Mempertanyakan Keadilan?

Bertahun-tahun saya sempat degleng saat dihadapkan pada sebuah paradigma tentang keadilan. Awalnya saya manggut-manggut saja ketika dijejali dengan pemahaman seperti ini: “apanya yang adil, ketika para bos yang kerjanya tak seberapa tapi bisa mendapatkan gaji besar, sedangkan para petani yang kerjanya sangat keras tapi hasilnya tak seberapa?”

Pernyataan yang sangat masuk akal bagi saya waktu itu, yang pada selanjutnya membuat saya mengimani pemahaman semacam ini selama bertahun-tahun. Namun seiring berjalannya waktu sebuah keresahan lanjutan kembali muncul, saya kembali berpikir, apakah iya Tuhan setega itu? Katanya Tuhan Maha Adil? Lalu dimana letak adilnya?

Pertanyaan yang cukup meresahkan ini mengendap begitu lama, sampai pada akhirnya saya menemukan sedikit pencerahan setelah kabar Jack Ma yang berniat mengundurkan diri dari Alibaba viral. Jack Ma yang pada mulanya berprofesi sebagai seorang guru Bahasa Inggris itu mengaku menyesal telah membangun Alibaba. Dia berkata dengan berdirinya Alibaba, maka dia harus bertanggung jawab atas perusahaan bernilai US$ 420 miliar dengan 86.000 karyawan itu.

“Saya hanya ingin mendirikan usaha kecil-kecilan, tetapi ternyata tumbuh begitu besar. Setiap hari saya sibuk seperti seorang presiden. Saya tidak dapat menikmati hidup. Jika saya bereinkarnasi, saya tidak ingin menjalankan bisnis seperti ini. Saya hanya ingin menikmati hidup,” kata Ma di St Petersburg International Economic Forum 2016.

Dalam sebuah wawancara yang lain, Ma mengatakan bahwa saat-saat terindah dalam hidupnya adalah ketika dia menjadi guru dengan gaji hanya 91 yuan atau sekitar Rp 200.000 per bulan.

Dari sini pemahaman saya tentang adil mulai sedikit terbuka. Saya mulai memahami bahwa konsep keadilan Tuhan ternyata tak bisa dilihat hanya dari kacamata materialisme saja. Ada “value-value” lain yang itu tidak bisa diukur dengan materi.

Mungkin ini juga yang dirasakan salah seorang teman Facebook asal Jogja yang bertekad untuk terus mengajar dua kali seminggu di Solo. Padahal gaji yang didapatkannya tak seberapa jika dibandingkan dengan ongkos untuk bolak-balik Jogja-Solo. Terlebih dia sendiri sebenarnya juga memiliki pekerjaan yang cukup menjanjikan di Jogja. Tapi itulah jalan hidup yang diinginkannya. Mungkin secara materiil hasilnya tak seberapa dibandingkan dengan lelah yang harus ditanggung, tapi memang tak semuanya bisa dinilai dengan nominal, termasuk kepuasan dan ketenangan batin.

Tentang warna-warni keadilan ini juga pernah dikisahkan oleh Imam Al Ghozali dalam kitabnya, Al-Tibbr Al-Masbuk fi Nasihat Al-Muluk. Imam Ghozali menulis, suatu ketika Nabi Musa sangat ingin mengetahui bentuk-bentuk keadilan Tuhan yang diberikan kepada manusia. Ia pun pergi ke Gunung Sinai untuk bermunajat, dan tentu saja mencari jawab atas rasa penasarannya yang mendalam terkait bentuk keadilan Tuhan.

Dalam munajatnya, Nabi Musa diperintahkan untuk pergi ke sebuah oase yang tersembunyi dibalik bukit. Sesampainya di oase yang dimaksud, tak lama berselang Nabi Musa melihat seorang penunggang kuda yang datang ke sumber air itu untuk berwudlu dan mengambil air minum. Nabi Musa melihat sang penunggang kuda itu meletakkan sebuah kantong di sampingnya, namun selesai sholat ia lupa kantong yang diletakkannya dan terus pergi memacu kudanya.

