Suarr.id–Di Indonesia ada banyak sekali daftar waliyullah, akan tetapi yang paling masyhur di masyarakat kita ada sembilan. Sembilan wali ini biasa kita sebut dengan “Walisongo”. Mereka merupakan kelompok waliyullah penyebar pokok-pokok ajaran Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Sampai saat ini, makam Walisongo terus diziarahi masyarakat Indonesia. Ajaran-ajaran dan sejarah perjalanan dakwahnya digali juga dipelajari secara terus menerus.
Maroko adalah negeri para wali, tak ayal jika banyak yang meyakini dan menjuluki negara Maroko dengan “negeri beribu wali”. Hal ini bisa kita lihat dengan khazanah keislaman yang ada di negeri Maroko, lebih-lebih dalam kajian sufistiknya.
Nama-nama ulama besar seperti Maulay Abdissalam ibn Masyisy, Syeikh Hasan as-Syazili, Syeikh Ahmad Tijani, dan masih banyak lagi lainnya, kesemuanya lahir dari rahim tanah Maroko. Bahkan, dalam beberapa literatur klasik para ulama, ada yang menyebutkan bahwa negeri Maroko itu “kuluu qadamin waliy” (Setiap langkah itu ada waliyullahnya).
Jika walisongo ini bagi beberapa kalangan masyarakat Indonesia–khususnya tanah jawa–diyakini sebagai “tiang penyangga” Indonesia. Hal serupa juga terjadi di Maroko , hanya saja jumlah mereka tujuh.
Ketujuh wali inilah yang disebut dengan Sab’atu Rijal (Tujuh Orang Wali). Mereka semua berada di kota Marakesh, kota tua bersejarah yang memiliki jejak kuat tentang para pejuang hebat sejak Islam tersebar di Maroko beberapa abad silam.
Masyarakat Maroko pada umumnya akidahnya berhaluan Asyaa’irah atau Asy’ari, hampir sama dengan mayoritas masyarakat Indonesia khususunya warga nahdliyin. Fondasi akidah inilah yang membuat masyarakat umum Maroko gemar melakukan amaliah ziarah kubur, maulid Nabi, tahlil, dan sebagainya. Maka tidak heran jika ketujuh tokoh sufi ini dianggap keramat dan didaulat sebagai paku bumi atau katakanlah tiang penyangganya kota Marakesh.
Lalu siapakah ketujuh waliyullah kota Marakesh ini? mari kita ziarahi satu persatu dari tulisan berikut ini.
Dalam kitab al-Harakah as-Shufiyah Bi Marakesh: Dhahirah Sab’aturijal karya Duktur Hasan Jalab, ketujuh wali itu adalah:
1. Al-Imam Al-Qadhi Iyadh (w. 544 H)
Al-Imam al-Qadhi Iyadh adalah seorang ulama ensklopedis bangsa Magrib. Beliau membidangi setiap ilmu; bahasa, hadist, tafsir, ushul fiqh, fiqh dan lain-lain. Walau kebanyakan ulama mengenalnya sebagai seorang pakar di bidang hukum atau fiqh. Kental dengan mazhab Maliki, beliau adalah guru dari al-Imam al-Qadhi ibn Rusyd, pengarang kitab Bidayatul Mujtahid.
Ulama yang bernama lengkap Iyadh ibn Musa ibn Iyyad ibn ‘Amru as-Sibthi ini dilahirkan pada 476 H di kota Sebta atau atau sekarang Ceuta, sebuah ekslave (bagian negara yang terpisah milik spanyol yang berada di ujung utara Maroko tepatnya kota Finidq).
Masih dalam kitab yang sama (al-Harakah as-Shufiyah Bi Marakesh: Dhahirah Sab’aturijal), disebutkan bahwa ulama Maroko mengenang sosok Imam Qadhi Iyadh dengan perkataan : “Laula Iyadhh Lamma Urifal Maghrib”. (Jika bukan karena Iyadh, bangsa Maghrib tak akan dikenal).
Selain terkenal dengan kefaqihannya, Imam Qadhi Iyadh juga terkenal sebagai ulama yang zuhud, wara’, dan tidak terlena akan dunia. Pernah suatu ketika ayah beliau, Musa Ibn Iyadh, wafat dan meninggalkan warisan yang cukup besar, namun Imam Qadhi Iyadh enggan menerima dan memberikan warisan itu kepada saudaranya.
Beliau sangat cinta terhadap baginda Rasul dan juga Ahlul Bayt. Hal ini dibuktikan dengan karya beliau berjudul; as-Syifa Bi Ta’rifil Huquqil Musthafa. Merupakan sebuah karya fenomenal tentang sirah nabawiyah yang begitu penuh penghayatan dan ketulusan cinta.
Imam Qadhi Iyadh meninggal pada tahun 544 H dan maqamnya berada di Bab Aylan, Kota Marakesh. Nama beliau pun diabadikan oleh pemerintah Maroko untuk sebuah universitas ternama yang ada di kota Marakesh, yaitu Universitas Caddi Ayyad. Waalahu A’lam.
