Mengenal Ulama’ Beirut (2) : Syeikh Abdul Basith al-Fakhuriy, Mufti Beirut di Masa Daulah Utsmaniyyah

Suarr.id–Beliau lahir di kota Beirut pada tahun 1240 H yang bertepatan dengan tahun 1824 R. Ia memulai pendidikan dasarnya dengan belajar di kuttab-kuttab (semacam pondok) yang ada di sekitar tempat tinggalnya, sebagaimana lazimnya anak-anak sebayanya pada masa itu. Kemudian beliau talaqqi (belajar ilmu agama secara langsung kepada guru yang tsiqah dan bersanad) beragam fan ilmu kepada ayahnya sendiri yakni Syaikh Ali al-Fakhuriy.

Saat muhaddits (ulama’ ahli hadits) Beirut, Syaikh Muhammad al-Hut pulang ke Beirut dari Damaskus, Syaikh Abdul Basith tidak menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut. Ia senantiasa menghadiri majelis-majelis Syaikh Muhammad Al-Hut di Masjid Jami’ al-‘Umari al-Kabir. Syaikh Abdul Basith menyelami keluasan ilmu sang guru mulai dari ilmu tauhid, fiqh, hadits, ushul, tafsir dan lainnya. Semua ilmu ia pahami dan kuasai, terutama fiqh dan hadits. Syaikh Muhammad al-Hut merupakan guru terbesarnya. Selain itu, beliau juga talaqqi kepada Syaikh ‘Abdullah Khalid.

Sewaktu nyantri, Syaikh Abdul Basith termasuk santri yang paling cemerlang di antara kawan-kawannya. Ia menonjol di banyak bidang keilmuan. Tak heran jika sang guru, Syaikh Muhammad al-Hut memberinya ijazah untuk mengisi majelis ilmu di beberapa masjid, di saat usianya yang belum genap dua puluh lima tahun. Pada tahun 1876 R, beliau mendapat amanah untuk memimpin Darul Fatwa dan amanah itu beliau jalankan hingga akhir hayatnya. Kurang lebih 27 tahun, beliau didapuk sebagai mufti Beirut.

Baca juga :  Mengenal Sab’atu Rijal (1): Tujuh Waliyullah Kota Marakesh, Maroko

Syaikh Abdul Basith al-Fakhuriy banyak melahirkan ulama’-ulama’ penerus yang hebat. Di antara murid didikan beliau yang paling masyhur adalah Syaikh Musthafa Naja yang di masa selanjutnya juga menjadi mufti Beirut, Syaikh Qosim al-Kastiy, Syaikh Muhammad al-Kastiy, Syaikh Musthofa al-Ghulayini pengarang kitab ‘Idhatun-Nasyi’in. Murid-muridnya menjadi ulama’ pewaris para Nabi yang menerangi bumi Lebanon.

Pada bulan Sya’ban tahun 1312 H, Sulthan ‘Abdul Hamid II menganugerahkan gelar Neisyan Al-Majidiy kepada Syaikh Abdul Basith al-Fakhuriy, sebuah gelar kehormatan tingkat menengah dari Kekhalifahan Turki Utsmani. Lalu tujuh tahun kemudian, pada tahun 1319 H, Sulthan Abdul Hamid II kembali memberikan gelar kehormatan yang lebih tinggi kepada beliau yakni Bayeh Adernah.

Mengenai Kekhalifahan Turki Utsmani, beliau berkata dalam kitabnya Mukhtashar Tarikh al-Islam halaman 149 “Setelah meneliti dan mendalami lebih jauh sejarah negeri-negeri Islam di masa lampau, saya tidak melihat dan tidak mendengar pemerintahan setelah Khulafaur Rasyidin yang lebih baik dari Daulah Utsmaniyah di dalam mengelola dan menjalankan pemerintahan. Terutama ketundukannya kepada syariat yang mulia, penghormatannya kepada para ulama, para penghafal kitab suci al-Qur’an dan ahlul bait Rasulullah shallallahu alayhi wasallam. Daulah Utsmaniyah senantiasa membantu rakyat yang miskin serta memperhatikan penduduk dua kota suci (Mekkah dan Madinah). Semoga Allah ta’ala menguatkan kekuasaan mereka.”

Syaikh Abdul Basith al-Fakhuriy senantiasa menghabiskan masa hidupnya dalam berkhidmah kepada Islam dan kaum muslimin. Waktunya banyak tersita untuk membimbing ummat melalui Darul Fatwa dan juga melalui ceramah-ceramah agama yang beliau sampaikan di masjid al-‘Umri al-Kabir. Meskipun demikian, beliau masih sempat meluangkan waktunya untuk menulis beberapa karya berharga dalam berbagai fan ilmu.

