Memandang Wajah Islam di Pekalongan Selatan

Suarr.id–Masyarakat saat ini sedang dihebohkan oleh peristiwa penolakan perayaan hari lahir atau Harlah Nahdlatul Ulama (NU) di Kauman Yogyakarta. Penolakan itu menurut beberapa sumber disebabkan oleh wilayah Kauman secara genealogis adalah wilayah dengan mayoritas masyarakatnya menjalankan Islam dengan tuntunan Muhammadiyah, bahkan dari sini pula eksistensi Muhammadiyah sebagai organisasi Islam bermula, yaitu pada tahun 1912 dengan pendirinya KH. Ahmad Dahlan.

Kondisi ini semakin memanas saat Ketua Pemuda Muhammadiyah, Sunanto mengeluarkan pernyataan yang menilai peristiwa itu adalah sebuah kewajaran, mengingat di Kauman sendiri masyarakat dominan Muhammadiyah. Pernyataan ini tentu saja menuai pro dan kontra, dari pernyataan ini pula masalah semakin rumit.

Merespon pernyataan itu, tokoh NU tidak tinggal diam, cendekiawan NU, Zuhairi Misrawi sendiri menilai pernyataan yang keluar dari tokoh Muhammadiyah itu mencerminkan bahwa Muhammadiyah gagal berkemajuan karena tidak bisa memandang sebuah masalah secara moderat. Dr. Yahya Cholil Staquf juga memberikan komentarnya tentang hal ini, menurutnya Muhammadiyah terlalu asing dengan NU sehingga tidak mampu mengenali gen Islam yang selama ini berkembang di Indonesia. Gus Yahya, sapaan akrabnya, kemudian mengulik sejarah kedua organisasi ini sepanjang sejarah yang hubungannya terus menerus mengalami pasang surut.

Fenomena ini tentu saja membuat publik bereaksi, baik dari masyarakat yang NU maupun Muhammadiyah sama-sama memberikan sikap terkait hal ini. Beberapa pengurus wilayah NU dan anak rantingnya tentu saja mengecam tindakan Muhammadiyah di Kauman, narasi yang dialirkan bahwa NU dan Muhammadiyah adalah saudara sekandung yang lahir dari rahim pergerakan kebangsaan, oleh sebab itu keduanya harus bekerja sama dan saling mendukung untuk memperkuat solidaritas umat Islam. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang lebih tua merasa NU selalu melangkahi mereka, melihat kasus ini publik di Indonesia tentu saja teringat perseteruhan Gus Dur dan Amien Rais, meskipun konflik di antara keduanya dilandasi urusan politik tetapi identitas keislaman keduanya terus mengikat dan benih-benih perseteruan itu merambah ke ranah teologis. Muhammadiyah tidak bisa menerima aktivitas itu sebagai aktivitas biasa, bagaimanapun juga Kauman diibaratkan sebagai wilayah suci bagi mereka yang tidak bisa sembarang orang melakukan perayaan di dalamnya. Lain ladang, lain belalang. Begitulah kira-kira ungkapan yang paling sesuai menggambarkan situasi ini.

Hingga hari ini, menyitir pendapat Nur Syam dalam buku Islam Pesisir, ungkapan yang menyebut bahwa sentimen agama secara radikal hanya terjadi di kota, sedangkan Islam di pedesaan Jawa cenderung lebih akomodatif dan harmonis, situasi politik atau politisasi fenomena keagamaan lah yang membuat masyarakat menjadi saling menaruh curiga. Kecurigaan itu terus menerus di-framing oleh media sehingga membentuk objektifikasi atas fenomena itu yang memaksa masyarakat harus memihak, keberpihakkan ini akan diikuti oleh klaim kebenaran yang membuat konflik ini semakin memuncak.

Pedesaan Jawa memang menaruh segudang misteri tentang cara masyarakat berislam, bagi saya secara pribadi hal ini selalu saya pertanyakan di dalam forum-forum akademis yang membahas isu-isu sosial keagamaan. Masyarakat di pedesaan cenderung tidak reaktif dan lebih memilih mengambil sudut pandang kultural daripada teologis. Perspektif inilah yang membuat sentimen atau gejolak keagamaan di pedesaan lebih terkendali, pada dasarnya mereka beragama sebagai cara untuk meniti jalan kebajikan, bukan untuk bersaing memperebutkan eksistensi. Dengan kata lain, masyarakat desa lebih esensialis dalam berislam dan mereka mengabaikan sisi eksistensialisme dari agama itu sendiri.

