Menggugat Komersialisasi Pendidikan Indonesia: Pendidikan Murah? Kenapa Tidak!

Pada hakikatnya pendidikan adalah hak dasar bagi setiap warga negara Indonesia untuk dapat menikmatinya. Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh manusia agar dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran.

Keberadaan pendidikan yang sangat penting tersebut telah diakui dan sekaligus memiliki legalitas yang sangat kuat sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 31 (1) yang menyebutkan bahwa: ”Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Kata “setiap” dalam pasal tersebut menyatakan keseluruhan dari sesuatu, atau dalam hal ini merujuk pada istilah seluruh warga negara, umumnya Warga Negara Indonesia, bukan hanya sebagian atau beberapa elemen warga negara saja.

Dalam kaitannya dengan dunia Pendidikan tinggi, tentu saja hal itu juga sejalan dengan apa yang tertulis dalam pasal 6 (b) UU No 12 tahun 2012 (UU Pendidikan Tinggi) bahwa pendidikan tinggi dilandasi dengan prinsip demokratis dan tidak diskriminatif, tentu saja kaitannya dengan setiap insan yang berhak memperoleh dan mengenyam pendidikan tinggi tersebut.

Pendidikan sangat berperan penting dalam memajukan dan mengembangkan kehidupan bangsa. Komitmen bangsa Indonesia untuk memperjuangkan pendidikan tertuang pada tujuan negara (Alinea IV pembukaan UUD 1945) yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Segala bentuk kebijakan yang diambil pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa harus ditinjau untuk mencapai suatu harapan serta tujuan pendidikan nasional. Peran negara dalam mewujudkan amanat konstitusi juga dituntut lebih dalam. Sebab untuk membangun sebuah negara yang baik tentu saja yang harus dibangun adalah pondasinya. Dan pondasi yang seharusnya diperkuat adalah mengenai pendidikan, dan setiap warga negara dituntut untuk menjadi masyarakat yang memiliki intelektualitas.

Hanya saja amanat 20% dana APBN untuk pendidikan sesuai konstitusi tidak terlaksana dengan baik. Sebab 20% tersebut juga harus terbagi-bagi seperti halnya dibagi untuk Kemendikbud dan Kemenristekdikti. Selain itu kementerian lain seperti Kementerian Keuangan (STAN), Kementerian Agama (Madrasah) dan kementerian-kementerian lainnya juga memakai dana pendidikan tersebut guna keperluan pendidikan di bawah kementerian yang bersangkutan. Sehingga 20% dana Pendidikan yang diamanatkan Undang-Undang tidak maksimal dalam penggunanaannya. Tercatat dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018 Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berada di posisi 7 dan 8 dengan penganggaran sebesar Rp 41.3 T dan Rp 40.1 T. Jauh di bawah Kementerian Pertahanan (Rp 107.7 T) di peringkat pertama dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di posisi dua dengan Rp 107.4 T.

Disini terlihat jelas bahwasanya pendidikan di negeri ini kurang menjadi prioritas utama. Sehingga negara seakan lepas tangan dalam menjamin setiap warganya untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Padahal modal bagi suatu bangsa untuk maju dan bersaing dalam kompetisi global bukan hanya sebatas pada mewahnya infrastruktur maupun lengkapnya persenjataan tempur suatu negara, tetapi modal terpenting yaitu adalah saat seluruh warga negaranya memiliki kecerdasan intelektual.

Dapat dilihat negara-negara maju di dunia yang memprioritaskan pendidikan sebagai yang utama dalam skala prioritas penggunaan dana negaranya. Sehingga tidak heran bilamana pendidikan di negara mereka dari bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi gratis alias tanpa perlu mengeluarkan biaya sepeserpun. Sebut saja negara seperti Finlandia, Jerman, Islandia, Swedia, Slovenia, Norwegia, Kuba dan lain sebagainya.

Kebanyakan dari negara mereka merupakan negara maju, apakah mereka adalah negara yang kaya? Tentu saja tidak semua. Kuba sebagai contoh, dimana Kuba juga masuk dalam status negara berkembang seperti hal nya Indonesia. Namun Kuba mampu menggratiskan seluruh biaya pendidikanya, terutama setelah terjadinya Revolusi Kuba di bawah Fidel Castro.

