Perempuan, Terorisme dan Manipulasi Tafsir tentang Ayat Jihad

Mencari perempuan dalam terorisme seolah-olah kita tengah menempatkan “perempuan” pada kategori netral-gender atau satuan yang terpisah dari pria atau maskulinitas. Aksi-aksi kekerasan dengan format teror dalam sistem patriarki didaku sebagai bagian dari “seorang pria” yang terikat dengan norma kejantanan, yaitu perlindungan, keberanian, dan pengorbanan diri.’

Sementara, perempuan sebagai oposisi binernya, berada pada norma feminitas yang bersifat kebalikan, yaitu: penyayang, kerapuhan dan pengabdian. Masyarakat patriarki melihat perempuan tidak mungkin melakukan hal “kejam” sebab mereka adalah sosok yang lemah. Di sisi lain, perempuan yang melakukan tindak kekerasan akan dituduh aneh bahkan menyalahi kodrat.

Stereotip publik  yang terbentuk dari sistem patriarki melihat wanita hanya bisa berperan sebagai pembantu atau aktor sampingan saja. Anggapan tersebut menjadi faktor besar dari perspektif terhadap terorisme secara umum. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak banyak menaruh kewaspadaan atau kecurigaan terhadap bergabungnya perempuan dalam aksi teror.

Marginalisasi peran yang dialami perempuan kini mulai dimanfaatkan oleh kelompok teroris. Mereka merancang strategi baru dengan melibatkan perempuan ke dalam rantai jaringan dan aksi mereka. Pandangan masyarakat patriarki tidak akan menyangka perempuan terlibat terorisme sehingga aksi-aksi teror dapat sukses dilaksanakan tanpa tindakan preventif yang berarti.

Keterlibatan aktor perempuan dalam aksi terorisme di Indonesia bermula sejak terbitnya sebuah ulasan bertajuk “Jihad Wanita” di majalah Al-Fatihin milik ISIS pada tahun 2009. Tulisan tersebut menguraikan berbagai bentuk jihad yang bisa dilakukan seorang perempuan, seperti merawat tentara yang terluka atau mendukung jihadis dalam pertempuran.

Dalam edisi lain, Al-Fatihin memasang sebuah foto hitam-putih seorang wanita yang berdiri sendirian, menembakkan senapan dari balik barikade, disertai sebuah artikel yang melenguh keberanian perempuan muslim di negara Islam.  Artikel tersebut mendesak perempuan untuk mengambil senjata dan berjuang melawan orang yang tidak beriman.

Majalah Al-Fatihin berusaha mengglorifikasi peran perempuan dalam aksi terorisme sebagaimana peran perempuan pada masa Rasulullah SAW yang ikut berjihad di medan perang. Mereka membantu para mujahid (laki-laki), mengobati yang terluka, dan memberikan pertolongan bagi yang sakit. Tulisan ini menginspirasi banyak perempuan Indonesia di sosial media hingga menelurkan tulisan-tulisan jihad perempuan serupa. Misalnya saja kisah hijrah Ummu Shabrina ke Suriah yang sempat viral beberapa tahun lalu.

Namun, secara historis, perempuan Indonesia sebenarnya telah memainkan banyak peran dalam aksi teror. Selama konflik kekerasan di Maluku dan Poso dari tahun 1998 hingga 2002—dalam laporan yang ditulis oleh ICAN berjudul “Invisible Woman”—perempuan berkontribusi dalam konflik dengan menyediakan amunisi, bahan peledak buatan sendiri, dan persediaan logistik.

Sejak saat itu, perempuan Indonesia banyak terlibat dalam dakwah agama, pendidikan, rekrutmen dan kegiatan amal kelompok kekerasan. Beberapa perempuan mengikuti suami mereka ke Irak dan Suriah, menyerah pada ideologi agama, dan mencari keadilan sosial serta tatus yang lebih setara dengan pria dalam berperang melawan musuh.

Provokasi jihad perempuan oleh majalah “Al-Fatihin” terbukti ketika seorang perempuan bernama Dian Novi ditangkap atas tindakan merencanakan pengeboman di Istana Negara pada 16 Desember 2016 silam. Dian Novi merupakan perempuan pertama di Indonesia yang menjadi calon martir atau pengantin dalam aksi bom bunuh diri.

Tidak tercapainya keinginan  Dian untuk bergabung dengan ISIS di Suriah mendorong Dian melakukan aksi tersebut. Pasalnya, pemimpin ISIS, Abu Bakar Al-Baghdadi, telah menyerukan kepada pengikutnya untuk melaksanakan jihad di negara masing-masing dan menjadikannya medan perang. Seruan ini memotivasi Dian untuk berjihad di Indonesia dengan bersedia menjadi martir bom bunuh diri.

Ideologi jihadisme perempuan diperoleh dari informasi yang  diakses melalui internet hingga ia bertemu suaminya, Nur Sholihin dari kelompok Bahrun Na’im. Sang suami membantu Dian merealisasikan keinginan  mati syahid di Indonesia melalui rencana aksi bom panci. Sosok laki-laki  berperan sebagai aktor yang menjembatani hubungan antara perempuan dan kelompok teror. Di samping itu, kelompok teror memanfaatkan pernikahan sebagai media bai’at untuk mengelabuhi perempuan agar bergabung dengan mereka dan menjadi martir. Mereka memfasilitasi penuh kebutuhan jihad perempuan dari strategi, bahan peledak, hingga logistik.

Serentetan keterlibatan perempuan dalam terorisme selanjutnya ditemukan pada aksi bom Surabaya yang dimartiri oleh satu keluarga utuh, terdiri dari bapak, ibu, dan anak. Perempuan yang termanifestasi dalam sosok ibu menjadi pengantin sekaligus mendoktrin anak-anaknya untuk ikut serta dalam aksi pengeboman.

