Suarr.id, Pati—Innalillahi wa inna ilaihi raajiun. Telah wafat, guru kami, Pak Kiai Misbahul Munir. Dewan Guru Pesantren Raudlatul Ulum, Guyangan, Trangkil, Pati.
Kami biasa menyebut beliau Pak Misbah, atau Yi Misbah. Sosok yang 24 jam mengabdikan diri untuk pendidikan, untuk madrasah, untuk Raudlatul Ulum. Ia mengisi pos-pos penting demi menjaga tegaknya ‘kedisiplinan’ di kalangan santri YPRU.
Posisinya tidak selalu enak sebagai juru disiplin, yang sering disalahpahami oleh kami, siswa-siswa yang bandelnya nggak ketulungan. Tapi semakin hari, saya yakin bahwa itu pengorbanan yang luar biasa. Saya semakin yakin, ketika mengamini petuah Kiai Sahal, “terlihat baik itu gampang, diam saja akan terlihat baik. Tapi, kalau bermafaat itu tidak mudah, harus diusahakan.” Begitu petuah Kiai Sahal yang masih terngiang-ngiang hingga kini. Dan saya membayangkan Pak Misbah, bagaimana beliau rela ‘gluteh‘ hanya untuk mengajak anak-anak ndeso punya mimpi, menyelami kedisiplinan, menikmati proses belajar.
Saya memiliki banyak kenangan dengan beliau. Di antaranya beliau sosok mentor yang baik, ia sering memberi petuah-petuah khusus ketika sedang mengajar. Sama halnya dengan Almarhum Pak Faiz Soerojo, guru Kimia kami, keduanya memberi sentuhan kepada murid-murid dengan cara yang berbeda. Meski, saya yakin, keduanya mengekspresikan itu dalam rangka cinta sepenuhnya kepada murid-muridnya.
Almarhum Pak Faiz Soerojo, yang wafat beberapa waktu lalu, juga punya kenangan mendalam. Saya selalu trenyuh bagaimana beliau mengajar, mendidik murid-murid di madrasah. Semasa hidupnya, Pak Faiz Soerojo guru teladan dari sekolah unggulan di kota kami. Ia mengirim anak-anak didiknya dari sekolah unggulan itu, ke kampus-kampus internasional. Ribuan muridnya, saya yakin mengenang bagaimana ia menyalurkan semangat, menyuntikkan inspirasi. Dan Pak Faiz, ketika pensiun mengajar dari SMAN, memilih melanjutkan mengabdi di madrasah Raudlatul Ulum. Ia berkata, ingin mencari berkah pada sisa umurnya. Bertahun-tahun Pak Faiz Soerojo mengajar, lahir santri-santri yang mencintai sains.
Kini, Pak Faiz Soerojo dan guru-guru kami yang lain, sudah ‘pulang’ ke haribaan Allah. Mereka menggenapi pengabdian dengan menuntaskan ngalap berkah dengan mengajar di pesantren. Tapi tetap saja, berita wafatnya beliau-beliau seperti sayatan luka yang pedih.
Kini Pak Misbahul Munir. Pagi hari di musim Spring yang masih terasa Winter ini, menambah dingin kesedihan ini. Pagi tadi suhu masih -2, ada sedikit lapisan es di kaca kendaraan saya, ketika saya keluar rumah. Dingin masih menyergap. Tentu, dingin ini tidak bisa sama sekali mewakili perasaan sedih tidak bisa ikut takziyah dari jarak dekat sekali.
Pada tiap lebaran, saya biasanya sowan kepada beliau, dan mungkin hanya untuk ‘digojloki‘. Beluau mengenang masa-masa di mana saya sering didukani, entah karena ngantuk, tidur di kelas, atawa perkara lain yang entah.
Tapi, saya selalu merasa beliau ‘menyentuh’ murid-muridnya. Entah doa apa yang beliau rapalkan, yang jelas kenangan atas beliau masih terasa mengendap-endap. Saya selalu mendapat kabar bagaimana beliau memperlakukan saya di hadapan adik kelas. Beliau memberi energi dengan mengisahkan inspirasi.
Dua lebaran terakhir, saya tidak sowan kepada beliau. Begitu pula, saya tidak bisa cium tangan orang tua dan sedulur-sedulur. Jarak memisahkan, tapi doa merekatkan.
Doa kami dari jauh, Pak Kiai Misbahul Munir. Njenengan tiyang sae, tiyang sae. Alfaatihah, Alfaatihah.
__
Munawir Aziz,
Southampton, United Kingdom,
5 March 2020