Dari Imam al-Ghazali, Abu Qosim Junaid al-Bagdadi, lalu Abu Hasan as-Syadzili hingga Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, adalah segelinitir sufi tersohor yang dijadikan kiblat tasawuf oleh kalangan nahdliyin Indonesia. Terlepas dari itu semua, agaknya sosok Syaikh Abu Madyan tidak boleh dilewatkan begitu saja. Meskipun namanya kurang begitu popular di telinga pembaca sekalian.
Tentang Syaikh Abu Madyan, ia lahir dari tanah Andalaus tahun 509. Dikenal sebagai ulama besar, sufi yang arif billah, sekaligus pemimpin para ahli ibadah dan ahli zuhud. Di bawah sentuhan tangan dinginnya dan kesucian hatinya telah mengantarkan banyak muridnya menjadi wali-wali ternama.
Berkat pengaruh ajaran tasawufnya pula, tidak sedikit orang yang menyejajarkan kedudukannya dengan derajat Sultanul Auliya; Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Ia wafat tahun 559 H. Kini, pusaranya berada di kota Tilmisan, Aljazair.
Tidak dimungkiri, sedari muda dahaganya akan menenggak telaga ilmu memang patut diacungi jempol. Keseriusannya membawanya melanglang buana ke berbagai wilayah jauh nun di lintas negara. Pindah dari satu majelis ilmu ke majelis ilmu berikutnya dan dari satu guru ke guru ke yang lain.
Sejarah mencatat, Syaikh Abu Madyan banyak nyantri ke beberapa guru spiritual, salah satunya Syaikh Ibnu Hirzihim dalam menekuni disiplin ilmu fiqih, kemudian ada Syaikh Abu Yaz’a dalam meniti karirnya di dunia tasawuf. Selain itu, ia juga turut mendapat bimbingan dari Abu Abdullah ad-Daqaq.
Bagi Syaikh Abu Madyan perihal menuntut ilmu bukan sembarang kewajiban yang asal himpun-menghimpun pengetahuan belaka. Ia coba menerapkan metode atau trick belajar yang efektif. Dalam artian ilmu dan amal dipandang sebagai keserasian yang mesti berjalan secara beriringan. Sebab sepintar apapun seseorang dalam memahami ilmu agama tanpa mengamalkannya hanya kesia-siaan dan sebanyak apapun itu ilmu bila tiada melekat di hati sebagai cerminan perilaku juga sama percumanya.
Trick unggulan ini kelihatannya simpel namun sebenarnya teramat sulit dalam praktiknya.
Apabila Syaikh Abu Madyan sudah mengantongi sebuah ilmu, berkenaan tafsir ayat al-Quran beserta Hadits Rasulullah saw, maka ia akan merasa cukup dengan hal ini. Lantas mengasingkan diri untuk sementara waktu di luar kota Faas (Maroko). Mencari persinggahan yang sunyi juga tenang guna mengamalkannya.
Keterlepasan dari kebisingan duniawi diakui oleh Syaikh Abu Madyan sendiri sebagai kunci tersingkapnya pemahaman tentang ayat al-Quran dan Hadits dari Allah Swt. Setelah itu, ia pun bertolak ke kota Faas lagi untuk mempelajari ilmu lainnya, lalu kembali lagi ke tempat khalwatnya, dan begitu seterusnya.
Di tengah gemerlap kehidupan sekarang, tampaknya sangat jarang sekali menemukan orang yang menerapkan teladan belajarnya, boleh jadi malah tidak ada. Secara tidak langsung gambaran ini juga menjadi peringatan bagi anak-anak millenial yang kadang (untuk tidak saya katakan sering) “ngoyo” dan gemar menimbun pengetahuan cuma untuk ajang pamer, memperkuat argumentasi saat diskusi dan debat. Namun acap kali ilmu tersebut tidak membekas barang sedikitpun.