Memaknai Cinta ala de Beauvoir

Membaca buku The Second Sex Simone De Beauvoir sama artinya membaca sejarah keseluruhan hidup perempuan. Buku karya seorang pemikir sekaligus feminis berkebangsaan Perancis ini mengupas tuntas hal ihwal siapa perempuan itu, eksistensinya ditinjau dari ranah psikologi, sejarah, tradisi, budaya, negara dan personalitasnya sendiri. Namun yang paling kentara adalah mengenai ketidaksetaraan dan ketimpangan seorang perempuan serta kecemburuanya dibandingkan laki laki dalam berbagai aspek kehidupan.

Saya yang tuna asmara mencoba mengais serpihan pemikiran filsuf eksistensialisme kawan dekat Sartre ini. Di matanya, laki-laki merupakan penjelmaan dari sosok yang lain. Seperti perempuan bagi si laki laki. Namun sosok lain ini bagi laki laki adalah sebagai tingkatan yang esensial. Esensial berarti inti, pokok penting, atau sesuatu yang mendasar/hakiki. Sedang perempuan tidak, alias tidak esensial. Bahkan perempuan juga dikatakan bukan saudara laki-laki. perempuan adalah entitas yang lain.

Bicara tentang cinta adalah bicara tentang asmara romantis masing-masing individu, pengertian mana yang lebih tepat tidak bisa diukur antara satu dengan yang lain, karena pengalaman otentik ini lahir dari kondisi, waktu, sebab dan tempat yg berbeda beda. Akan tetapi saya yakin setiap yang bernafas pasti mencicipi apa itu cinta (meskipun pada akhirnya berujung pahit atau tak terbalas atau mungkin mencintai dalam diam).

Cinta dari sudut pandang laki laki dan perempuan, Simone de Beauvoir memaknai fenomena ini juga tidak sama.

Kata cinta memiliki arti yang sama sekali berbeda bagi kedua jenis kelamin, dan ini merupakan salah satu penyebab kesalahpahaman serius yang memisahkan mereka. Byron turut mengatakan: “Cinta dan kehidupan laki laki adalah sesuatu yang berbeda, sementara bagi perempuan adalah kesuluruhan eksistensi.”

Senada dengan pikiran yang diungkapkan Neitzsche dalam tulisanya The Gay Science: “Apa yang perempuan pahami dari cinta adalah cukup jelas. Cinta tidak hanya kesetiaan, cinta adalah penyerahan total akan tubuh dan jiwa, tanpa pamrih, tanpa harapan akan imbalan apa pun. Sifat mutlak dari cintanya itulah yang membuatnya menjadi kesetiaan, karena itu satu satunya yang dimiliki perempuan.”

Tokoh feminis lain yang mengulas arti eksistensi cinta bagi perempuan adalah Nawal el Saadawi. Lewat Novel perempuan di titik nol; bermula dari perjalanan hidup tokoh utama si Firdaus kecil yang yatim piatu, lalu menapaki usia dewasa kisahnya menyublim menjadi begitu kompleks, yang melibatkan perlawanan patriarki, pengalaman cinta, harga diri, dan kehormatan.

Ternyata jalan cinta yang dialami Firdaus selalu dipungkasi kekecewaan, dan berakhir pengkianatan. Narasi cerita penyerahan cinta yang membuai Firdaus dari laki-laki hidung belang ini dibangun oleh Nawal begitu gamblang dan blak-blakan. Pasalnya, jika sebelumnya saat ia melacur dengan para teknokrat dan pengusaha besar Firdaus mendapat bayaran yang sebanding. Namun dengan lelaki yang ia cintai ini, ia serahkan sepenuhnya tubuhnya, kesemua-muanya sampai pertahanan terakhirnya dikoyak-koyak tanpa berontak sedikitpun.

Serupa yang dikatakan Cecille Sauvage : “Perempuan harus melupakan personalitasnya saat jatuh cinta. Ini adalah hukum alam. Seoarang perempuan tidak ada artinya tanpa seorang tuan. Tanpa seorang tuan, ia adalah karangan bunga yang tercecer.”

Berangkat dari pengkianatan tadi yang kemudian timbul konsep bahwasanya Firdaus tidak percaya akan institusi pernikahan dan rumah tangga. “Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu. Dan bahwa tubuh paling murah dibayar adalah tubuh sang istri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang isteri yang diperbudak.”

Sementara bagi laki laki, jika ia mencintai seorang perempuan, apa yang ia inginkan hanyalah cinta dari perempuan; sebagai konsekuensinya ia jauh dari mendalilkan perasaan yang sama baginya seperti pada perempuan, jika memang ada laki-laki yang juga merasakan hasrat terhadap kepasrahan total, menurut pendapat Nietzsche mereka tidak akan menjadi laki-laki.

Walaupun sekarang ini saya bukan sebagai praktisi asmara yang sedang mencintai wanita. Saya kira perkataan Nietzche di bagian terkahir dalam menilai superioritas seorang laki-laki begitu berlebihan serta terjun bebas. Seolah olah mendewakan eksistensi laki-laki atas inferior perempuan. Padahal dalam mencintai antara laki laki dan perempuan, keduanya sama-sama menjadi subjek dan objek. Laki laki menjadi subjek ketika mencintai sekaligus objek saat dicintai. Dan juga sebaliknya.

Tentunya pemaknaan cinta tidak sesempit bahasan yang di atas saja. Cinta ibu kepada anak, anak kepada ibu, adik kepada kakak, laki laki kepada perempuan, kepada sahabat yang memuat nilai affection (kasih sayang) itu juga cinta. Dan saya cukup mencintai satu wanita untuk mencintai seluruh wanita di dunia ini.