Paradigma Islam: Meneladan dan Menyimak Pemikiran Kuntowijoyo

Suarr.id–Dalam sebuah tulisan yang diberi judul “Perlunya Ilmu Sosial Profetik”, Kuntowijoyo  menyatakan bahwa Islam adalah sebuah paradigma yang terbuka. Itu sebabnya seorang muslim tidak dapat bersikap dikotomis karena sikap yang seperti itu hanya akan menjadikan kita ekslusif.

Perlu kita sadari bahwa peradaban Islam tidak dibangun dari sebuah kekosongan. Kita telah banyak mewarisi tradisi-tradisi sejarah dari seluruh warisan peradaban manusia. Oleh karena itu hampir tidak mungkin untuk kita bersikap ekslusif. Sikap yang demikian adalah sikap yang mengingkari sejarah, dan tidak realistis.

Kuntowijoyo menyarankan umat Islam untuk tidak bersikap tertutup. Biar bagaimana pun Islam adalah bagian dari mata-rantai peradaban dunia. Itu berarti Islam juga memiliki kontribusi dan peranan dalam jalannya perkembangan sejarah peradaban manusia.

Bagi Kuntowijoyo, semua peradaban maupun agama mengalami proses meminjam dan memberi dalam interaksi satu sama lain sepanjang sejarah. Tentu saja dalam proses ini telah terjadi dialektika internal sehingga dapat disesuaikan dengan ajaran agama maupun cita-cita peradaban.

Dalam hal ini peradaban Islam tidak hanya mengadaptasi atau sekadar mengadopsi-mewarisi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh peradaban lain -baik barat maupun timur- tetapi juga melakukan enrichment dalam subtansi dan bentuknya. Sehingga Islam pada akhirnya mampu menyumbangkan warisannya sendiri yang otentik.

Bertolak dari hal yang demikian, jika ingin menjadikan peradaban Islam menjadi peradaban yang berkemajuan maka sangat disarankan untuk lentur terhadap hasil-hasil kebudayaan -warisan intelektual- peradaban lain. Sebagai seorang muslim, Kuntowijoyo telah memberikan contoh keteladanan yang baik.

Seperti yang dinyatakan oleh Dawan Rahardjo dalam “Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi”, bahwa Kuntowijoyo secara sadar dalam menganalisis dan menuliskan karya-karya ilmiahnya telah sedikit-banyak meminjam peralatan ilmu dari barat dalam rangka “enrichment” pembendaharaan pemikiran. Lebih lanjut menurut Rahardjo, Kuntowijoyo juga berupaya untuk melakukan sintesis-sintesis teori, bahkan melakukan “twisting” terhadap teori-teori yang dipinjamnya, misalnya mengenai konsep kelas.

Sebagai seorang muslim tentu dalam merumuskan pemikiran-pemikirannya, Kuntowijoyo bertolak pada ajaran-ajaran Islam, terutama Al-Qur’an. Misalkan saja gagasannya mengenai Ilmu Sosial Profetik adalah sebuah penafsirannya terhadap QS. Ali-Imron ayat 110 dengan menggunakan kerangka konsep ilmu sosial modern  yaitu humanisasi dan emansipasi untuk istilah “amar ma’ruf”, liberasi untuk “nahi munkar” dan transendensi untuk “iman kepada Allah”.

Gagasannya tersebut adalah hasil interaksinya dengan gagasan Moeslim Abdurrahman -yang ditawarkan dalam seminar teologi pembangungan di Kaliurang, Yogyakarta 1988.- mengenai teologi transformatif sebagai kritik tajam terhadap teologi tradisional yang dianggap tidak mampu dijadikan refleksi empiris-aktual sehingga perlu untuk dirombak. Artinya bahwa ajaran-ajaran agama (tekstual) perlu diberi tafsir baru untuk memahami realitas modern yang empiris umat Islam.

Dalam perumusan etika atau misi profetik (humanisasi-liberasi-transendensi), ia juga terilhami dari gagasan Muhammad Iqbal dalam “The Reconstruction of the Religious Thought in Islam” khususnya ketika Iqbal berbicara mengenai peristiwa mi’raj Nabi Muhammad SAW.  Mengutip Iqbal, Kuntowijoyo dalam “Identitas Politik Umat Islam” menjelaskan bahwa sendainya Nabi itu seorang mistikus atau sufi, tentu dia tidak akan kembali ke bumi, karena telah mencapai puncak tertinggi, bertemu dengan Tuhan dan berada di sisi-Nya. Nabi kembali ke bumi membawa misi profetik untuk menggerakkan perubahan sosial, mengubah jalannya sejarah peradaban untuk mencapai cita-cita masyarakat sesuai nilai-nilai kenabian.

Sampai di sini jelas bahwa sebagai pemikir Islam, Kuntowijoyo juga lentur terhadap hasil kebudayaan atau warisan intelektual peradaban lain. Baginya semua warisan intelektual memiliki justifikasi dan signifikansinya sendiri, oleh sebab itu selama warisan tersebut fungsional dia tidak akan ragu untuk meminjamnya, tentu haruslah melalui proses seleksi dan adaptasi.

Menurutnya proses seleksi dan adaptasi perlu untuk analisis empiris masyarakat Islam lalu untuk merumuskan agenda reaktualisasi untuk menuju masyarakat islam yang dicita-citakan. Seperti yang pernah ditulisnya dalam “Industrialisasi dan dampaknya”:

bahwa tugas intelektual muslim adalah memberikan pemikirannya kepada masyarakat, agar masyarakat mempunyai alat analisis yang tajam dan dapat memainkan peranannya dalam kehidupan sosialnya.

Ada sebuah pandangan dari seorang yang juga pemikir Islam dari mesir, Hassan Hanafi, yang menurut saya sangat pesimis terhadap bangsa-bangsa Islam.  Menurutnya bangsa Islam adalah bangsa termiskin dan terbelakang. Tapi bukan itu yang ingin saya kritisi, jika memang keterbelakangan, ketertindasan, dan kemiskinan yang menjadi permasalahan umat Islam sampai dewasa ini, nampaknya kita perlu meneladani Kuntowijoyo.