Tidak lama kemudian datanglah seorang anak kecil yang mengambil air minum di sumber air yang sama. Ketika beranjak, anak itu melihat sebuah kantong tergeletak di sampingnya dan membawanya pergi begitu saja. Bersamaan dengan itu, datanglah seorang kakek tua yang buta. Si kakek buta datang untuk minum di oase itu dan melaksanakan sholat setelahnya. Selesai sholat si kakek buta beristirahat sejenak sekedar melepas lelah.

Di tengah perjalanan, sang penunggang kuda teringat kantongnya yang terlupa. Tanpa berpikir panjang ia segera berbalik arah dan menuju sumber mata air itu. Dicarinya kantong itu namun ia tidak menemukan kantong uangnya, ia hanya melihat kakek buta yang sedang duduk beristirahat

Tentu saja si penunggang kuda curiga dengan kakek buta itu, “Saya kehilangan kantong yg berisi 1000 dinar di tempat ini. Tidak ada orang yang datang ke tempat ini selain kamu.”

Kakek tua itu menjawab, “Anda kan tahu, aku buta. Bagaimana aku dapat melihat dan mengambil kantongmu?”

Mendengar ucapan si kakek buta, si penunggang kuda marah dan kehilangan kesabaran, ia lantas menghunuskan pedangnya ke kakek yang malang itu. Ia menggeladah dan mencari kantongnya, namun ia tidak menemukannya. Ia pun pergi meninggalkan tempat itu.

Melihat peristiwa tragis itu, Nabi Musa merasa jengkel dan protes kepada Tuhan, “Wahai Tuhanku, kami telah sabar dan Engkau adil. Tapi mohon jelaskanlah maksud peristiwa yang baru saja itu terjadi, agar aku tidak dalam kebingungan.”

Lalu datanglah malaikat Jibril, dan berkata, “Musa, Tuhan berfirman, ‘Aku mengetahui segala rahasia, dan apa pun yang tidak kamu ketahui. Anak kecil yang mengambil kantong sesungguhnya telah mengambil hak miliknya sendiri. Hal ini lantaran ayah anak tersebut menjadi buruh penunggang kuda selama bertahun-tahun, namun ia tidak pernah mendapat hasil dari kerja kerasnya itu, yang bila dihitung jumlah penghasilanya sama dengan jumlah uang yang ada dalam kantong itu.

Sedangkan si kakek buta adalah orang yang telah membunuh ayah dari penunggang kuda tersebut ketika ia belum buta . Allah telah mengambil hukum Qishash dan menyampaikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya. Keadilan kami (Allah) sangat lembut.” Usai mendengar penjelasan itu, Musa segera mengucap istighfar.

Demikianlah bagaimana keadilan Tuhan berjalan dibalik berbagai kejadian yang sering kita lihat sehari-hari, yang kadang kala kita sendiri merasakan itu tidak adil. Tetapi kenyataannya, pandangan dan penglihatan manusia amat terbatas, sementara Tuhan memiliki penglihatan dan pengetahuan yang tak terbatas. Itulah mengapa dalam kitab Al Hikam, Ibnu Athaillah memberikan pesan agar selalu berbaik sangka kepada Tuhan:

Apabila engkau belum sanggup berbaik sangka kepada Allah lantaran kesempurnaan sifat-sifat-Nya, maka berbaik sangkalah karena pertemanan-Nya bersamamu. Bukankah Dia selalu memberimu sesuatu yang baik-baik? Dan bukankah Dia senentiasa memberimu segala kenikmatan?

Sudah menjadi krusialitas yang harus diimani bahwa tindakan Tuhan tidak pernah lepas dari hikmah kebijakan-Nya. Tuhan tidak memberikan sesuatu kecuali sesuatu itu baik, meski kadang kita sendiri buta akan hikmah di baliknya, tidak mampu menemukan rahasia yang tersembunyi di belakangnya.