Castro meyakini bahwasanya pendidikan merupakan alat pembangunan manusia: setiap orang bisa mendapatkan segala hal yang diperlukan untuk mengembangkan dirinya, dan pendidikan merupakan salah satu kunci untuk pembangunan manusia, selain pangan, sandang, perumahan dan kesehatan.

Fidel Castro sadar betul, pendidikan adalah jalan untuk kemerdekaan dan kemajuan manusia. Usahanya sangat berhasil, kendati diembargo oleh AS selama setengah abad, pendidikan Kuba tetap melesat maju. Malahan, prestasi Kuba di bidang pendidikan mendapat pengakuan dunia internasional.

Prestasinya yang utama yaitu memerangi buta huruf selama 2 tahun (1959-1961). Di awal setelah Revolusi Kuba tercatat angka melek huruf di Kuba hanya di bawah 60%, 2 tahun kemudian dengan Gerakan Tahun Pendidikanya, angka melek huruf di Kuba mencapai 97%. Dan setelah itu, Kuba memproklamirkan dirinya sebagai negara yang bebas buta huruf. Prestasi kedua yaitu bahwasanya pendidikan di Kuba untuk semua kalangan tanpa terkecuali, sebab Kuba menggratiskan biaya pendidikanya.

Apakah mungkin? Lalu apa strateginya?

Strateginya yaitu Kuba menasionalisasi aset dan tidak melemparkan pendidikan dalam sistem pasar, kemudian ketiga penggunaan dana negara yang difokuskan untuk Pendidikan. Sejak revolusi hingga sekarang, belanja pendidikan tidak pernah rendah. Negara ini membelanjakan 13 persen Produk Domestik Bruto (PDB)-nya untuk memajukan sektor pendidikannya. Bahkan, ketika negeri ini dihantam krisis berat pasca runtuhnya Uni Soviet, Fidel Castro memilih memangkas belanja militer ketimbang pendidikan. Anggaran pendidikan tidak diutak-atik.

Sekedar perbandingan, AS hanya membelanjakan 5,4 persen PDB-nya untuk pendidikan. Kemudian Kanada 5,5 persen, Perancis 5,9 persen, dan Inggris 6,2 persen. Sedangkan negara-negara Skandinavia, yang menjadi kiblat kemajuan pendidikan, rata-rata membelanjakan 8,7 persen PDB-nya untuk pendidikan.

Lalu pertanyaannya apakah Indonesia mampu seperti Kuba dengan luas wilayah yang besar dan populasi yang tinggi? Penulis katakan sangat mampu, asalkan negara mampu menentukan prioritas utamanya demi pembangunan manusia. Bukan hanya sekedar pembangunan fisik saja, melainkan melakukan kebijakan-kebijakan yang tepat dan strategis seperti halnya di Kuba untuk melakukan nasionalisasi asst dan praktek-praktek serta budaya korupsi dapat dihilangkan.

Negara tidak boleh lepas tangan dalam urusan pendidikan, apalagi sampai melemparkanya dalam sistem pasar yang mana saat ini banyak instansi berlomba-lomba memperoleh profit dengan menjual jasa pendidikanya. Pendidikan seakan sebagai komoditi yang diperjualbelikan, pembangunan-pembangunan sebagai asetnya dan siswa atau mahasiswa sebagai konsumen.

Maka jangan heran apabila insan terdidik bangsa tumbuh menjadi generasi yang korup. Sebab saat mereka sudah menjabat sebagai pejabat atau memiliki kedudukan, yang mereka pikirkan adalah cara untuk mengembalikan “modal” pendidikanya yang sangat mahal, sehingga munculah perilaku-perilaku korup tersebut.

Dan jangan heran pula bila penulis dapat mengatakan bahwa sekolah atau kampus merupakan tempat utama penghasil koruptor. Seharusnya pendidikan dapat digratiskan. Minimal murah sehingga dapat diakses oleh seluruh rakyat tanpa diskriminasi. Karena saat ini seakan-akan hanya yang kaya dan yang memiliki uang sajalah yang dapat mengenyam pendidikan tinggi.

Setelah 20 tahun Reformasi di Indonesia, apa sajakah permasalahan pendidikan yang masih melekat, terkhusus di kampus konservasi Universitas Negeri Semarang?

