Mujadalah dalam Demokrasi, Demokrasi dalam Mujadalah

Beberapa hari ini, publik digemparkan dengan perdebatan pada salah satu talk show politik mainstream Indonesia. Mata publik menghujami seorang politisi, yang juga seorang anggota dewan, bernama Arteria Dahlan. Politisi PDI-P ini menuai banyak kecaman, sebab sikap dan tindak-tanduknya saat berdebat dinilai amat tidak pantas.

Najwa Shihab—tuan rumah talk show politik tersebut—pun tanpa tadheng aling-aling menampakan kejengkelannya pada Arteria. Bahkan beberapa kali ia sempat melemparkan beberapa pernyataan menohok. Skak mat! kata netizen.

Perdebatan atau mujadalah pada alam demokrasi adalah sebuah keharusan, tanpa perdebatan pencernaan demokrasi akan bermasalah dan berakhir mandul sebagai produsen kebijakan yang berpijak pada kesamaan dan kesetaraan.  Demokrasi bersinonim dengan perdebatan publik, karena tanpa perdebatan artinya adalah berkuasanya pikiran dan wacana tertentu. Dominasi versi pikiran vis a vis dengan demokrasi, dan justru merupakan watak totalitarianisme.

Perdebatan menyiratkan semangat kesamaan dan kesetaraan, keduanya merupakan basis filosofis yang menjadi justifikasi bagi demokrasi. Masyarakat tribal tak mampu memahami demokrasi, sebab paham kesamaan dan kesetaraan tak dikenali. Potensi terbendaharakannya konsep tersebut disumbat oleh kelas superior. Akhirnya, perdebatan adalah mesin penggerak bagi demokrasi, ia adalah syarat—sekaligus bukti—tak adanya superioritas dan otoritas monolog tentang “apa yang benar atau bagaimana seharusnya” dalam proses terbentuknya kebijakan publik.

Mujadalah dalam Sejarah

Terlepas dari demokrasi sebagai perdebatan publik, mujadalah telah terjadi sepanjang sejarah—atau mungkin sejak zaman pra-sejarah ketika manusia berjumpa dengan revolusi kognitifnya. Kita tentu familiar dengan tradisi berdebat para filsuf—dan sofis—Yunani, baik masa phusikoi, sophisme, platonisme, aristotelianisme maupun sampai ketika khazanah pemikiran Yunani mengalami keredupan sebab perang dan politik spartanisme.

Setelah kuasa pemikiran dunia beralih ke pihak kekhalifahan Islam pada era pertengahan—atau sering disebut Islamic Golden Age— mujadalah menjadi tradisi intelektual yang secara bebas berlangsung tanpa adanya hambatan dan tekanan dari penguasa politik. Para khalifah kala itu, cenderung menggemari perdebatan. Ketika muncul pemikir baru yang mulai tampak moncer, kekuasaan berusaha untuk mengujinya. Dipaksa memeras isi pikiran membahas sebuah mosi dengan diadukan melawan tim cendekiawan istana.

Salah satu mujadalah masyhur yang terkemas apik dan rapi dalam sejarah adalah perdebatan antara Abu Hamid Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd Al-Andalusy. Lewat bukunya Tahāfutul Falāsifah, Al-Ghazali melakukan kritik keras dengan tensi ejek tinggi terhadap para filsuf, yang baginya terlampau mengagungkan rasionalitas-spekulatif untuk mendekati babagan yang sebetulnya transendental—disaat bersamaan menolak sepenuhnya esoterisme.

Tak kalah bernas dan lugas, Ibnu Rusyd menjungkirbalikkan kritik dan klaim Al-Ghazali lewat buku yang berjudul tidak kurang mendongkolkan, yakni Tahāfutut Tahāfut yang berarti kerancuan di atas kerancuan. Argumentasi Rusyd menjawab skeptisitas Ghazali secara gamblang tanpa keraguan dan begitu menusuk menyiratkan pesan bahwa Al-Ghazali salah dalam memahami filsafat.

Mujadalah tersebut pada dasarnya tak pernah selesai, hanya saja karena Al-Ghazali terbekali back up penguasa, belakangan kemudian ia dinilai telah memenangkan mosi tersebut.

Seiring perubahan aliran epistemologis Al-Ghazali, disusul beberapa buku yang kemudian diterbitkannya. Ia justru ditengarai menjadi dalang mundurnya tradisi rasional dan intelektual Islam. Karena perdebatan sepenuhnya adalah perihal rasionalitas, dengan begitu mujadalah menjadi agak tidak begitu populer dan cenderung dijauhi.

Bahkan Sang Hujjatal-Islam di dalam buku Ihya ‘Ulum al-Din, kemudian justru memaknai mujadalah sebagai keinginan untuk melawan dan melampiaskan seseorang dengan menyebutkan cela yang dibutuhkan pada perkuatannya, bahkan dengan menisbahkannya pada aib dan kebodohan.

