Mengulik Peristiwa Isra’ Mi’raj

Suarr.id–Isra’ bukanlah peristiwa yang sederhana. Suatu perjalanan yang ditempuh Rasulullah Saw. dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Meninggalkan kedua paman beliau, Hamzah dan Jakfar, yang tadinya tidur di sisi kanan-kiri beliau. Dalam perjalanan tersebut beliau menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. yang paling besar. Suatu peristiwa yang tak mungkin terjadi pada waktu itu, menyaksikan bumi secara jelas atau bahkan lebih dari itu. Sementara manusia pada malam itu terlelap dibuai kembang tidur. Dalam catatan sejarah, peristiwa ini terjadi pada 27 Rajab 612 M, enam belas bulan sebelum hijrah.

Shollaita ya Muhammad bi jam’il mursalina, kunta fihim imaama wa kaanuu muqtadiina

Isra’ telah mempertautkan antara Makkah dan al-Quds, Baitul Haram dan Baitul Aqsha. Selain itu, Isra’ adalah bukti keuniversalan risalah Rasulullah Saw. yang sesuai dalam berbagai ruang dan waktu sekaligus menunjukkan bahwa umat manusia adalah umat yang satu. Di mana Rasulullah Saw. menjadi imam sedang para nabi ‘alaihimus salam shalat di belakang beliau. Di situlah ada keterkaitan sejarah dan titik temu antara Islam yang dibawa Rasulullah dengan agama monoteisme Ibrahim serta menjadi bukti bahwa Islam adalah agama yang pluralis.

Allah mengakhirkan wujud kauniy Rasulullah Saw. tetapi mendahulukan wujud maknawi beliau. Secara lahiriah Rasulullah Saw. adalah nabi terakhir, tetapi secara maknawi beliau adalah yang paling awal. “Aku adalah nabi yang paling awal penciptaannya dan paling akhir pengutusannya,” begitulah riwayat Abu Hurairah. Lalu dari Masjidil Aqsa menuju Qaba Qausain aw adna, kedekatan yang dikehendaki Allah Swt., Sidratul Muntaha.

Mi’raj, suatu perjalanan samawi ruh serta jasad Rasulullah Saw. menuju puncak keluhuran. Melebihi kedekatan Jibril dengan Allah Swt. Sesampainya di Sidratul Muntaha, Jibril berhenti-setelah menemani Rasulullah Saw. sepanjang perjalanan Makkah-langit ketujuh- dan mempersilakan Rasulullah Saw. melangkah sendirian. “Engkau, wahai Rasulullah, jika engkau melangkah maka engkau akan menembusnya, sedangkan aku, jika aku melangkah maka aku akan terbakar.”

Isra’ Mi’raj adalah suatu jamuan istimewa dari Allah Swt. untuk Rasulullah, kekasih-Nya sebagai penghibur dari apa yang telah beliau alami. Dari wafatnya paman tercinta, Abu Thalib, kemudian tak berselang lama dari itu, disusul istri terkasih, Sayyidah Khadijah hingga terusirnya beliau dari Thaif. Betapa terpukulnya Rasulullah Saw. kehilangan dua sosok penopang yang selalu membela beliau dalam berdakwah, sementara penolakan kaum Quraisy maupun selain Quraisy semakin gencar dihadapkan kepada beliau.

Tetapi semua kesedihan itu sudah dibayar tuntas dengan Isra’ dari Makkah ke al-Quds lalu dari al-Quds menuju Sidratul Muntaha bersua dengan Allah Swt.

Tak ada satu pun di antara para nabi yang melakukan perjalanan nun jauh kemudian naik ke langit hingga mencapai Sidratul Muntaha, bahkan melebihinya, lalu kembali ke bumi, pada malam itu juga, untuk melanjutkan dan menyempurnakan hidupnya kecuali Rasulullah Saw.

Yaa Rabb, asri biquluubinaa ilaa kulli khair wa a’rij bi-umniyyaatinaa ilaa saabi’i samaa-in

Arimbi, 27 Rajab 1441 H/22 Maret 2020