Uang Kuliah Tunggal

Tahun 2012 menjadi babak baru wajah pendidikan Indonesia dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Undang-Undang yang lahir dari kegalalan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Salah satu produk baru UU Dikti ini yakni pembayaran biaya kuliah melalui sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT). Melalui surat edaran DIKTI Nomor 97/E/KU/2013 perihal Uang Kuliah Tunggal, mulai angkatan 2013 mahasiswa menggunakan sistem pembayaran UKT bukan lagi menggunakan sistem pembayaran Sumbangan Pembayaran Pendidikan (SPP).

Pada pasal 76 ayat 3 dan pasal 85 ayat 2 UU Dikti diterangkan bahwa Perguruan Tinggi atau penyelenggara Perguruan Tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung oleh Mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak yang membiayainya. Karena UKT mengaju pada kondisi perekonomian yang artinya fluktuatif, maka konsekuensi logisnya adalah UKT dapat berubah pula sesuai kondisi kemampuan perekonomian.

Kemudian untuk menindaklanjuti hal tersebut maka lahirlah Peraturan Menteri nomor 55 tahun 2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Kemudian disusul dengan terbitnya surat yang dikeluarkan oleh Dirjen Dikti Nomor: 305/E/T/2012 tentang tarif uang kuliah dan surat nomor: 488/E/T/2012 tentang tarif uang kuliah tunggal yang meminta perguruan tinggi untuk:

1. Menghapus uang pangkal mahasiswa baru program S1 Reguler mulai tahun akademik 2013/2014.

2. Menetapkan dan melaksanakan Tarif Uang Kuliah Tunggal bagi mahasiswa baru program S1 Reguler mulai tahun akademik 2013/2014.

Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) merupakan suatu upaya untuk mewujudkan biaya kuliah yang “murah” di seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Dengan sistem ini, mahasiswa sudah tidak akan dikenakan biaya gedung, praktikum, uang SKS, uang wisuda, Uang Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau biaya tambahan lainnya karena sudah dikumpulkan menjadi satu dalam UKT. Alasan diberlakukannya UKT menurut Undang-undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi adalah sebagai berikut:

1. Biaya SPMA atau Uang Pangkal yang selama itu berlaku dirasa memberatkan calon mahasiswa

2. Biaya operaional yang selama ini dibutuhkan oleh PTN dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar dirasa tinggi sehingga “dibebankan” ke calon mahasiswa

3. Selain adanya uang pangkal, pada setiap semesternya mahasiswa diharuskan membayarkan biaya diluar SPP untuk biaya operasional pendidikan

4. Terbatasnya kesempatan belajar di PTN bagi calon mahasiswa dari golongan kurang mampu dan menengah dikarenakan tingginya biaya pendidikan.

Pemberlakuan UKT mulai tahun 2013 hingga sekarang menuai berbagai macam kritikan. Komponen UKT yang berasal dari Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang dituangkan dalam unit cost disusun berdasarkan besaran kebutuhan perkuliahan mahasiswa dari semester 1 hingga semester 8. Walaupun pembagian 8 semester ini tidak tercantum dalam aturan, pembagian ini merupakan perhitungan dari rata-rata 144 total minimal SKS yang harus ditempuh mahasiswa untuk memperoleh sarjana. Setiap SKS-nya disusun dalam rentang semester 1 hingga semester 8.

Ketidakjelasan penyusunan komponen biaya kuliah berdampak salah satunya mengenai pembayaran UKT di atas semester 8 bagi program sarjana dan di atas semester 6 bagi program diploma. Padahal dijelaskan di dalam UU Pendidikan Tinggi bahwasanya masa studi untuk program sarjana selama 14 semester dan 10 semester untuk program Diploma.

Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian bahwasanya mahasiswa tingkat akhir yang biasanya tinggal menyelesaikan tugas akhir seharusnya mendapat pemotongan biaya UKT yang dibayarkan. Sebab fasilitas maupun intensitas yang didapatkan berbeda dengan mahasiswa yang masih aktif menempuh SKS perkuliahan. Kampus harus bijak menyoroti permasalahan ini.