Demikianera Islamic Golden Age ditutup menurut para orientalis Barat. Namun, gerak dan derap langkah mujadalah tak pernah benar berhenti, tradisi mujadalah beralih ke Barat dan dengan ditopang transmisi kekayaan intelektual era pertengahan, mujadalah membantu Barat dalam melahirkan keilmuan modern. Tentu saja dengan budaya perdebatan yang kental, karena dengan begitu pengembangan dan penjernihan pemikiran menjadi mungkin.

Problema dan Dilema

Perdebatan meskipun atas dasar justifikasi dan nilai apapun, ia bukan berarti tak berpijak pada sebuah realitas ruang dan waktu. Perdebatan bergulir pada suatu konteks sosial, oleh karena itu ia berkelindan erat dengan masyarakat, termasuk sistem norma dan etika di dalamnya.

Pada kasus Arteria kita bisa melihat, bahwa perdebatan tak terhindarkan dari penghakiman etika dan moral. Kecaman publik terhadapnya kiranya telah cukup menjadi bukti, bahwa ada yang keliru dengan Arteria. Konstruksi intersubjektif moral memang tak equivalen dengan penentuan benar atau salah. Akan tetapi,  sependek ini dapat diamati bahwa cara berdebat Arteria memang menghambat sirkulasi argumentasi dan menghentikannya pada sensasi dan emosi.

Penulis secara personal sebetulnya enggan untuk memberikan moral judgement terhadap Arteria. Hanya saja cukup disayangkan, ketika diskursus publik tentang tema perdebatan tersebut terdistraksi dan teralihkan pada sosok politisi berkacamata yang dinilai beringas tersebut. Publik jengkel dengan sikap Arteria, karena gemar menggunting mitra debat saat berbicara, pula dengan argumentasi ad hominem yang kerap dicelotehkannya “Anda siapa, tahu apa anda?”, “Jangan ngomong demokrasi, saya juga ahli demokrasi!” dan ungkapan senada lainya.

Argumentum Ad Hominem dalam kaidah logika terkategori sebagai logical falacy atau kesesatan berfikir. Argumentasi tak lagi berfokus pada apa yang seharusnya dibahas, melainkan tertuju pada status argumentator. Misalnya, pembahasan tentang “Bagaimanakah cara menyapu yang baik” tapi disanggah dengan “Ah, anda saja tidak pernah menyapu, berlagak ngomongin nyapu, saya ini loh tukang sapu”.

Selain sesat sebagai argumentasi, cara berdebat yang demikian tidak sehat bagi demokrasi. Argumentasi ‘ke-aku-an’menunjukan adanya upaya penetrasi otoritas dan superioritas. Seakan diamini keberadaan subyek yang secara monologal berhak secara absolut menentukan klaim kebenaran.

Kesamaan dan kesetaraan, yang merupakan prinsip fondasional mujadalah dengan demikian telah dikhianati. Juga berarti pengkhianatan terhadap nilai demokrasi sendiri, sebab menandakan adanya personifikasi watak totalitarianisme yang gandrung mendominasi dan mematok versi kebenaran.

Dalam konteks demokrasi sebagai sebuah sistem, perdebatan Arteria kemarin turut memperkeruh persepsi publik terhadap demokrasi secara umum, dan perdebatan secara khusus. Khalayak kian menilai perdebatan sebagai sebuah kebiasaan bobrok, alih-alih menemukan penyelesaian malah menciptakan keributan.

Warganet beramai-ramai menghujani Arteria dengan kutipan kalimat dari Imam Syafi’i, yakni “Adab sebelum ilmu”. Namun yang penting digarisbawahi disini adalah jangan sampai isu adab justru menjadi kerangka legitimasi feodalistis oleh pihak yang ‘merasa’ berhak menjadi obyek adab. Penulis menilai rasionalitas sepenuhnya dalam berargumentasi di dalam mujadalah adalah wajib hukumnya, sedang isu adab (etika dan norma) pantas diaplikasikan selama ia memperlancar proses mujadalah.

Karena relasi adab yang tak rasional—yakni kultus adab berlebih kepada seseorang, tapi tak memberi keuntungan bagi proses perdebatan—justru kontradiktif dengan semangat perdebatan sendiri. Semangat kesamaan dan kesetaraan serta pertarungan bebas argumentasi tak mungkin terjadi jika telah memasuki relasi superior dan inferior.

Pendewasaan terhadap demokrasi harus diawali dengan pendewasaan dalam ber-mujadalah, karena statusnya sebagai mesin penggerak demokrasi. Jika pengalaman mujadalah justru membuat masyarakat kapok, maka  totalitarianisme berpotensi untuk dibangkitkan. Monster itu bangkit untuk mengisi ruang yang seharusnya diisi oleh pikiran-pikiran yang selalu sedia untuk diuji dalam perdebatan. Begitulah mulanya ketika kemudian semua menjadi seragam dan penuh tekanan.