Malam Tirakatan 17 Agustus: Perkawinan Ajaran Islam dan Nasionalisme

Satu hari menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, beberapa masyarakat Indonesia khususnya Jawa Tengah dan DIY menggelar sebuah tradisi yang disebut dengan malam pitulasan atau malam tirakatan 17 Agustus.
Malam tirakatan diselenggarakan mulai dari tingkat RT/RW, kelurahan, kecamatan, daerah, hingga tingkat nasional.

Pada umumnya malam tirakatan diisi dengan doa bersama, mengheningkan cipta untuk bangsa, dan refleksi perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan. Acara kemudian ditutup dengan makan bersama oleh seluruh anggota masyarakat.

Sejalan dengan semakin dinamisnya tradisi masyarakat, acara malam tirakatan pun ikut semakin variatif. Tak hanya diisi dengan perenungan dan doa, malam tirakatan juga mulai disemarakkan dengan pawai, penampilan seni, pengajian, hingga lomba-lomba.

Apapun bentuknya, tirakatan pitulasan pada dasarnya merupakan bentuk muhasabah (perenungan) rakyat Indonesia menuju bertambahnya usia kemerdekaan yang telah dilalui. Muhasabah ini penting sebagai mawas diri mengenai apa-apa yang telah kita kerjakan sebagai bangsa serta apa-apa yang belum dan perlu untuk kita capai kedepannya.

Kata tirakatan sendiri berasal dari kata bahasa Arab at thariqah yang berarti jalan, cara, metode atau sistem. Dalam dunia tasawuf, thariqah sendiri diartikan sebagai jalan yang ditembuh oleh seorang hamba untuk mencapai tujuan utamanya yaitu pada sang Rabb. Jalan tersebut dilalui dengan berbagai cara diantaranya ber-khalwat, berpuasa (mutih), atau dengan wirid, dzikir, dan ratib. Orang yang tengah menjalani amalan-amalan thariqah kemudian disebut sedang tirakat yang selanjutnya menjadi cikal bakal lahirnya kata tirakatan.

Ungkapan tirakatan untuk momen menjelang hari kemerdekaan kemudian menjadi sesuatu yang unik. Kita ketahui tradisi tirakatan masyarakat Indonesia sangat banyak. Karena ajaran thariqah merupakan ajaran Islam, umumnya tirakatan dilaksanakan menjelang hari-hari besar dalam Islam, seperti menjelang Hari Raya Idul Fitri, atau pada malam 1 Suro. Sedangkan malam 17 Agustus sama sekali bukan merupakan hari besar umat Islam, melainkan murni milik bangsa Indonesia berkaitan dengan lahir dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jika kita hanya mengartikan hal tersebut sebagai sebutan lazim apalagi arbiter (mana suka), seharusnya ada banyak sebutan lain yang bisa digunakan untuk mengistilahkan malam perenungan menjelang kemerdekaan. Seperti, malam mengheningkan cipta, refleksi, dan lain sebagainya. Artinya disini kita melihat adanya korelasi yang kuat antara ajaran serta budaya keislaman dengan terbentuknya bangsa Indonesia.

Islam dan Indonesia bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri dan kemudian tidak memiliki keterkaitan sama sekali. Indonesia lahir diantaranya melalui perjuangan dan bimbingan para ulama serta kaum santri. Tanpa menafikan agama lain, kontribusi pemikiran-pemikiran Islam berpengaruh besar dalam proses pembentukan ideologi bangsa. Sebut saja KH. Hasyim Asy’ari, Pangeran Diponegoro, Raden Fatahillah, dan masih banyak lagi.

Tirakatan dalam momentum menjelang hari kemerdekaan sekaligus menjadi bukti bahwa dalam membimbing umat Islam, para ulama serta para walisongo senantiasa menanamkan nilai nasionalisme terhadap bangsa dan negara. Hari Kemerdekaan didudukkan selayaknya hari raya umat Islam sehingga perlu untuk disyukuri, direnungkan, dan ditirakati supaya menjadi bangsa dan negara yang baldatun tayyibun wa rabbun ghafur. Sehingga pada nantinya akan mencapai tujuan yang utama yaitu Rabb sang pencipta alam semesta.

Disini kita sampai pada kesimpulan bahwa Indonesia dan Islam merupakan satu kombinasi yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Indonesia sebagai jasad yang harus senantiasa dirawat dan dijaga, sedangkan Islam sebagai ruh yang menjadikannya jasad tersebut tetap hidup. Terkhusus bagi kita yang beragama Islam dan merupakan warga negara Indonesia, rasa kebangsaan kita belum bisa dikatakan ‘sejati’ tanpa menghayati ajaran Islam dan agama kita belum sempurna tanpa disertai cinta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.