“Wahai perempuan, wahai pemuda memberontaklah, melawanlah demi kebebasan, keadilan dan kehormatan.” (Nawal El Saadawi)
***
Di tulisan ini saya akan mentranskip hasil wawancara Khrisna Guru Murti (presenter) dengan Nawal El Saadawi, seorang intelektual feminis Mesir. Wawancara ini ditayangkan di perusahaan berita Channel 4 News yang berada di London, Inggris. Video ini dipublikasikan di kanal Youtube pada 13 Juni 2018.
Adapun tajuk tema yang diangkat oleh presenter adalah “Ways to Change The World” (cara-cara untuk mengubah dunia). Tak ayal jika Nawal dihadirkan sebagai narasumber karena semangat juangnya untuk membela hak-hak perempuan atas dominasi laki-laki. Selain memerangi budaya patriarki lewat gagasan-gagasan yang selanjutnya ditumpahkan menjadi buku, ia juga aktif dalam menggalang massa serta mengorganisasinya, yang kita kenal sebagai Nawal El Saadawi Institute.
Ada beberapa kesulitan ketika saya menstranskip wawancara ini. Meskipun demikian, hal ini tidak mengurangi urgensitas transkip ini menyibak tentang kajian feminis. Secara, jawaban-jawaban Nawal sudah mafhum (cukup dimengerti) kemana pokok bahasan ini diarahkan. Berikut wawancara itu.
Khrisna Guru Mukti mengawali dengan basa-basi.
Khrisna Guru Mukti: Saya merasa gembira!! mendapat kesempatan bisa sedikit ngobrol tentang peristiwa-peristiwa dalam kehidupan anda yang telah mencapai 86 tahun penuh ini, dan bagaimana anda menggambarkan diri anda sendiri?
Nawal El Saadawi: Baiklah, saya ini seorang penulis, perempuan pembangkang juga iya ( sambil terkekeh), kamu pun juga tahu saya adalah orang yang getol menyuarakan hak-hak kita tentang apa yang kita yakini dalam kehidupan ini.
Khrisna Guru Mu Anda bilang, anda sebagai pembangkang atau pemberontak dan itu merupakan bawaan sejak lahir, bisa diceritakan?
Nawal El Saadawi: Ya benar!! saya pikir sifat pembangkangan ini turun dari genetik nenek saya yang seorang revolusioner sekaligus petani desa. Meski dia buta huruf tapi jiwanya seorang pejuang. Jadi hal itu sudah ada dalam dirinya dan darahnya.
Maka dari itu saya mewarisi sifat ini dari genetiknya tapi dalam jalannya juga dibarengi dengan latihan, membaca dan perjalanan.
Khrisna Guru Mukti: Dalam buku autobigrafi anda bicara tentang bagaimana gadis muda menjadi sadar soal patriarki?
Nawal eE Saadawi: Sewaktu saya pergi ke sekolah ( waktu itu berumur 6 tahun) guru saya memerintahkan saya untuk menulis nama, lalu saya menulis Nawal, dia bilang;
Tidak!! Nama lengkapmu (dengan nada mempertegas).
Lantas saya berkata; “Nawal Zainab” dia ibuku, sebab dia adalah satu satunya orang yang mengajariku urutan abjad, jadi saya tulislah nama ibuku.
Tiba tiba dia mencoret nama ibu saya. “Sungguh betapa parah dan betapa kejamnya!!” (dengan gerakan tangan meremas tanda geram)
Dia bilang;
“tidak!! Coret nama ini ganti dengan nama bapakmu dan kakekmu.”
Pada momen ini sepertinya ada sesuatu dari saya yang dihilangkan.
Kenapa? kenapa? kenapa? nama ibuku dihapuskan padahal dari dia aku dilahirkan dan diajari bagaimana membaca dann menulis.
Krisna Guru Mukti: Kamu merasa itu tidak adil?
Nawal El Saadawi: Tentu!! saya merasa ini bentuk ketidakadilan, ini hal yang kejam. Kemudian bermula dari perempuan (guru) tadi saya mulai merasa; Aku adalah pemberontak dan tidak akan menerima itu semua.
Khrisna Guru Mukti: Seiring anda tumbuh kembang dengan baik yang mana feminisme adalah sejatinya perjuangan untuk hak-hak perempuan , apakah anda menyadarinya?