Kemudian kurang tepatnya penggolongan UKT yang dikenakan pada banyak mahasiswa yang masuk, dengan penghitungan jumlah UKT berdasarkan sistem, maka hal yang dianggap tidak wajar oleh sistem langsung dikenakan UKT tertinggi.

Semisal A merupakan anak seorang petani penggarap lahan yang hendak berkuliah di UNNES, penghasilan orang tua hasil garapan di sawah hanya Rp 500.000,-/bulan itu pun harus dibagi dengan 4 orang anggota keluarga lainya, saat pegisian data pokok, A mengisi sesuai dengan kondisi ekonomi keluarganya, tetapi sistem membaca dan menganggap bahwasanya data yang dimasukan tidak masuk akal (apakah mungkin uang Rp 500.000 dipakai untuk 4 orang dalam sebulan? Padahal hal tersebut benar adanya dan banyak dijumpai di UNNES tentunya.

Kemudian si A mendapat “penalty” dan dikenakan UKT golongan tertinggi, atau contoh lain yaitu B yang merupakan anak yatim ingin berkuliah di UNNES tetapi B harus meninggalkan mimpinya jauh-jauh sebab tidak mungkin ibunya yang hanya seorang buruh bulu mata harus membayar UKT sejumlah Rp 6 juta, terlebih ia masih memiliki 2 orang adik yang juga masih bersekolah.

Hal ini tentu saja menjadi hal yang memprihatinkan mengingat tidak mungkin seorang anak petani atau buruh berpenghasilan rendah harus membayar UKT dengan golongan tertinggi. Dan yang lebih menjengkelkan adalah jawaban dari birokrasi yang seakan tidak peduli dengan hal itu, “jika ingin kuliah ya bayar, masih banyak yang antri buat masuk UNNES”, atau “nanti kan bisa banding” (padahal dalam Peraturan Rektor UNNES dijelaskan bahwa banding hanya dapat dilakukan setelah menempuh minimal 1 semester, dan itu pun tidak ada jaminan untuk turun, atau jika turun nominal nya tidak banyak). Tentu saja hal ini memberatkan bagi mahasiswa miskin yang memiliki mimpi tinggi untuk meraih sukses dengan cara berpendidikan tinggi.

Tidak semua anak miskin dapat seberuntung Raeni yang mampu mendapat beasiswa hingga kuliah setinggi mungkin, kecuali jika kampus memberikan jaminan bagi seluruh orang miskin dapat berkuliah dengan gratis atau murah minimal. Selain itu masih dijumpainya pungutan-pungutan lain di luar UKT, misalnya saat wisuda masih ditarik uang iuran, atau penarikan uang praktikum di beberapa program studi, serta yang terbaru adalah dikeluarkanya biaya untuk Kuliah Kerja Nyata (KKN), padahal awal mula diberlakukanya UKT adalah agar sistem pembayaran tunggal artinya tidak ada pungutan lagi diluar UKT.

Jika begini adanya dimanakah letak ketunggalan UKT? Dan untuk apa dinamakan Uang Kuliah Tunggal bila masih banyak pungutan lain diluar UKT tersebut? Belum lagi adanya bentuk komersialisasi-komersialisasi yang dilakukan oleh pihak kampus seperti penarikan biaya untuk penggunaan lapangan atletik ataupun biaya penyewaan beberapa ruangan/Gedung tempat di UNNES.

Teori indah UKT tidaklah berbanding lurus dilapangan, saat ini pendidikan tinggi dihadapkan pada permasalahan yang benar-benar serius. Mungkin Pemerintah dan para rektor di seluruh Indonesia menganggap ini hanya masalah biasa, akan tetapi bagi mahasiswa ini adalah masalah yang menyangkut impian dan masa depannya bila tidak segera diselesaikan.

Uang Pangkal

Sejak tahun Tahun 2015 lalu, UU DIKTI beserta turunannya (Peraturan Menteri) mengenai UKT lagi-lagi menimbulkan persoalan bagi calon mahasiswa baru atau mahasiswa umumnya. Sistem pembayaran uang kuliah tunggal yang melarang pungutan lain terhadap mahasiswa diploma atau sarjana hanya menjadi isapan jempol belaka.

Di dalam pasal 8 (Permenristekdikti) No. 22 Tahun 2015 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tiniggi Negeri menjelaskan;
PTN dilarang memungut uang pangkal dan atau selain UKT kepada mahasiswa baru program sarjana dan diploma”. Tapi kebijakan ini memang tidak konsisten. Sebab di dalam pasal 9 ayat 1 memberikan legitimasi bagi perguruan tinggi untuk melakukan pungutan uang angkal atau sejenisnya kepada mahasiswa baik program diploma maupun sarjana. “PTN dapat memungut uang pangkal dan atau pungutan lain selain UKT, dari mahasiswa baru program sarjana dan program diploma yang terdiri atas; mahasiswa asing, mahasiswa klas internasional, mahasiswa jalur kerjasama dan mahasiswa melalui seleksi jalur mandiri”.

Maka secara terang-terangan pemerintah melalui (Permenristekdikti) No. 39 Tahun 2017 saat ini “menyelipkan” pasal-pasal untuk melegitimasi kampus memugut biaya pendidikan selain UKT. Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017 telah memasang standart gandanya. Seolah-olah UKT menjadi jaminan atas biaya pendidikan yang murah dan terjangkau bagi seluruh mahasiswa baru dan terbebaskan dari pungutan liar. Tapi kenyataannya perguruan tinggi juga masih diperbolehkan memungut biaya lain selain UKT.

Maka disini jelas-jelas bahwa UKT selama ini tidak akan pernah menjamin biaya pendidikan tinggi yang murah bagi masyarakat. Karena sejak UKT diamanatkan di dalam pasal 88 UU DIKTI untuk dijalankan, telah menuai berbagai protes.

Mahasiswa menganggap bahwa UKT yang merujuk pada inflasi dan indeks kemahalan wilayah, hanya akan mendorong kenaikan biaya pendidikan tinggi setiap tahunnya. Sementara BOPTN hanya menjadi pendukung untuk pendanaan PTN. Selebinya, kampus disuruh untuk mencari dana operasional baik dari mahasiswa, orang tua mahasiswa, korporasi, asing hingga utang.

Selain itu terdapat kenaikan jumlah yang mana pemungutan dapat dilakukan tidak lebih dari 20% (2015) tetapi di Permenristekdikti No 39 tahun 2017 kini mencapai 30%, belum lagi mahasiswa jalur SNMPTN maupun SBMPTN yang mundur karena tidak sanggup membayar UKT (seperti penulis gambarkan diatas). Tentu saja kuota yang tidak sedikit itu dialihkan pada peminat di jalur Seleksi Mandiri. Sebab kampus tentu saja tidak mau rugi kehilangan pundi-pundi keuntungan. Jika itu dibuka transparansi nya, jangan kaget jika terdapat lebih dari 30% sesuai Permenristekdikti No 39 tahun 2017.

Padahal dengan adanya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dimulai pada tahun 2013 dengan dikeluarkan surat oleh Dirjen Dikti Nomor: 305/E/T/2012 tentang tarif uang kuliah dan surat nomor: 488/E/T/2012 tentang tarif uang kuliah tunggal yang meminta perguruan tinggi untuk menghapus uang pangkal mahasiswa baru diharapkan pembiayaan kuliah lebih murah dan tidak ada pungutan lain.

Namun di tahun 2016 misalnya, di UNNES disisipi uang pangkal dengan istilah “infaq”, kemudian di tahun 2017 dengan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) yang walaupun namanya sumbangan tetapi dalam pelaksanaanya calon mahasiswa baru diarahkan pada nominal-nominal uang tertentu, yang tentu saja tidak sedikit.

Lalu bagaimana dengan yang tidak mampu?

Tentu saja tidak akan mendapat kursi, padahal jika yang namanya sumbangan harusnya berdasarkan kemampuan calon mahasiswa baru dan tidak ada patokan. Jika dipatok tentu saja namanya bukan sumbangan, tetapi pungutan.

Berlanjut di tahun 2018 ini secara terang-terangan Uang Pangkal muncul dalam data pokok mahasiswa baru jalur Seleksi Mandiri (SM) dengan nominal yang telah ditentukan pula. Dan tak tanggung-tanggung jumlahnya mencapai hampir 40 juta, belum lagi ditambah dengan UKT mahasiswa jalur mandiri yang mayoritas mendapat golongan tinggi.

