Langgar kecil yang terletak di balik kebun nangka seperti bangun dari tidurnya. Menjelang Isya warga desa berbondong-bondong menuju kesana.
Langgar itu biasanya sepi, selain karena letaknya yang tidak strategis –dibalik kebun nangka yang pemiliknya agak pelit untuk masalah penerangan- masyarakat desa juga sepertinya terlalu sibuk selama 11 bulan ini.
Tapi malam ini, malam istimewa kata orang-orang, mereka belomba-lomba memenuhi shaf langgar yang biasanya hanya diisi 2-3 orang, sekarang penuh membludak sampai harus gelar tikar.
Tentu saja orang sekampung tidak mau melewatkan kesempatan menyambut bulan suci. Sudah sepantasnya orang Islam bersuka cita kedatangan bulan Ramadhan. Mereka membawa serta istri dan anak untuk bersama-sama salat Isya, dilanjutkan dengan ibadah istimewa yang hanya ada di bulan istimewa pula. Ibadah bulan ini berlipat-lipat pahalanya, begitu kata Pak Durrohim yang memberikan kultum setelah tarawih.
Usai tarawih, anak-anak desa tadarrus Alqur’an memakai mikrofon langgar. Suara cempreng anak-anak saut menyahut dari langgar satu dengan yang lainnya. Bacaan mereka yang masih sering nyolong nafas dan tajwid yang masih belepotan tidak mengurangi semangat syiar bulan Ramadhan, mereka bergantian tadarus di mikrofon hingga larut malam. Riuh Ramadhan memenuhi langit desa.
***
Umurnya sudah sekitar 70 tahunan, tapi kakinya masih kuat dibuat berjalan setiap malam. Senter tuanya setia sekali menemani melewati kebun nangka selama bertahun-tahun. Apalagi malam-malam Ramadhan seperti ini, kakinya terasa semakin ringan saja. Jalannya juga lebih nyaman karena dia tidak lagi seorang diri melewati kebun nangka, pasti banyak juga tetangga yang hendak menuju kesana.
Bulan Ramadhan langgar cepat sekali penuh. Kakek tua tidak perlu duduk lama sampai kesemutan karena imam salat tak kunjung memulai jamaah yang kekurangan makmum. Jalannya yang lambat bahkan sering membuat kakek harus salat di halaman karena tidak kebagian tempat di dalam langgar.
***
Malam ketiga Ramadhan, Pak RT dan beberapa warga desa berkumpul di langgar usai tarawih. Di sela-sela suara anak-anak yang tadarus, para bapak berdiskusi di serambi. Mereka membahas beberapa agenda kegiatan yang akan diselenggarakan satu bulan kedepan. Tiba- tiba dari kejauhan terdengar suara orang teriak memanggil-manggil. Seorang ibu tampak berlari menuju langgar, orang-orang yang diserambi seketika itu mengalihkan perhatian mereka. Yang datang ternyata istrinya Haji Mukhlis, dia panik sehingga bicaranya tidak jelas, ia bahkan lupa tidak pakai sandal.
Haji Mukhlis kemalingan! Televisi, motor, dan sekotak perhiasan istrinya amblas sudah.
Warga desa geger. Berita kemalingan cepat sekali menyebar seperti ditaburkan dari langit. Mereka ramai-ramai mendatangi rumah megah milik haji mukhlis. Ibu-ibu berusaha menenangkan istri Haji Mukhlis yang belum berhenti menangis. Bapak-bapak sibuk menerka-nerka jalannya si maling, sementara Pak RT dan beberapa pamong desa berunding masalah keamanan desa. Sisanya hanya diam menonton.
Kasus kemalingannya Haji Mukhlis ini sangat mengagetkan. Tidak terendus sama sekali oleh warga. Pelaku memilih waktu saat warga sedang melakukan salat tarawih dimana semua rumah warga kosong. Padahal sebelum ini, jarang terjadi kasus kemalingan di desa mereka. Desas desus tercium di sana sini.
Baru seminggu dari peristiwa di rumah Haji Mukhlis, hal serupa terjadi lagi. Kali ini maling berhasil menjarah rumah juragan sapi. Uang jutaan rupiah hasil penjualan sapi-sapi dibawa lari si maling. Warga desa semakin dibuat cemas dengan berita ini. Raut cemas paling terlihat dari wajah orang-orang kaya, mereka khawatir kalau rumahnya dijadikan target selanjutnya.
Dua rumah orang berada di desa berhasil dijarah dalam sepekan, mereka yakin selama pelaku belum tertangkap kasus-kasus kemalingan dapat terulang lagi. Orang-orang ini mendesak para pejabat desa untuk memperketat keamanan terutama saat tarawih.
“Heran banget ya, padahal bulan Ramadhan kok malah banyak kasus kemalingan”. “Yah, jaman sekarang mah orang pada pinter ambil kesempatan. Disaat kita pada tarawih, kan rumah-rumah pada kosong tuh, mereka beraksi”.