Satu daerah yang memikat saya untuk berbicara lebih tentang isu-isu keislaman adalah Pekalongan Selatan. Sebuah tempat yang terletak di tepian Sungai Layang atau masyarakat mengenalnya sebagai Kali Comal. Pekalongan Selatan di sini bukan menunjukkan wilayah administratif sebagai mana tercatat di kantor pemerintahan kota madya, tetapi Pekalongan Selatan yang di maksud adalah sebuah daerah di Kabupaten Pekalongan yang letaknya ada di sisi selatan membujur dan memanjang. Tempat ini unik karena dalam satu wilayah yang tidak begitu luas, mayoritas masyarakat adalah petani tetapi tiga organisasi besar Islam di sini hidup rukun berdampingan. Organisasi tersebut adalah NU, Muhammadiyah, dan Rifaiyah. Untuk dua nama di awal mungkin tidak asing bagi masyarakat Indonesia, tetapi nama terakhir mungkin jarang didengar. Rifaiyah adalah sebuah komunitas Islam yang memegang tuntunan berislam yang dicetuskan oleh KH. Ahmad Rifai. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tahun 1991, setengah abad lebih muda dari pada NU maupun Muhammadiyah.

Ketiga masyarakat yang ada hidup tanpa sekat, dalam urusan pekerjaan, keagamaan, maupun budaya ketiganya saling mendukung dan tidak pernah sepanjang sejarah tercatat konflik. Seperti di Yogyakarta, masyarakat Muhammadiyah di sini tinggal di Kauman, masyarakat NU tinggal di desa-desa yang lebih ke dalam dan wilayahnya masih sangat tradisional, sedangkan masyarakat Rifaiyah tinggal di antara keduanya. Di tempat ini, polarisasi kelompok keagamaan tidak nampak, semuanya memegang teguh identitas umat Islam yang bersolidaritas secara sosial. Tidak jarang, kasus seorang anak dari keluarga NU bersekolah madrasah di Muhammadiyah ataupun Rifaiyah, begitu pula sebaliknya sehingga ketiganya saling bersilang sengkarut, tetapi secara sosiologis hal itulah yang membuat ketiganya saling mengikat.

Di dalam keluarga, ide toleransi, seperti rajin mengaji dan menghargai orang lain, disebarluaskan melalui ajaran-ajaran yang berfungsi membendung intoleransi. Jika Sejarawan Abu Suud pernah diledek oleh guru ngajinya sebagai orang NU yang kemuhammadiyah-muhammadiyahan karena rajin protes dan mempertanyakan dogma yang ada, di sini guru ngaji dari ketiga kelompok ini justru saling berkonsensus untuk saling mendukung semangat keislaman. Uniknya, setiap sebulan sekali, para tokoh dari ketiga kelompok ini sering mengadakan perkumpulan untuk mendiskusikan isu-isu terkini. Bibit intelektualitas ternyata di rawat dalam suasana tradisiona yang ada. Forum ini pula yang membuat sentimen ataupun intoleransi tidak hidup di sini.

Di wilayah ini, tradisionalisme begitu radikal, sehingga masyarakat mengedepankan perspektif kultural daripada teologis. Dalam melihat sebuah masalah, masyarakat tidak pernah mengungkit identitas individu terkait, masyarakat justru mencari penyelesaian dengan jalan budaya yang ada. Misalnya, ketika seorang Barisan Ansor Serbaguna (Banser) pernah tertabrak oleh seorang Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (Kokam), masalah ini tidak sampai menyeret identitas keagamaan yang ada sehingga masalah dapat diselesaikan secara cepat.

Pemahaman teologi masyarakat di sini tidak didasarkan pada tendensi politik tertentu, masyarakat beragama atas dasar nuraninya. Jadi, hasrat untuk menunjukkan kelompoknya adalah yang terbaik atau lebih baik dari kelompok manapun tidak nampak di sini. Dewan Masjid dari masing-masing kelompok justru memelihara persaudaraan melalui komunikasi yang intens baik dalam perayaan kultural maupun keagamaan. Hal ini adalah cermin toleransi masyarakat pedesaan yang jauh dari hiruk pikuk kebisingan kota.

Perayaan hari lahir setiap organisasi juga bisa dirayakan dengan bebas, setiap perayaan dilakukan dengan arak-arakan atau pesta obor. Setiap organisasi dalam merayakan ini berjalan kaki, sehingga kelompok yang sedang merayakan Harlah atau hari besar tertentu pasti akan melewati wilayah yang didiami oleh kelompok lainnya. Masjid di sini juga tidak terlalu keras dalam menjaga identitasnya, ini menunjukkan praktik yang akomodatif dalam berislam sehingga potensi konflik dapat ditekan semaksimal mungkin.

