Mata Air itu Bernama Gus Mus

“Coba jelaskan apa keistimewaan Gus Mus!”

“Aku tidak bisa menjawab, saking banyaknya”

“Coba satu saja”

“Baiklah, keistimewaan Gus Mus adalah ketika ada orang kafir yang bertemu dengan beliau, maka dia akan langsung bertaubat”

Cuplikan percakapan di atas adalah testimoni yang diberikan oleh Prie GS dalam acara Milad ke-74 Gus Mus bertajuk ”Mata Air Gus Mus” kemarin malam. K. H. Ahmad Mustofa Bisri atau yang kerap disapa Gus Mus memang dikenal sebagai sosok yang bisa diterima oleh semua kalangan. Tidak hanya dari kalangan ulama dan santri, tetapi juga dari pejabat publik, intelektual, masyarakat awam, hingga bromocorah.

Acara Mata Air Gus Mus adalah salah satu buktinya. Dalam acara yang dihelat oleh Suara Merdeka Network tersebut beberapa sahabat Gus Mus dari berbagai kalangan rela menyempatkan diri untuk hadir memberikan testimoninya. Sebut Saja Cak Nun, Najwa Shihab, Sujiwo Tejo, Hendrar Prihadi, Ahmad Tohari, Sutardji Calzoum Bachri, Joko Pinurbo, Prie GS, Timur Sinar Suprabana, Sitok Srengenge, Sosiawan Leak, Nasirun, Zawawi Imron, dan masih banyak lagi.

Gus Mus adalah fenomena. Ulama karismatik asal Rembang ini adalah sosok ulama yang selalu memberikan keteduhan dalam setiap perkatannya. Gus Mus juga pribadi yang membumi dan berhati besar. Kita tentu ingat dengan peristiwa Muktamar NU beberapa waktu lalu ketika Gus Mus yang saat itu menjabat sebagai Rais Aam menangis dihadapan muktamirin dan berkata, “Kalau perlu saya mencium kaki Anda agar Anda semua bisa menunjukkan akhlak Rasulullah. Saya meminta maaf kepada seluruh peserta muktamar, khususnya kepada orang-orang tua. Maafkanlah saya, saya yang paling bertanggungjawab,” katanya.

Gus Mus juga sosok yang tawadhu’. Ketika kebanyakan orang menginginkan jabatan, beliau justru menolak saat diminta untuk menjadi Rais Aam karena merasa tidak pantas. Padahal menurut kebanyakan orang, Gus Mus sudah lebih dari pantas untuk menyandang jabatan itu. Tetapi itulah Gus Mus, pribadi yang lebih memilih untuk menemani masyarakat akar rumput dan menjadi penyejuk bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mengutip dari buku Nalar Figh Gus Mus, Yahya Cholil Staquf, keponakan Gus Mus menuturkan bahwa, meskipun pamannya seorang da’i besar tapi beliau tidak pernah menghiasi diri dengan jas tutup atau jubah Arab. Beliau mencukupkan diri dengan hem biasa atau paling banter baju takwa. Menyampaikan ridaa’ di pundak pun tidak, apalagi kalungan tasbih. Hanya sorban diikatkan di kepala.

Senada dengan Yahya Cholil Staquf, dalam komentarnya di buku Saleh Ritual Saleh Sosial, Sujiwo Tejo mengatakan bahwa, Gus Mus itu pribadi yang rendah hati. Banyak orang rajin beribadah ke masjid, gereja, vihara, dan yang lainnya, namun dirinya merasa lebih baik ketimbang yang tidak beribadah. Hal itu berbeda dengan perangai Gus Mus. Beliau adalah sosok yang ahli sembayang, tapi tidak pernah merasa dirinya lebih baik dari yang tidak sembayang.

Dakwah yang Menyejukkan

Di tengah fenomena dakwah Islam di Indonesia yang dipenuhi dengan hujatan, makian, dan penghakiman, Gus Mus tetap hadir dengan dakwah yang santun dan menyejukkan. Tidak ada satupun cacian atau makian yang keluar dari perkataanya, tidak ada penghakiman untuk kelompok yang berseberangan dengannya. Ajakannya pun mengedepankan kasih sayang daripada pemaksaan, karena menurutnya tugas seorang da’i hanya menyampaikan, sementara hasilnya merupakan hak prerogatif Tuhan.

“Berdakwah itu kan mengajak, kalau mau lihat berdakwah yang bagus, lihatlah calo tiket bus, dengan segala usahanya dia mengajak agar tertarik untuk naik bus tersebut. Begitu juga dengan dakwah, kalau dakwahnya dengan keras dan caci-maki, orang tidak tertarik dan takut.” (Gus Mus).

Gus Mus juga menekankan bahwa umat Islam memiliki kewajiban untuk menyampaikan kebenaran tetapi tetap mengedepankan kesantunan sesuai dengan misinya rahmatan lil alamin, sehingga orang yang bersedia masuk Islam bukan karena paksaan, melainkan dengan kesadaran dan kemauan sendiri.

Dakwah Gus Mus tidak terbatas hanya pada mimbar-mimbar dan majelis pengajian kitab saja, tetapi juga melalui media sosial, seni, hingga sastra. Di media sosial, Gus Mus aktif berdakwah lewat Facebook, Twitter, bahkan Youtube.

Di usia yang bisa dikatakan sudah tidak muda lagi, semangat untuk menggarap media sosial dan teknologi sebagai sarana dakwah patut diapresiasi. Hal ini bisajadi karena keprihatinan Gus Mus yang amat mendalam terhadap bergesernya cara berpikir masyarakat yang awalnya berguru kepada guru agama secara langsung menjadi bertanya pada platform pencarian semacam Google. Gus Mus berpikir bahwa jika tantangan ini dibiarkan, maka masyarakat akan semakin jauh dari ajaran Islam yang selaras dengan nafas islami.

Di dunia seni dan sastra pun sudah tak terhitung lagi karya bernafaskan dakwah Gus Mus yang tersebar di media-media Indonesia. Sebut saja puisi Bila kutitipkan, Sajak Atas Nama, Aku Merindukanmu O’ Muhammadku, Sajak Cinta, hingga Nasihat Ramadkan Buat A. Mustofa Bisri.

Apa yang dilakukan Gus Mus barangkali merupakan manifestasi dari apa yang digagas oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya Kimiya as Sa’adah (The Alchemy of Happiness). Menurut Al Ghazali, Islam dapat berjalan beriringan dengan seni. Bahkan seni dapat menuntun dan mengarahkan manusia untuk menjalani kehidupan beragama secara lebih indah dan artistik. Saat seseorang sudah dapat mengharmonikan antara kehidupan beragama dengan seni, maka apa yang ia katakan, akan ia tulis dan ia sampaikan, akan selalu terasa indah dan menyejukkan. Gus Mus dalam hal ini bisa dikatakan telah sampai pada maqam tersebut.