“Naudzubillah ya, bulan Ramadhan bukannya banyakin ibadah malah bikin dosa”. “Maling kayak gitu mah udah nggak mikirin dosa buk, yang penting duit”.
“Yang penting kita harus semakin waspada, saya rencana mau giliran tarawihnya sama suami, yang satu jaga rumah”.
Samar-samar terdengar obrolan diantara orang-orang yang berkerumun di rumah juragan sapi.
***
Kali ini, kakek tua berjalan melewati kebun nangka dengan bantuan tongkat, kesehatannya agak menurun akhir-akhir ini. Kemarin, saat berjalan kakinya tiba-tiba gemetar, ia sampai refleks berpegangan pada orang yang disampingnya, jika tidak kakek tua pasti jatuh. Orang yang sudah tidak diingatnya itu menasehati kakek sewaktu berjalan.
“Kakek ini sudah sepuh, mbok yo nggak usah ke langgar. Allah itu kan nggak memperberat umatnya dalam beribadah, kalo nggak kuat berdiri ya boleh duduk, kalo nggak bisa duduk boleh tiduran, semampunya saja kek. Kalo saya saranin ya mending kakek salat di rumah saja, dari pada merepotkan orang lain” ujar lelaki itu.
Nasehat yang aneh menurut si kakek. Besoknya si kakek memilih menggunakan tongkat.
Setibanya di langgar, baru separo shaf yang terisi jamaah, padahal dengan jalannya yang kian lambat kakek mengira akan kebagian shalat di teras. Langgar agak sepi, tidak seperti kemarin-kemarin. Kakek lupa hitungan hari maupun tanggal tapi ia hafal betul hitungan bulan Ramadhannya, ini malam pertengahan.
Usai tarawih kakek kembali terheran dengan anak-anak yang biasanya tadarus hingga larut malam, kini hanya membaca beberapa lembar lalu anak-anak bergegas pulang.
Setiap malam si kakek juga bertadarus di langgar usai tarawih, tapi tidak memakai mikrofon karena lelaki tua itu tidak terbiasa. Malam ini si kakek duduk sendirian di langgar hingga larut.
***
Selain Haji Mukhlis dan juragan sapi, beberapa warga rumahnya juga kemalingan meskipun kerugian tidak sebanyak 2 orang tadi. Ada yang kehilangan ayam, sepeda ontel, sale yang dijemur, macam-macamlah. Sedangkan si maling masih bebas melalangbuana.
Muncul amaliyah Ramadhan baru yang unik di kalangan ibu-ibu. Setiap habis tarawih, mereka menghabiskan waktu 10-15 menit di serambi langgar untuk membicarakan tentang berita kemalingan. Setiap hari, ada saja berita tentang perkembangan terbaru si artis desa yang sedang naik daun ini. Ada saja warga yang membawa kabar terbaru yang sumbernya entah dari planet mana. Mulai dari ciri-ciri si maling, asalnya, rumah di desa sebelah yang juga kemalingan, ciri-ciri rumah yang mau dijadikan sasaran, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.
Sedangkan di kalangan bapak-bapak, ada pekerjaan baru yang sedang eksis belakangan ini. Mereka diminta untuk menjadi satpam dadakan oleh keluarga kaya yang khawatir akan kemalingan terutama saat ditinggal tarawih. Tentunya para orang kaya di desa tidak ingin meninggalkan salat tarawih namun khawatir jika rumahnya kemalingan, mereka mengambil alternatif mempekerjakan orang untuk menjaga rumahnya dengan bayaran lumayan untuk sekedar kerja sampingan. Dan sebagaian masyarakat di desa menyambut senang pekerjaan ini, mereka butuh uang untuk berlebaran nanti. Ternyata ada yang diuntungkan juga selain si maling.
Di suatu malam, malam ke 22 Ramadhan, warga yang berkerumun di serambi langgar dibuat merinding dengan berita yang dibawa seorang ibu penjual jajanan keliling.
“Pak Darman, orang desa sebelah yang rumahnya deket SD itu lho, hampir kemalingan,” ujar wanita itu.
“Yang punya toko material itu bu?” tanya yang lain.
“Iya. Ceritanya Pak Darman dari sore sudah punya firasat buruk. Lagi pula rumahnya itu kalo diamati ada tanda-tanda mau dijadikan target, saat mau berangkat tarawih perasaannya semakin nggak enak, trus beliau berbalik nggak jadi ke langgar. Eh, ternyata bener pintu belakangnya udah dicongkel”. Ibu kurus itu berhenti bercerita untuk mengambil nafas.
“Trus-trus Bu, malingnya ketangkep?” Sergap seorang ibu tidak sabaran.