Ketiga kelompok ini secara tipologis tinggal di wilayah yang sama, di bantaran atau tepian sungai, sehingga suasana kultural yang ada juga hampir sama. Suasana kultural inilah yang membuat mereka bisa dengan mudah saling menghargai. Faktor lainnya yang membuat Islam di sini begitu ramah adalah alasan historis. Ketiga kelompok ini begitu menghargai seorang tokoh yang bernama Ki Ageng Cempaluk sebagai penyebar Islam masa permulaan di sini pada abad 17, ketika masyarakat Jawa masih di bawah kekuasaan Sultan Agung.

Dulunya wilayah ini adalah lokasi pembuangan bagi para abdi dalem pemberontak kerajaan. Sultan Agung menciptakan sebuah wilayah yang digunakan untuk membina orang-orang yang menentang kebijakan kerajaan. Cara Sultan Agung dalam membina mereka adalah dengan memberikan pengetahuan Islam. Mereka yang pernah dibuang tidak dapat dipulihkan sebagai anggota kerajaan, tetapi keturunan mereka yang berbakat akan diuji dan memiliki hak untuk kembali menjadi anggota kerajaan. Ki Ageng Cempaluk adalah pemuka agama di Mataram Islam yang ditugaskan untuk melakukan tugas pembinaan itu. Di wilayah inilah kemudian Islam dibumikan dan masyarakat dibina untuk mencintai kerajaan sekaligus mencintai Islam.

Daerah ini pantas dianggap sebagai daerah pembuangan karena secara geografis sangat terpencil, letaknya tidak berada di utara maupun selatan Jawa, tetapi wilayah ini berada di balik bukit Bintang yang membelah Jawa Tengah menjadi dua bagian, selatan dan utara. Sehingga wilayah ini masuk ke dalam daerah pedalaman Jawa. Terlebih di sebelah Barat terdapat sebuah sungai yang sangat lebar dan tidak mudah diseberangi, di daerah seberang masyarakat sudah berbeda, mereka adalah masyarakat yang peradabannya menganut budaya Sungai Serayu atau Banyumasan sehingga secara corak sudah berbeda dengan kultur mataraman.

Dari wilayah ini di kemudian hari, tepatnya ketika abad 17 sudah jalan seperempat, lahirlah seorang anak yang bernama Bahurekso sebagai bayi yang dilahirkan oleh masyarakat binaan Ki Ageng Cempaluk. Ia dikenal sebagai anak yang pandai dan cerdik dalam mengatur siasat. Oleh sebab itu, Ki Ageng Cempaluk begitu menyayanginya. Ketika menyediakan laporan bagaimana perkembangan masyarakat binaan itu, Ki Ageng Cempaluk mengabarkan kepada Sultan Agung bahwa ada anak yang begitu cerdas dan tekun hasil dari perkawinan masyaraka binaan. Sejak itulah Sultan Agung menilai Bahurekso pantas dipulihkan namanya menjadi keluarga kerajaan kembali dan diberi kedudukan sebagai Tumenggung. Kerjasama keduanya berlanjut hingga perlawanan Mataram Islam terhadap VOC di Batavia yang diinisiasi oleh Sultan Agung dan dipimpin oleh Bahurekso. Nama Bahurekso juga cukup besar di Kabupaten Kendal, mengingat sebelum era perlawanan itu, Bahurekso sempat dijadikan sebagai Bupati utusan Mataram untuk wilayah Kendal.

Memori inilah yang terus hidup sayup-sayup di Pekalongan Selatan. Dan memori ini pula yang berhasil menjadikan masyarakat di sini, meminjam konsep Dr. Nurcholis Madjid, sebagai masyarakat Islam kultural, yaitu masyarakat yang menjalankan Islam dan budaya secara beriringan. Dalam masyarakat seperti ini tentu saja sentimen maupun konflik akan sulit berkembang. Penjelasan ini juga mempertegas argumentasi Dr. Nur Syam bahwa corak Islam yang sentimen dan garang tidak nampak di pedesaan Jawa.

Perang wacana yang sedang berlangsung di kancah nasional antara NU maupun Muhammadiyah tentu saja harus disudahi. Bagaimanapun juga masih banyak partikel yang tercecer tentang hubungan keduanya yang harmonis di pedesaan Jawa. Partikel-partikel ini adalah yang murni tidak terkontaminasi oleh kepentingan politik manapun, tetapi suatu ketika dapat menjadi korban dari situasi politik. Menyudahi wacana yang berlangsung dan menghindari framing media yang ugal-ugalan adalah jalan terbaik untuk mencegah situasi yang lebih buruk terjadi.