Kemudian kembali ke pertanyaan yang sama, bagaimana nasib anak petani, buruh kasar, pekerja serabutan dan orang miskin lainya yang sebenarnya secara akademis mampu bersaing masuk dalam seleksi namun terkendala oleh tingginya biaya yang dikeluarkan? Kemungkinan birokrasi akan menjawab dengan “beasiswa” atau “ada keringanan”. Tetapi apakah itu menjamin bahwa semua orang miskin yang tidak mampu membayar mendapatkan bantuan seperti itu?

Terlebih seharusnya di pasal 8 point (2) dinyatakan bahwa pungutan itu harus berdasarkan kemampuan ekonomi keluarga maupun orang lain membiayainya, jika dalam sistem sudah dipatok nominal tentu saja itu menyalahi dan apakah itu bentuk penghormatan kepada orang miskin? Tentu saja tidak.

Jika kata-kata “sesuai kemampuan ekonomi” tentu saja jika si miskin hanya memiliki uang Rp 50.000,- kampus harus menerima sebab segitulah kemampuan ekonomi dari si miskin tersebut. Terlebih si miskin tersebut telah menunaikan tantangan pertamanya untuk lolos di jalur seleksi mengalahkan ribuan orang lainnya.

Jika mengacu pada perkataan rektor UNNES di laman unnes.ac.id pada hari Jumat tanggal 25 Mei 2015 yang menyatakan bahwa “Orang miskin harus kuliah”, tentu saja kasus-kasus yang tertulis diatas tidak perlu terjadi. Sebab, tentu merupakan hal yang berlawanan dengan yang dikatakan. Rektor dan kampus dituntut untuk konsisten menegakan UNNES sebagai kampus rakyat yang menjamin setiap orang baik kaya maupun miskin untuk dapat berkuliah tanpa diskriminasi.

Dapat dikatakan bahwasanya pendidikan di Indonesia telah jauh dari nilai yang dicita-citakan founding father kita. Cengkeraman neo-liberalisasi di dunia pendidikan tinggi tentu menjadi ancaman bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berbagai dalih untuk meningkatkan askes masyarakat atas pendidikan tinggi, hanya menjadi kebohongan belaka dari pemerintah. Program pemerintah yang menekankan aspek pendidikan tinggi hingga sampai membentuk 2 kementerian, terbukti tidak mampu menyelamatkan pendidikan tinggi dari cengkraman neo-liberalisasi. Sebaliknya, secara masif pendidikan tinggi semakin mengalami komersialisasi, liberalisasi dan privatisasi di Indonesia.

Pendidikan tinggi di Indonesia semakin dioerientasikan untuk menjadi barang dagangan ibaratnya komoditas yang bertujuan untuk meraup keuntungan. Tentu orientasi pendidikan saat ini telah bertentangan dengan sifat dasar penyelenggaraan pendidikan yakni Nirlaba.

Oleh sebab itu perlu ada nya solidaritas bersama dari seluruh elemen bangsa untuk memerangi ini. Pendidikan bukan komoditi atau barang jualan, pemerintah dan kampus harus menjamin setiap warga negaranya tanpa terkecuali untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin.

Seperti yang penulis sampaikan di bab awal bahwa Indonesia harus menyusun ulang prioritas nya dan melakukan kebijakan-kebijakan yang tepat, bukan hanya pembangunan fisik tetapi pembangunan manusia yang harus lebih ditekankan.

Jika memang 20 tahun Reformasi saat ini belum terjadi perubahan sama sekali dalam dunia pendidikan, mungkin Revolusi memang perlu dikobarkan seperti halnya Kuba yang berhasil dengan Fidel Castro-nya yang juga melakukan nasionalisasi aset agar pendidikan tidak dilempar pada sistem pasar. Bukan hanya revolusi mental seperti yang dicanangkan rezim saat ini, tetapi revolusi untuk menata ulang kembali sistem dan tatanan yang telah buruk dan kini saatnya kita sebagai pemuda yang bergerak mewujudkan itu. Di akhir kalimat penulis ingin menyampaikan bahwa pendidikan merupakan hak seluruh rakyat, pendidikan bukan barang jualan.

Mari bergeraklah mahasiswa !!!