Maqbaroh Al-Imam Al-Qadhi Iyadh
2. Sidi Imam Abu al-Qaim Abdurahman as-Suhaili (w. 581 H)
Imam Abu al-Qasim Abdurahman as-Suhaili adalah ulama ternama dan punya banyak pengaruh di kalangan para ulama pada zamanya. Beliau dikenal sebagai Ulama al-Maghrib al-Islamiy.
Waliyullah yang bernama lengkap Abdurahman ibn al-Khatib Abdillah Abi Umar ibn Asba Ibn Habib al-Khasma’i as-Suhaili ini lahir pada tahun 508 H atau 1114 H di kota Suhayl. Oleh karena itu, nisbah beliau adalah Suhaili, diambil dari kota kelahiran beliau. Dalam makalah “Le Sept patrons de Marakech” yang ditulis oleh De Catries disebutkan bahwa kata “Suhail” adalah kata yang diagungkan bagi bangsa Arab sebelum masa datangnya Islam.
Selama masa hidupnya, sang Imam hidup dengan penuh kesederhanaan, ketaqwaan, kesungguhan dalam belajar, dan tidak mencari kekayaan duniawi yang padahal beliau termasuk ulama yang dekat dengan pemerintah kerajaan, terutama khalifah.
Dalam suatu riwayat disebutkan, bahwa beliau pernah berkata: ”Kami hanya sibuk mencari ilmu seperti sibuknya orang mencari kekayaan dengan kerja kerasnya”.
Imam Suhaili muda, besar dan menetap di Andalus. Belajar dari ulama-ulama yang ada di Andalus, salah satunya Imam Ibn Arabi, Sulaiman ibn Yahya, dan Syuraij ibn Muhammad. Sampai pada tahun 579 H beliau dipanggil oleh khalifah Yusuf ibn Abdil Ma’mun untuk mengajar di istana kerajaan. Hal ini didasari oleh keluasan ilmu dan karamah Imam Suhaili.
Ada hal menarik yang menjadi alasan kenapa Imam as-Suhaili dijadikan salah satu waliyullah dari tujuh wali yang sangat diagungkan di Marakesh.
Pertama, Karena karya beliau yaitu kitab “ar-Raudh al-Unuf”. Kitab sirah yang kesemua isinya shahih dan dikagumi oleh banyak ulama.
Kedua, akhlakul karimah yang tergambarkan di perilaku beliau, seakan-akan beliau melaksanakan perilaku Nabi saw sebagaimana yang beliau tulis di dalam karyanya tersebut.
Ketiga, Imam Suhaili adalah ulama pembawa dampak perubahan yang signifikan di bidang keilmuan pada tataran kerajaan dan masyarakat Marakesh selama beliau mengajar di kerajaan. Dan yang jarang diketahui oleh banyak orang, dalam kitab Nukyatul Hamyan Fi Nukatil Umyan, disebutkan beliau adalah ulama yang tunanetra.
Setelah tiga tahun berada di Marakesh, beliau wafat pada tahun 581 H dalam usia 72 tahun. Waalahu A’lam.
3. Sidi Imam Yusuf ibn Ali as-Shanhajiy (w. 593 H)
Imam Sidi Yusuf Ibn Ali adalah ulama yang hidup di zaman dinasti Muwahidun. Beliau adalah keturunan Arab Yaman. As-Shanhajiy adalah nisbah yang disematkan ke beliau karena berasal dari Qabilah Shanhajah al-Hamiriyah. Salah satu suku Amazigh yang kulitnya putih laksana susu dan wajahnya kemerah-merahan.
Saat mencari referensi tentang kapan beliau lahir, penulis sendiri mengalami kesulitan untuk mendapatkannya. Tak banyak yang tahu kapan beliau lahir. Namun, kisah terkenal yang erat dikaitkan dengan kehidupan beliau adalah perihal penyakit kusta.
Semenjak beliau divonis mengidap penyakit kusta yang menular. Beliau mengasingkan diri di sebuah gua yang berada disisi timur benteng kota Marakesh tepatnya di luar pintu Aghmat. Dan semenjak itu, banyak orang pengidap penyakit kusta mengikuti jejak beliau untuk tinggal di sana. Terkenal lah tempat tersebut dengan sebutan al-Haroh al-Juzama, Kampung Kusta.
Kesabaran yang luar biasa tiada bertepi dalam menghadapi ujian, mejadikan ulama pendiri zawiyah (tempat berzikir) di tempat tinggalnya ini mengundang kekaguman, terutama di salah satu riwayat dalam kitab At-Tasyawuf ila Rijali Tasawuf, disebutkan bahwa pernah salah satu anggota badannya terlepas dari tempatnya sebab kusta, alih-alih bersedih, beliau malah mengumpulkan fakir-miskin lalu menyedekahkan makanan sebagai ungkapan ke syukurannya.
Beliau wafat di bulan Rajab tahun 593 H dan dimakamkan di Zawiyah yang beliau dirikan.
Waalahu A’lam. Allahu yarhamhum.