Nawal El Saadawi: Tidak! Tidak! Di usia 49 ayahku dan ibuku seoarang liberal tidak seperti kebanyakan ayah-ayah yang lain. Karena pada umur yang masih belia sekali (10 tahun) sepupuku dinikahkan. Mereka juga memaksaku untuk menikah di usia yang sama tapi saya memberontak. Secara saya masih pergi ke sekolah untuk belajar dan cinta pendidikan. Ibu dan ayah saya turut serta mendukungku. Namun keluargaku sedikit demi sedikit merencenakan sesuatu agar saya ingin menikah layaknya wanita lain tadi, tapi mereka gagal lantaran pemberontakanku lagi.
Nawal kecil merupakan gadis yang cerdas dalam akademik sekolah, nantinya dia juga ingin meneruskan jenjang pendidikannya di bidang kedokteran. Sementara selama waktu tiga puluh tahun hampir kebanyakan perempuan-perempuan dari keluarganya menikah di usia yang sangat muda.
Khrisna Guru Murti: Apa yang kamu pikir tentang laki-laki saat usiamu 10, 11, 12 ketika dia mencoba… (pertanyaan belum tuntas Nawal segera memotong)
Nawal El Saadawi: Saya dongkol dengan mereka. saya bercerita ini sebab abang saya yang umurnya setahun lebih tua dari saya. Dia tidak cakap di sekolah, selain itu dia juga malas dan manja sebagai laki-laki, akhirnya bobrok lah pendidikanya.
Dia tidak bekerja sama sekali sedang aku belajar ketika tengah bekerja di rumah dan malahan dia diberikan kebebasan yang diinginkanya. Saya tambah berang dengan mereka sebab dia memiliki banyak hak istimewa hanya karena dia lelaki. Saya jengkel dengannya dan dengan Tuhan juga. Pasalnya keluarga bilang itulah yang dikirim Tuhan.
Khrisna Guru Mukti : Dia adalah seorang pengganggu yang selalu menjawab dengan kehendak Tuhannya.
Nawal El Saadawi: Ya, mereka tidak memiliki jawaban kecuali apa yang Tuhan katakan, dia sebagai anak laki-laki dia harus menggandakan yang kamu (perempuan) miliki.
Khrisna Guru Mukti: Saya pikir di negara Islam jika anda bertanya sesuatu kepada seseorang, mengapa ini bisa terjadi, kamu pasti akan memperoleh jawaban yg serupa; ini kehendak Tuhan.
Nawal El Saadawi: Ini secara umum/universal, hal ini karena saya tinggal di negara non muslim, ada Kristen, Yahudi dan Hindu. Mereka juga berbicara tentang Tuhan di setiap waktu. Lain lagi di India. Saya hidup di sana beberapa tahun, tapi bukan di kota Indianya. Di sana mereka juga berorientasi bahwa Tuhan melakukan segalanya terutama di negaranya. Tuhan selalu ada untuk mengganggu antara sepasang istri dan suami, dan turut ikut campur tangan dalam segala urusan.
Maka aku menulis surat pertama kali kepada Tuhan. Tuhan!! Kamu tidak hanya memperlakukanku begitu buruk dan memperlakukan saudara laki lakiku lebih baik tinimbang dariku. Padahal, saya kira saya jauh lebih pintar dibanding dia, dan ini jelas tidak adil. Dan seandainya Kamu (Tuhan) tidak akan berlaku adil aku pun juga tak akan sudi mengimani-Mu.
NB: Nawal bercerita dengan gaya colloquaialism (bahasa keseharian) tentang budaya Mesir yang mengatur tata kehidupan perempuan. Para perempuan muda dipaksa untuk menjalani sebuah pernikahan dengan laki-laki yang jauh lebih tua atau nikah di bawah umur. Sang perempuan dipaksa berdandan semenarik mungkin agar laki-laki itu menikahinya, dan akhirnya sang perempuan berontak.
Nawal El Saadawi (intelektual feminis asal Mesir) mendapatkan vonis murtad dan harus bercerai dengan suaminya karena gagasan feminisme yang dikembangkannya berlawanan dengan pandangan ulama konservatif di Mesir.