Nama Abdurrahman (AR) Baswedan memang tidak banyak disebut dalam buku sejarah kemerdekaan Indonesia. Namanya pun tak sepopuler nama-nama lain semacam Sjahrir, Natsir, atau Soekarno. Padahal peranannya dalam perjuangan menegakkan republik ini cukup besar.
Usai dibacakannya naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, langkah selanjutnya yang harus dilakukan bangsa Indonesia adalah mempertahankan kemerdekaannya dengan cara mencari pengakuan dari negara lain.
Pada 1947, sekelompok diplomat dikirim ke Mesir untuk mencari pengakuan kedaulatan republik secara de jure dan de facto dari negara-negara Arab. Dalam rombongan tersebut terdapat nama H. Agus Salim, Nasir Sutan Pamuntjak, HM Rasjidi, dan juga AR Baswedan yang saat itu menjabat sebagai Wakil Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir,
Untuk sampai pada tahap berdiplomasi prosesnya tidak mudah karena Duta Besar Belanda untuk Mesir sebelumnya sudah membujuk Menteri Luar Negeri Mesir agar menolak pengakuan kedaulatan Indonesia. Namun atas kegigihan para delegasi untuk meyakinkan Menteri Nokrashi Pasha dengan cara melobi seluruh media massa Mesir dan setiap pelajar Indonesia yang berada di sana mengumandangkan lagu Indonesia Raya yang telah diterjemahkan dalam bahasa Arab, pada akhirnya lahirlah naskah pengakuan kedaulatan Indonesia pertama yang diberikan oleh negara asing. Naskah tersebut ditandatangani sendiri oleh Menteri Luar Negeri Nokrashi Pasha.
Sementara H. Agus Salim melanjutkan perjalanannya ke negeri- negeri Arab yang lainnya, AR Baswedan diperintahkan untuk membawa naskah pengakuan tersebut kepada Bung Karno. Yang menarik, H Agus Salim mengatakan, “Baswedan, bagi saya tidaklah penting apakah Saudara sampai di Tanah Air atau tidak, yang penting naskah ini harus sampai di Indonesia dengan selamat,”.
Perjalanan mengantarkan naskah pengakuan juga tidak mudah. AR Baswedan harus bergerilya dari Mesir ke Bahrain melewati beberapa negara hingga sampai ke Singapura. Sesampainya di Singapura AR Baswedan tidak bisa langsung menyeberang karena saat itu Indonesia tengah menghadapi ultimatum dari Gubernur Jenderal Van Mook. Sebulan berselang setelah melewati masa krisis dengan bekal seadanya, AR Baswedan dengan dibantu dua orang Singapura keturunan Arab akhirnya bisa menyeberang ke Indonesia dan menyelamatkan naskah pengakuan kedaulatan tersebut dengan cara menyembunyikannnya dalam kaos kaki.
Menjadikan Indonesia Sebagai Tanah Air
AR Baswedan lahir dari pasangan Awad Baswedan dan Aliyah binti Abdullah Jarhum pada 9 September 1908 di Ampel, Surabaya. Menurut Von Faber, kakek AR Baswedan yang bernama Umar bin Abu Bakar bin Mohammad bin Abdullah Baswedan merupakan generasi awal marga Baswedan yang menginjakkan kaki di Surabaya dari Hadramaut, Yaman. Di kemudian hari, dari marga kategori Syeikh (keturunan ulama/bukan keturunan Nabi) ini lahirlah tokoh pahlawan nasional bernama AR Baswedan dan memiliki cucu yang bernama Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta.
AR Baswedan tergolong jurnalis yang berani. Pada 1 Agustus 1934 dia menulis di Harian Matahari Semarang yang intinya menyeru kepada semua peranakan Arab untuk bersatu membantu perjuangan Indonesia. Padahal saat itu warga peranakan Arab merupakan warga kelas dua setelah bangsa Eropa. Inilah yang menjadikan gagasannya banyak ditentang bahkan oleh sesama peranakan arab sendiri, terutama golongan tua Hadrami. Namun AR Baswedan tetap bersikukuh mengajak peranakan arab untuk menganut asas ius soli: dimana saya lahir disitulah tanah airku.
