua perbuatan tersebut.

Lewat pola gramatikal bahasa Arab ini, kita dapat memahami bahwa proses analisa Ibrahim bukan suatu proses waktu yang panjang. Bahkan dalam Tafsir at-Thabary dijelaskan bahwa ini terjadi di satu malam saat Ibrahim keluar dari gua yang ia tinggali.

Ditambahi pula dengan redaksi kalimat “melihat”, ayat di atas menggunakan kata “Ra’a” yang mengandung unsur makna melihat secara aqliyah. Jika hanya arti ragawi saja yaitu melihat secara kasat mata tanpa analisa dan memunculkan imajinasi maka cukuplah dengan menggunakan kata “Nazhara”

Berawal ketika Ibrahim melihat dari yang redup (bintang), lalu melihat cahaya yang lebih terang (bulan) , pun tenggelam. Lanjut melihat cahaya yang besar jauh lebih terang (matahari). Sampailah Ibrahim kepada kesimpulan Cahayanya Maha Cahaya, yakni Tuhan pencipta langit dan bumi.

Dalam buku “Berfikir Seperti Nabi”, Fauzan Noor menjelaskan alegori pencarianTuhan dengan logika dan rasa. Pencarian Ibrahim bukan hanya sampai pada logika dan analisa yang telah kita jabarkan sebagaimana di atas, tapi juga dengan rasa.

Kita membaca patokan yang terang benderang perihal Tuhan dari Ibrahim ketika ia berkata “aku tidak suka apa-apa yang tenggelam”. Kata “suka” atau “cinta” (hubb) di sini mempunyai makna bahwa menurut lbrahim, Tuhan haruslah disukai arau dicintai.

Kata “suka” jelas mempunyai arti suatu perasaan tertentu yang terjadi di dalam hati. Dengan begitu, dapat disimpulkan hahwa dalam mencari Tuhan, Ibrahim tidak semata mata melakukan perenungan Aqliyah (akal), tapi juga perenungan Qalbiyah (hati).

Akal membawa Ibrahim pada ketakjuban terhadap Tuhan, sedangkan hati mengantarkannya pada kecintaan terhadap Tuhan. Ibrahim bertuhan tidak dengan mengharapkan imbalan surga, tetapi dengan rasa takjub dan cinta. Inilah pelajaran yang kita dapatkan dari kisah Ibrahim, sikap bertuhan dengan takjub dan cinta.

Lantas, jika kisah Ibrahim saja dijadikan ibrah oleh Tuhan bahkan tertulis dalam Al-Qur’an, maka tidak ada kata kuno untuk kisah Ibrahim, malahan menjadi standarisasi dalam pencarian Tuhan.