Narasi-Narasi Kemanusiaan yang Terpinggirkan

Era disrupsi yang mendera kehidupan manusia akhir-akhir ini pelan namun pasti ikut merubah tatanan sosial masyarakat secara radikal. Tidak hanya perilaku kehidupan bermasyarakat yang berubah, tapi juga laku keberagamaannya.

Fakta sosial ini mau tidak mau telah menyeret perilaku manusia beragama, utamanya Islam, untuk ikut hanyut menyesuaikan tantangan zaman. Dari yang dulu mempelajari Islam hanya dari surau ke surau, masjid ke masjid, hingga pesantren ke pesantren, sekarang telah banyak bertransformasi menjadi dari tautan ke tautan, video ke video, hingga ke akun-akun hijrah. Mudah dan praktis, apalagi untuk kalangan menengah ke atas yang memiliki semangat belajar agama tinggi namun waktu untuk mempelajarinya secara intens minim.

Sekilas fenomena ini nampak menggembirakan, namun di sisi lain, juga menyimpan konsekuensi yang amat mengkhawatirkan. Pasalnya ilmu agama bukan seperti ilmu terapan umum yang bisa dipelajari secara otodidak, bukan pula tutorial memasak yang bisa dipelajari hanya dengan menonton video online. Ilmu agama adalah ilmu adiluhung yang butuh pengajaran dan bimbingan intens dari seorang guru yang otoritatif. Karena agama adalah pedoman hidup yang diturunkan untuk menuntun manusia menuju Tuhannya. 

Saya tidak akan menyentuh konsep barokah (berkah) karena itu terlalu jauh, cukup dengan analogi ketika kita sakit maka akankah kita berobat pada seorang yang mengaku dokter karena ia telah banyak membaca buku-buku kesehatan? Saya yakin jawabannya tidak, karena akibatnya bisa sangat fatal. Sama juga yang terjadi pada agama, jika terjadi kesalahpahaman atas pemaknaan teks-teks keagamaan akibat mempelajari secara otodidak, maka dampaknya bisa sangat destruktif, sangat berbahaya untuk keberlangsungan tatanan sosial. Dan sayangnya, inilah yang terjadi sekarang.

Sekarang coba kita tengok di dunia barat, betapa islamofobia tumbuh subur mewarnai setiap insan di pojok-pojok kota hingga penghuni gedung-gedung bertingkat. Kira-kira apa penyebabnya? Ya, salah satu penyebab paling besar adalah perilaku orang-orang Islam itu sendiri. Orang-orang barat akan selalu mengidentikkan Islam dengan WTC, dengan Al Qaeda, dengan terorisme. Padahal Islam diturunkan di dunia Arab dengan semangat awal sebagai juru damai, bukan pengacau, apalagi penebar teror.

Lalu bagaimana kondisinya di Indonesia?

Jika dari pandangan non-muslim jawabannya tidak akan jauh berbeda untuk akhir-akhir ini. Islam akan selalu dan terus diidentikkan dengan agama yang kolot, kaku, dan hanya berkutat pada halal-haram. Lebih jauh, Islam bisa dianggap sebagai agama amarah, pencela, penebar kebencian, hingga penumpah darah. Karena memang inilah framing yang ditunjukkan dan diulang-ulang oleh sebagian muslim zaman ini, terutama di media sosial. Padahal oleh Annemarie Schimmel, Islam bukan saja dikategorikan sebagai agama hukum, tapi juga agama kasih.

Begitu banyak narasi-narasi kemanusiaan yang mewarnai khazanah pengetahuan Islam. Bahkan di Alquran sendiri, hanya sebagian kecil yang mengulas tentang hukum (syariat), selebihnya mendedahkan tentang sejarah, akhlak, dan terma-terma kemanusiaan lainnya. Sayangnya narasi ini seringkali luput dan tertutup oleh narasi tentang halal-haram dan sejenisnya yang lebih dominan.

Kita tentu telah masyhur dengan kisah yang diceritakan oleh Thahir bin Asyur tentang Rasulullah yang ditegur Allah Swt. karena melarang sahabat untuk memberi sedekah kepada non-muslim. Padahal niat nabi melakukan itu semata agar non-muslim tersebut mau masuk Islam. Tetapi, Allah Swt. malah menegur dengan menurunkan QS. Al Baqarah ayat 272. “Kalau ingin bersedekah tidak usah melihat apa agamanya, hidayah itu urusanku, bukan karena pemberianmu,” seperti itu kira-kira bahasa mudahnya.

Nabi Muhammad Saw. Juga pernah diminta salah satu sahabatnya agar mendoakan kebinasaan terhadap kaum musyrik yang memerangi beliau saat perang Uhud. Tapi bagaimana respon beliau? Respon nabi sungguh diluar nalar manusia biasa. Beliau bersabda; “Aku diutus bukan untuk mencela, melainkan sebagai rahmat”. Nah, kan?

Jika masih kurang, saya tambah dengan satu kisah lagi. Sebuah contoh penting tentang praktik hidup Nabi Muhammad Saw. Ketika itu nabi bersama para sahabat melewati suatu kelompok yang membawa jenazah, mengetahui itu beliau berdiri, dan para sahabat mengikutinya sambil membisikkan kepada beliau bahwa yang mereka bawa adalah jenazah seorang Yahudi. Tetapi, beliau menjawab, “Bukankah yang mati itu suatu nyawa?” (HR. Bukhari).

Dengan jawaban itu nabi hendak menegaskan tentang jiwa manusia, siapapun ia, perlu dihormati, bahkan meskipun sudah menjadi mayat. Dengan begitu, semakin jelas bahwa identitas keagamaan seseorang boleh berbeda, tetapi penghormatan terhadapnya sebagai sosok manusia ciptaan Tuhan tetap bisa atau perlu dilakukan. Seperti kata Sayyidina Ali, dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan.