Komunikasi Ilmu Pengetahuan

Suarr.id—  Dalam keberjalanan perkembangan ilmu-ilmu alam atau kemudian dikenal dengan sains, komunikasi adalah satu hal mutlak yang tak mungkin dapat ditinggalkan. Ada tradisi keilmuan yang terus melekat hingga perkembangan sains pada abad ke-21. Tidak lain adalah matematika. Ia dapat dikatakan sebagai bahasa internasional sebagai konsensus bahasa dalam menjelaskan maupun menyeka peristiwa maupun fenomena yang terjadi dalam alam semesta. Matematika memiliki ciri yang khas, yakni berupa logika deduktif yang dapat mengubah pengalaman inderawi menjadi abstraksi dan kemudian menjadi sebuah generalisasi.

Howard S. Fehr pernah menulis esai yang terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan berjudul Komunikasi Pemikiran Keilmuan.  Pada esai yang termaktub dalam buku The New Scientist: Essays on the Methods and Values of Modern Sciences (Anchor-Doubleday, 1962), Fehr banyak mengetengahkan akan peranan matematika dalam pemikiran keilmuan, unsur-unsur komunikasi keilmuan hingga tujuan komunikasi keilmuan. Ia menyatakan, matematika adalah alat utama dalam komunikasi keilmuan.

Komunikasi dalam praktiknya memuat dua hal penting, yakni masing-masing adalah estetika dan suatu kenyataan. Hingga kemudian, kita dapat memahami bahwasannya hakikat dari komunikasi adalah melahirkan sebuah dialog.

Pada diskursus keilmuan, tujuan komunikasi yang perlu diperhatikan adalah tujuan intelektual. Maksudnya, terjadi proses penyangsian atas kaidah, gagasan maupun teori yang disampaikan kepada khalayak. Proses tersebut penting, apalagi mengingat mengenai teori kebenaran dalam ilmu pengetahuan—benar dan salah merupakan nilai yang relatif.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang ada, komunikasi terus menjadi hal yang vital. Ia meninggalkan sengkarut pekerjaan terhadap para ilmuwan atas teori maupun diktum terkait mengenai sebuah diskursus keilmuan. Apalagi dalam era kehadiran sains modern, di sana melahirkan dua kutub akan realitas yang ada. Pertama, kelompok ilmuwan dengan tekun terus melakukan penelitian dan mempublikasikannya. Kedua, meskipun konteks komunikasi itu telah terjadi, namun kenyataannya kerapkali masih ditemui bahwa masih banyak kelompok dalam masyarakat belum mengerti apa yang sebenarnya hendak disampaikan oleh kelompok ilmuwan.

Tentu saja, hal tersebut nestapa. Namun, ada yang lebih parah lagi, yakni tatkala kelompok ilmuwan itu hanya berkutat pada apa yang terjadi di lingkungan kelompoknya dan bahkan memberhalakan teori maupun gagasan tanpa ada upaya untuk menjelaskan pada sisi luas. Ekslusivitas lahir dan mendominasi pada ranah dinamika keilmuan. Ini berbahaya tatkala sejatinya hakikat dari ilmu pengetahuan tersebut untuk kemaslahatan maupun kebermanfaatan bagi banyak orang.

Hal tersebut pernah diutarakan astrofisikawan, Peter Coles dalam bukunya berjudulkan Einstein dan Lahirnya Big Science (2002). Pada subbab berjudulkan Pers, Ilmu dan Kebenaran, ia menjelaskan bahwa dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang ada, banyak ilmuwan modern yang melakukan permainan berbahaya dengan kebenaran, memaksakan kesimpulan mereka secara sepihak dalam media, sebagai bagian dari peperangan yang saling bunuh demi mendapatkan bagian dari dana penelitian yang sangat langka. Distorsi tersebut, bagi Coles sangatlah mencoreng citra ilmu pengetahuan.

Menilik pada perkembangan zaman yang serba cepat dengan kemajuan teknologi dan informasi yang ada, setidaknya hal tersebut meninggalkan pekerjaan berat untuk zaman ini dan periode-periode yang akan datang. Perlu sebuah kebijaksanaan dan sikap ilmiah dari pelbagai kalangan maupun pihak. Hal tersebut berlatar belakang pada frasa yang populer di kalangan ilmuwan,.

Bahwasannya ilmu tidak berurusan dengan benar dan salah, berkaitan dengan penggambaran realitas baik yang berguna maupun tidak berguna.

Henry Margeanu dan David Bergamini dalam buku berjudulkan Ilmuwan (1980) banyak mengetengahkan hal-ihwal tersebut. Mereka menganalisis bahwasannya untuk memutus mata rantai permasalahan komunikasi ilmu pengetahuan dengan pendekatan pendidikan baru, teknik-teknik automatik menangani informasi teknis dan usaha yang kian meningkat untuk mendekatkan ilmu kepada rakyat. Yang mana, semuanya harus dilaksanakan serempak kalau dikehendaki agar masyarakat tidak didominasi oleh pendapat ilmuwan yang mendaku spesialis maupun akademikus yang mengabadikan dirinya sendiri.

Selain hal tersebut, penting juga yang perlu menjadi perhatian adalah timbulnya kesadaran dari khalayak maupun masyarakat umum untuk menjadi bagian dari komunitas ilmiah itu sendiri. Dalam kata lain, orang awam tidak boleh berpangku tangan, melainkan dari itu ikut melibatkan diri pada pergolakan yang hadir. Setelah kesadaran ini muncul, secara otomatis, mereka akan mengendalikan pelbagai dinamika yang terjadi pada realitas sosial.

Pada situasi yang sudah tidak bisa melemparkan tanggung jawab keilmuan antara satu dengan yang lain, setiap kelompok maupun lapisan masyarakat sejatinya memiliki hakikat akan tanggung jawab keilmuan itu sendiri. Salah satunya berupa terbentuknya komunikasi ilmu pengetahuan. Di laboratorium dan perpustakaan, ilmuwan bekerja keras dalam melakukan penelitian maupun pengamatan akan fenomena yang terjadi dalam kehidupan.

Sementara itu, dalam situasi di realitas sosial, ketika ia sudah berbaur dengan masyarakat luas, ia hidup dengan kritik yang tidak bisa ditolak. Ia harus diterima sebagai upaya untuk menyempurnakan atas apa yang ia daku sebagai sebuah kebenaran. Di sanalah dialog itu muncul. Ilmu tanpa dialog hanyalah sebatas menara gading intelektual yang menjulang tinggi. Yang mana, pada keberjalanannya meninggalkan kerak-kerak permasalahan. Begitu.