Dalam tulisannya, Peranakan bersama Indonesia dan Babas, AR Baswedan menjelaskan bahwa keadaan telah memaksa warga Arab dan peranakannya untuk memisahkan diri dari totok, sehingga akhirnya mereka menjadi lebih dekat dengan orang Indonesia dan Babas (Cina). Puncaknya pada 4 Oktober, ia mengumpulkan para warga peranakan Arab di Semarang untuk Bersama-sama mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab yang menyatakan Indonesia sebagai tanah air dan akan berjuang untuk mendukung tercapainya kemerdekaan Indonesia. Dari sini, berdirilah Persatuan Arab Indonesia yang dapat berintegrasi dengan masyarakat Indonesia dan AR Baswedan ditunjuk sebagai ketuanya.
Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh latar belakang AR Baswedan kecil yang mengalami kontradiksi dan konfrontasi karena retaknya struktur tradisional: sayyid, qabili, syaikh, dan masakin yang merupakan bawaan dari Hadramaut (Yaman Selatan). Hal ini menjadikan ia tumbuh dengan ide-ide persamaan dan mulai menyerang dominasi golongan sayyid yang pada waktu itu diakui lebih superior. Faktor ini sangat mempengaruhi pola pikirnya untuk mempersatukan kalangan muwallad (keturunan Arab kelahiran Indonesia) di kemudian hari.
Langkah AR Baswedan ini merupakan langkah maju dalam perkembangan pemikirannya. Sebelumnya dalam majalah Lembaga Baroe, AR Baswedan pernah menulis bahwa organisasi jangan sampai memecah belah komunitas Hadrami. Dari tulisan-tulisannya terlihat jelas AR Baswedan saat itu begitu mengagung-agungkan Hadrami. Baru ketika AR Baswedan bekerja sebagai jurnalis sebuah surat kabar Cina, pemikirannya mulai berubah secara mendasar setelah melihat masyarakat Cina mendefinisikan kembali identitasnya seperti halnya beberapa dekade lalu.
Natalie Mobini-Kesheh dalam Menjadi Pribumi di Negeri Orang: Pergumulan Identitas Masyarakat Arab di Indonesia menjelaskan, keputusan menjadikan Indonesia, bukan Hadramaut sebagai tanah air para muwallad merupakan pengaruh Cina. Pada 1920, sekelompok peranakan Cina memutuskan untuk menjadikan Indonesia sebagai tanah air mereka. Ide ini tampaknya menular ke dalam diri Baswedan melalui Liem Hoen Hian, seorang peranakan yang lahir di Kalimantan Selatan pada 1896 dan juga rekan Baswedan di Sin Tit Po. Liem mengkampanyekan kepada kelompok peranakan untuk menjadikan Indonesia sebagai tanah air. Karena itu, sebagai warga, mereka berkewajiban untuk memperjuangkan tanah air ini melalui gerakan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Pada 1932, Liem mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) sebagai wadah perjuangan. Langkah Liem ini kemudian mengilhami AR Baswedan di mana ia dua tahun kemudian mendirikan Partai Arab-Indonesia.
Mungkin langkah ini tidak terlalu menggembirakan bagi generasi tua Hadrami. Konsep wathaniyyah tidak selalu ditafsirkan dengan cara yang sama. Sebagian Hadrami mengidentikkan konsep wathaniyyah ini dengan Hadraminess itu sendiri. Kemudian mereka kembali ke tanah leluhur pada 1940-an dan mendirikan partai komunis, sebagai imbas pergaulan mereka dengan beberapa tokoh komunis di Indonesia. Sebagian lagi berpendapat bahwa konsep wathaniyyah tidak identik dengan Hadrami-ness. Konsep itu bisa diterapkan di mana saja, termasuk Indonesia.