Baca juga : Ibnu Saqa; Kawan Syaikh Abdul Qadir yang Malang

Di antara kitabnya adalah al-Fatawa tentang kumpulan fatwa-fatwa beliau; Mashabih at-Thalibin, kitab yang berisi tentang biografi para nabi dan rasul yang disebutkan dalam al-Qur’an; al-Kifayah li dzawil-inayah, kitab yang berisi ilmu-ilmu agama yang pokok bagi orang mukallaf menurut madzhab Imam Syafi’i; Hidayat at-Thalibin wal Mustarsyidin, kitab yang membantah para sufi gadungan yang mengambil thariqah tanpa terlebih dahulu mempelajari ilmu agama yang dhoruri. Karena menurut beliau, sufi yang benar adalah sufi yang berpegang teguh pada syariat agama serta senantiasa menjalankan kewajiban agama dan menjauhi larangannya.

Seberapa pun tinggi derajat seorang sufi, itu tidak akan mengurangi kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti shalat lima waktu dan juga tidak menghalalkan perkara yang diharamkan atasnya seperti minum khamar dan zina.

Tuhfat al-Anam, kitab yang menjelaskan sejarah ringkas Islam mulai dari Khulafaur Rasyidin, Daulah Umawiyyah, Daulah ‘Abbasiyyah hingga Daulah ‘Utsmaniyyah. al-Majalis as-Sunniyyah, kitab yang berisi ceramah agama beliau selama di Masjid al-‘Umri al-Kabir. Dzakhirat al-Labib fi Siirat al-Habib, kitab yang menerangkan perjalanan hidup Rasulullah serta kitab Nubdzah min Aqwalihi shallallahu ‘alayhi wasallam tentang Nasihat-nasihat Rasulullah.

Syaikh Abdul Basith al-Fakhuriy menyadari bahwa dengan menulis, ilmu yang dimiliki menjadi lebih luas manfaatnya, sehingga kitab yang beliau tulis, tidak hanya diambil manfaatnya oleh generasi di masanya namun juga dinikmati oleh generasi-generasi sesudahnya. Tidak hanya bisa dijangkau oleh penduduk Beirut, namun kitab-kitabnya juga dapat dijangkau oleh orang di berbagai penjuru bumi karena tulisan bisa menjangkau apa yang tidak bisa dijangkau oleh lisan.

Diantara nasihat yang beliau sampaikan
“Manusia itu ada 4 macam :
Pertama, orang yang tahu dan dia mengetahui bahwasannya dirinya tahu, maka dialah orang alim, ikutilah dia.
Kedua, orang yang tahu dan dia tidak mengetahui bahwasannya dirinya tahu, maka dia bagaikan orang tidur, bangunkanlah dia.
Ketiga, orang yang tidak tahu dan dia mengetahui bahwasannya dirinya tidak tahu, maka dia harus diarahkan, bimbinglah dia.
Keempat, dia yang tidak tahu dan dia tidak mengetahui kalau dirinya tidak tahu, maka dia ini setan, jauhilah dia”.

Maqbaroh Syeikh Abdul Basith al-Fakhuriy

 

 

 

 

 

 

 

Sebagaimana Ulama’ Ahlussunnah Wal Jama’ah lainnya, beliau tidak lepas untuk mengajarkan Aqidah Tanziih yakni mensucikan Allah ta’ala dari keserupaan makhluk-Nya. Hal itu terlihat dalam beberapa kitab beliau seperti dalam kitab al-Majalis as-Sunniyyah hal 2
قال “تنزّه اى الله عن المكان والزمان”
“Allah maha suci dari tempat dan masa”.

Dalam kitab yang sama, beliau menjelaskan tentang Aqidah Ummat Islam
قال : “لا ينبغي للإله الواحد الصمد أن يحتوى بمكان هو خالقه بل كان ربي ولا عرش ولا مَلَكٌ ولا سماء ورب العرش واجده وكـل من في مكان فهو مفتقر إلى المكان”

“Tidak layak bagi Allah al-Wahid ash-Shomad untuk bertempat di suatu tempat, karena Dialah Pencipta tempat. Tuhanku ada pada azal dan belum ada ‘arsy, malaikat dan langit. Allah, Tuhan Penguasa ‘arsy Yang Menciptakan ‘arsy. Dan setiap yang bertempat berarti butuh kepada tempat”. (al-Majalis as-Sunniyyah hal 119)