Tidak berhenti di sini, peran perempuan dalam aksi terorisme juga terlihat pada tragedi bom Medan di akhir tahun 2019. Perempuan sebagai sosok istri menjadi aktor transfer ideologi kepada suami yang menjadi pengantin bom bunuh diri di mapolrestabes Medan.

Perempuan berinisial D ini juga diketahui sedang menyusun aksi dan strategi teror di Bali bersama seorang temannya di dalam waktu dekat. Kasus-kasus ini, oleh Santos dalam “In Indonesia, ‘Women Are Now a Permanent Part of the Jihadi Structure”, menjadi pertanda bahwa perempuan kini telah secara permanen masuk ke dalam struktur jihad kelompok kekerasan.

Narasi perempuan sebagai subjek aktif dalam peristiwa-peristiwa kekerasan—dalam bentuk paling ultimate perang misalnya—bukanlah hal yang baru dalam Islam. Nusaibah binti Ka’ab merupakan salah satu muslimah dengan peran besar di medan perang.

Potret keberanian dan pengorbanan Nusaibah terlihat dalam sabda Rasulullah, “Tidaklah aku melihat ke kanan dan ke kiri pada pertempuran Uhud kecuali aku melihat Nusaibah binti Ka’ab berperang membelaku.” Selain Nusaibah, terdapat juga Khaulah binti Azur dan Hindun binti ‘Utbah yang menorehkan nama-nama sebagai mujahidah kondang dalam sejarah peperangan Islam.

Secara fikih, hukum jihad di medan perang sendiri ialah fardlu kifayah. Artinya, jika terdapat muslim yang berjuang di sana, maka muslim lain telah gugur kewajibannya. Fikih juga menghukumi bahwa orang yang berhalangan untuk berjihad tidak dikenai kewajiban. Salah satunya ialah perempuan.

Perempuan tidak diwajibkan masuk ke medan perang sebab ia harus selesai dengan pemenuhan terhadap hak-hak suami dan anak-anaknya terlebih dahulu. Kecuali ketika suaminya mengizinkan ia pergi berjihad atau bersamanya dalam jihad. Izin semacam ini merupakan bentuk dar’ul mafasid yang bertujuan untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang setelah keterlibatan perempuan di medan perang—soal masa depan anak, orang tua, dan kewajiban membangun peradaban umat.

Namun, bila musuh telah menyerang, maka semua muslim dari jenis kelamin apapun wajib pergi berperang. Perempuan diperbolehkan turut tanpa izin sang suami atau orang tua. Hukum inilah yang sengaja dimanfaatkan oleh kelompok teror untuk menarik perempuan dalam jaringan dan aksi jihad. Dengan menempatkan seolah situasi darurat, kelompok teror membujuk perempuan untuk berperang bersama mereka bersama dengan legitimasi ayat-ayat “kekerasan” seperti Surah Al-Baqarah ayat 191, Surat At-Taubah ayat 123, dan lain sebagainya.

Pengambinghitaman—meminjam istilah dari sosiolog ke-Islam-an, Nur Ahmad Fadhil—terhadap ayat dan hukum jihad semacam ini adalah sebuah manipulasi. Keinginan perempuan untuk mati syahid dan memiliki pahala jihad sebagaimana laki-laki dimanfaatkan oleh kelompok teror dengan menjerumuskan perempuan  pada praktik bom bunuh diri dan aksi-aksi terorisme lain. Alih-alih memperoleh kesetaraan, perempuan malah menjadi korban. Mereka ditipu oleh tafsir kelompok teror yang tidak mampu menginterpretasi ayat-ayat jihad secara tepat. Perempuan mengalami proses berpikir pendek dan tidak kritis sebab terlena oleh bayangan melawan kezaliman dan titel mujahidah.

Meskipun benar perempuan memiliki peran yang sama dalam peperangan, keikutsertaan perempuan dalam aksi-aksi teror bukanlah hal yang bisa dijustifikasi. Aksi-aksi teror melawan pemerintah sah di Indonesia merupakan bentuk bughat (pemberontakan bersenjata kepada pemerintah) yang diharamkan dalam Islam.

Hukum ini jelas dalam sabda Rasulullah, “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah kemudian mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Bughat kepada pemimpin adil/zalim dengan ta’wil agama  sekalipun tidak dihalalkan dalam Islam sebagaimana keterangan yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahman Al-Maliki dalam “Nizham Al-Uqubat”

Perintah Allah dalam Surat Al-Hujurat (49) ayat 9 untuk memerangi golongan yang berbuat aniaya ini harus menjadi dasar bagi kita menyukseskan kontra-terorisme perempuan. Perlawanan terorisme perempuan tidak boleh berhenti dengan menyeretnya ke penjara atau melalui serangkaian aturan yang tidak berfokus pada proses berpikir—seperti pelarangan cadar di lembaga pemerintah.

Akan tetapi, perempuan muslim juga wajib lebih banyak mengonsumsi tafsir kontekstual ayat-ayat jihad. Pengarusutamaan ayat-ayat perdamaian dan salah kaprah tafsir jihad terorisme perlu dilakukan secara masif, tidak hanya kepada sosok laki-laki, tetapi juga perempuan. Sehingga perempuan tidak mudah terjebak ke dalam perangkap terorisme.  Pada akhirnya perempuan dapat kembali menjadi juru damai yang berkontribusi dalam mencegah terorisme, baik di ruang publik maupun di lingkungan terkecil mereka, yakni keluarga.