Pemahaman tentang suatu kalimat sangat diperlukan agar isi dari kalimat mampu dicerna dengan baik sesuai dengan tujuan penggunaan kalimat tersebut. Susunan kata perkata hingga arti yang terkandung di dalamnya memiliki arti dan maksud tersendiri. Kurangnya pengetahuan akan berdampak pada sempitnya cara pandang seseorang terhadap sesuatu, yang akhirnya membuat pola pikir orang tersebut menjadi kaku dan hitam-putih, harus begini tak boleh seperti itu.
Berbicara mengenai susunan kata, akhir-akhir ini terdapat pembahasan yang menghangat di masyarakat terutama di dunia maya mengenai istilah Islam Nusantara. Sebelum kita mempelajari lebih lanjut tentang apa itu Islam Nusantara, alangkah lebih baik bila kita memahami terlabih dahulu mengenai arti dari susanan kata Islam Nusantara.
Islam Nusantara tersusun dari dua kata, Islam dan Nusantara. Dalam literatur bahasa Arab (sesuai koidah nahwu sharaf) terdapat kaidah yang menjelaskan bahwa ketika terdapat dua lafadz berbeda makna yang saling memiliki keterkaitan (tarkib idlafi) untuk menunjukkan arti kata lain, maka menyimpan atau mengira-ngirakan tiga makna: adakalanya mengira-ngirakan lam lil milki, huruf jer fii, atau mengira-ngirakan makna min.
Menurut hemat saya, kaidah yang terdapat pada literatur bahasa Arab juga searah dengan literatur dalam Bahasa Indonesia. Seperti yang telah saya singgung di atas bahwa literatur Bahasa Indonesia pun juga berkaitan dengan istilah yang dalam bahasa arabnya disebut tarkib idhafi, meskipun dalam kenyataannya pada pelajaran bahasa Indonesia tak ada rumus baku yang menjelaskan mengenai permasalahan tersebut.
Disini saya akan membahas kata Islam Nusantara serta membahas satu demi satu makna yang tersimpan dalam susunan kata Islam dan kata Nusantara sesuai kaidah yang ada, yang selanjutnya akan saya perjelas juga mengenai makna yang terkandung di dalamnya.
Pertama, menyimpan makna lam lil milki (berfaidah kepemilikan), pada kata kaos kaki berati kaos penutup yang digunakan untuk kaki hanya dimiliki (ditujukam) untuk kaki, bukan untuk tangan atau anggota tubuh lainnya. Kemudian bila dalam kata Islam Nusantara dikira-kirakan makna lam lil milki maka maknanya kurang lebih seperti ini “Islam yang dimiliki oleh Nusantara”. Saya rasa bila menggunakan pengira-ngiraan makna lam lil milki maka akan terjadi kesalah kaprahan, karena kita ketahui bersama bahwa Islam tak dimiliki atau hanya ada di Nusantara karena Islam bukan agama yang hanya dimiliki oleh daerah tertentu.
Kedua, menyimpan makna fii (di, di dalam) bila saya mengatakan air gelas maka bermakna air yang berada di dalam atau air yang ada di gelas, tanpa menafikan air-air lain yang berada diluar gelas. Lalu kata Islam Nusantara bila dikira-kirakan menyimpan makna fii maka kurang lebih bermakna “Islam yang ada di Nusantara” yang berarti islam yang berada di Nusantara yang tanpa menafikan Islam yang berada di negara-negara lain di luar Nusantara.
Ketiga, menyimpan makna min (dari), contoh pada kata bangun tidur, berarti bangun dari tidur. Kemudian bila kita arahkan penggunaannya pada kata Islam Nusantara maka akan berarti “Islam dari Nusantara”. Bila memang istilah Islam Nusantara menggunakan penyimpanan makna min didalamnya maka akan terjadi makna yang fasid (rusak) karena kita tahu bahwa Islam bukan berasal dari Nusantara melainkan berasal dari kawasan Arab, meskipun apapun yang berasal dari Arab tak melulu berbau Islam.
Dari ketiga uraian di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa nomor dualah yang dirasa paling tepat (menyimpan makna fii) yang berarti Islam yang berada di Nusantara, Islam yang memang berbaur di daerah Nusantara sesuai dengan budaya masyarakat pribumi. Bukan berarti Islam yang berada di Nusantara dianggap berbeda dengan islam yang berada di daerah Arab, Islamnya sama, tata cara ibadahnya sama tetapi cara menunjukkan keislamannya saja yang berbeda. Bila di Arab ketika sholat menggunakan jubah atau gamis sedangkan di Nusantara menggunakan sarung berpeci hitam.
Lalu apakah sholatnya masyarakat Indonesia dengan pakaian seperti itu tidak sah? Sah-sah saja tentunya, karena semua orang bebas mengekspresikan keislamannya sesuai budaya masing-masing selama tidak melanggar aturan syariat maka tak ada yang melarang. Karena pada prinsipnya orang Jawa mengatakan kami adalah orang Jawa yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan hidup di Jawa.