“Beliau teriak-teriak, dan Ya Allah bu, Pak Darman dibacok pake golok sama malingnya,” wanita setengah umur itu berbicara dengan nada rendah namun penuh penekanan.
“Astagfirullahaladziim!!!” Pekik para ibu bersamaan. Di wajah mereka terbayang ngeri akan cerita yang disampaikan.
“Trus Pak Darmannya gimana Bu? Malingnya ketangkep nggak?”. Tanya seorang ibu dengan mulut yang masih komat-kamit namun penasaran setengah mati dengan kelanjutan cerita.
“Malingnya langsung kabur. Pak Darman tergeletak gitu aja di rumah dengan berdarah-darah. Sampai istrinya pulang tarawih baru ditolong, sekarang beliau dirawat di rumah sakit Kalisari,” terang pembawa cerita.
Para ibu bergidik mendengar kisah kemalingan tragis yang terjadi di desa sebelah. Kekhawatiran warga pun semakin menjadi.
Kini desas dasus maling bukan hanya mengancam harta benda mereka namun juga mengancam keselamatan jiwa para warga. Mereka semakin gencar membicarakan tentang si maling tidak hanya saat berkumpul di langgar, namun di manapun aroma kecurigaan dan was was menyebar.
Orang-orang juga jadi takut untuk keluar malam. Seperti ada teror tersendiri di kalangan masyarakat. Meskipun mereka hanya mendengar berita kekejaman maling dari mulut ke mulut, namun aroma darah seperti si tabur di mana-mana. Saat membeli sayur di pasar, saat menyapa tetangga lewat, saat mengantar anak ke sekolah, saat tarawih.
Anehnya, jejak langkah si maling belum terlacak sampai sekarang. Padahal bukan hanya satu dua kasus kemalingan terjadi, namun polisi yang selalu datang saat ada laporan kemalingan selalu gagal mengungkap identitas si maling. Entah mereka menekuni kasus ini dengan serius atau tidak, ucapan mereka setelah bolak-balik mendatangi rumah korban selalu ‘tidak ada bukti-bukti yang kuat’, atau ‘tidak ada yang mencurigakan di daerah sekitar sini’.
***
Malam 27 Ramadhan. Sebagian orang mulai sibuk mempersiapkan hari lebaran yang tinggal menghitung hari. Siang hari mereka mempersiapkan banyak hal, lebaran adalah hal istimewa setelah mereka berpuasa sebulan, tentu harus dirayakan dengan mahameriah. Siapapun ingin tampil sempurna pada hari di mana mereka terlahir jadi bayi lagi. Berita kemalingan tidak begitu riuh lagi, akan tetapi kekhawatiran tidak hilang sepenuhnya dari benak para.
***
Kakinya sudah mulai kesemutan. Biasanya dia akan memindahkan posisi duduknya, akan tetapi entahlah, malam ini rasanya kakek tua itu tidak ingin bergerak meskipun sesenti.
Sudah sedari tadi langgar sepi –memang yang datang juga tidak banyak-, ia terduduk sendiri di depan pengimaman, tidak baca Alqur’an, tidak memutar tasbih. Hanya matanya yang berbicara melalui butiran yang menetes.
Sesekali suara sesenggukannya agak keras hingga bahunya terguncang, di lain waktu nyaris tak terdengar, hanya hembusan nafas lirih namun menyayat.
Kakek seperti menemukan sesuatu yang dicari selama 78 tahun perjalanan hidupnya. Sesuatu yang entah apa namun terasa sangat kuat di hati. Sesuatu yang memenuhi rongga dadanya sehingga terasa penuh, dan tumpah dalam butiran kristal. Dia sudah tak punya keinginan apa-apa lagi, sudah tak ingin melakukan apa-apa lagi walau hanya beranjak dari duduknya, dia sudah tidak merasakan apa-apa lagi.
Si kakek tua tersadar. Entah ia tadi tertidur atau pingsan. Jam dinding langgar menunjukan pukul 03.15 dini hari. Sebenarnya si kakek ingin di langgar sampai subuh, akan tetapi besok masih puasa dan ia sudah tidak kuat lagi untuk puasa tanpa makan sahur. Di tengah remang lampu kuning di kebun nangka ia berjalan lambat menuju rumahnya.
Kletak!
Kayu tua tempat bertumpuan 70 persen badan kakek itu patah. Tongkat dari kayu itu memang sudah dimakan rayap. Si kakek jatuh tersungkur. Perutnya mengenai sesuatu.
***
Pagi hari, Masyarakat penduduk desa kembali diserang jantungnya dengan berita Mbah Kardi yang ditemukan meninggal di kebun nangka. Perutnya berdarah seperti bekas tusukan. Menurut kabar yang beredar, Mbah Kardi memergoki maling yang sedang beraksi menuju rumah Pak Salmin, PNS yang rumahnya di samping kebun nangka. Lalu dengan tega si maling membunuh kakek malang itu untuk menghilangkan jejak.