Dalam kitabnya yang lain, al-Kifayah li-dzawil-inayah hal 13 beliau berkata
“ولا يوصف بالكبر ولا بالصغر، وكل ما قام ببالك فالله بخلاف ذٰلك”
“Allah ta’ala tidak disifati dengan ukuran besar atau ukuran kecil. Apapun yang terlintas dalam benakmu, maka Allah tidak serupa dengannya”

Di dalam kitab tersebut, beliau juga menjelaskan tentang riddah yakni perkara yang menyebabkan seseorang keluar dari agama Islam
قال : “الردة وهي قطع مكلف الإسلام ولو امرأة بنية (اى اعتقاد) كفر أو فعل مكفر أو قول مكفر سواء قاله استهزاء أو اعتقادا أو عنادا. فمن أنواعها : أن يعزم الإنسان على الكفر أو اعتقد قدم هذا العالم أو عاب نبيا أو ملكا من الملائكة بشيء أو قال اليهود خير من المسلمين، فيكفر ويرتدّ بواحدة من المذكورات. وتجب استتابته في الحال. فإن تاب وأسلم بأن نطق بالشهادتين وأقرّ بما أنكره وتبرأ مما اعتقده أو تلفظ به قبل منه”.
“Riddah adalah memutus Islam yang dilakukan oleh orang mukallaf laki-laki maupun perempuan dengan meyakini keyakinan kufur atau melakukan perbuatan kufur atau mengucapkan perkataan kufur, baik dia mengucapkannya dengan tujuan mengolok-olok, meyakini, atau menentang. Di antara macam-macam riddah adalah seseorang berniat untuk kufur, atau meyakini bahwa alam semesta ada tanpa permulaan, atau mencela Nabi atau salah satu Malaikat, atau mengatakan “Yahudi lebih baik daripada kaum muslimin”. Orang yang terjerumus dalam salah satu perkara tersebut, maka kufurlah ia dan gugurlah keislamannya. Dia harus diminta bertaubat seketika itu juga. Jika dia bertaubat dan masuk Islam kembali dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, mengakui apa yang ia ingkari dan berlepas diri dari apa yang ia yakini atau ia ucapkan, maka diterimalah keislamannya”.

Baca juga : Aral Gendala para Ulama dalam Belajar

Syaikh Abdul Basith al-Fakhuriy wafat pada sore hari Jum’at tanggal 2 Shafar 1323 H bertepatan dengan 1905 R. Hari meninggalnya merupakan hari berkabung bagi kaum muslimin di Beirut. Kesedihan mendalam atas meninggalnya salah ulama’ pewaris Nabi. Surat kabar banyak dipenuhi ungkapan turut berduka cita. Sementara itu, langit Beirut bergema oleh para muadzin yang mengumumkan kepergian sang mufti. Benar lah apa yang dikatakan bahwa “Dunia menjadi gelap-gulita sebab wafatnya ulama”.

Syaikh Abdul Bashit al-Fakhuriy dimakamkan di kompleks pemakaman Bachoura, tidak jauh dari Downtown, kota tua Beirut. Makam beliau berada di tengah ratusan maqam kaum muslimin tanpa ada bangunan khusus di atasnya, sehingga tidak mudah untuk menemukannya. Kami pun bertanya kepada salah seorang penjaga pemakaman
Ain qabr syeikh Abdul Bashit al-Fakhuri?” (Di mana maqam Syeikh Abdul Bashit al-Fakhuri?)
Mufti Beirut? owh, hunaka qabr akhdlar fih imamah khadlra’. Enta thullab syari’ah? (Mufti Beirut? Oh, di sebelah sana, maqam yang berwarna hijau dan ada sorban hijau di makamnya. Kalian mahasiswa syari’ah kan?)
Na’am. Syukran ya sayyidi” (Benar. Terimakasih, tuan)
“Ala raasi. Allah yanfa’ bikum al-Muslimiin” (sama-sama. Semoga Allah menjadikan kalian bermanfaat bagi kaum muslimin)
“Aamiin”
Dan benar saja, maqam Syeikh dicat berwarna hijau, dan di sebelah kepala dibuatkan replika sorban hijau sebagai tanda kebesaran ilmu beliau.

Untuk menghargai peran dan jasa besar beliau terhadap kaum muslimin di Lebanon, salah satu jalan di Beirut diberi nama sesuai nama beliau yakni Jalan Syaikh ‘Abdul Basith al-Fakhuriy. Jalan yang terletak di kompleks Darul Fatwa ini menghubungkan antara Jalan Imam Asy-Syafi’i dan Jalan Ar-Rasyidin.