Romantika Kehidupan Sayyidah Aisyah

Suarr.id–Di antara beberapa istri Rasulullah Saw. yang masyhur perannnya dalam perjuangan Islam adalah Sayyidah Khadijah dan Sayyidah Aisyah. Sudah mafhum siapa Sayyidah Khadijah; seorang wanita yang menginfakkan seluruh hartanya untuk perjuangan dakwah Rasulullah Saw.

Sedangkan Sayyidah Aisyah merupakan salah satu di antara ulama perempuan di kalangan sahabat yang memiliki andil yang besar periwayatan hadits. Beliau meriwayatkan 2210 hadits dan menjadi perawi terbanyak keempat yang meriwayatkan hadits Nabi Saw. Namun demikian, orang-orang lebih mengetahui sosok Sayyidah Aisyah dari sisi keromantisan beliau dengan Nabi daripada sisi keilmuan beliau yang tak kalah menonjolnya.

Sayyidah Aisyah, atau orang Jawa menyederhanakannya menjadi Siti Aisyah lahir 7 tahun sebelum Rasulullah Saw. ke Madinah. Beliau merupakan putri sahabat kinasih Abu Bakar bin Abu Quhafah bin Utsman bin Amir bin Amr bin Ka’b bin Sa’d bin Taym bin Murrah. Nama terakhir inilah titik temu antara nasab Nabi Muhammad Saw. dengan Abu Bakar r.a. Sementara ibunya adalah Ummu Ruman yang memiliki nama asli Zainab. Nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah Saw. pada Kinanah bin Khuzaimah.

Sayyidah Aisyah memiliki saudara seibu bernama Abdurrahman, dan 4 saudara dari lain ibu; Abdullah, Asma’, Muhammad, dan Ummu Kultsum. Masa kecil Sayyidah Aisyah penuh dengan riang-gembira bermain bersama kawan-kawannya dan bertingkah sewajarnya anak kecil, seperti bermain ayunan, berlari-larian, dan lain-lain.

Pernikahan dengan Nabi Muhammad Saw.

Dimulai dari mimpi Rasulullah Saw. sebagaimana yang dituturkan Sayyidah Aisyah sendiri dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam Sahihnya, “Rasulullah Saw. bersabda; ‘Tiga malam aku diperlihatkan wajahmu dalam mimpi. Malaikat membawamu pada suatu tempat yang terbuat dari sutera. Malaikat itu berkata, “ini adalah istrimu.” Maka aku membuka wajahmu dan ternyata engkaulah sosok itu. Lalu Rasulullah Saw. berkata; “Jika ini datang dari Allah maka pasti akan terjadi.”

Mimpi itu terjadi pada waktu Nabi Muhammad Saw. masih bersama Sayyidah Khadijah. Kemudian setelah Sayyidah Khadijah wafat, datanglah Khaulah binti Hakim kepada Nabi Saw. ia berkata; “ Ya Rasulallah, tidakkah engkau menikah lagi?” “Dengan siapa?” jawab Nabi. Khaulah melanjutkan, “Dengan seorang perawan atau janda?” “Siapa yang perawan dan siapa yang janda?” tutur Nabi. “Jika perawan, ialah Aisyah putri seseorang yang engkau cintai, Abu Bakar. Jika janda, ialah Saudah binti Zam’ah. Ia telah beriman dan patuh kepadamu.” jelas Khaulah kepada Nabi. Kemudian Nabi Saw. memerintahkan Khaulah untuk menyampaikan pinangan Rasulullah Saw. kepada keduanya.

Pergilah Khaulah ke rumah Abu Bakar. Sesampainya di sana, ia hanya menemui istrinya, Ummu Ruman, dan mengutarakan maksudnya, “Rasulullah Saw. mengutusku guna meminang Aisyah untuk beliau.” jelas Khaulah. Ummu Ruman menimpali, “Aku yang senang jika engkau menunggu suamiku, Abu Bakar.” Tak berselang lama datanglah Abu Bakar. Lalu Khaulah mengulangi maksud tujuan kedatangannya ke rumah Abu Bakar. Mendengar hal itu, Abu Bakar bertanya; “apakah pantas Aisyah bagi beliau sedangkan Aisyah adalah putri saudaranya?”

Akhirnya ia kembali ke rumah Rasulullah Saw. dan menuturkan pertanyaan Abu Bakar kepada beliau. Jawab Nabi, “katakanlah kepadanya-Abu Bakar, “kau adalah saudaraku dalam Islam, dan putrimu halal bagiku.” Singkat cerita Rasulullah Saw. menikahi Aisyah yang waktu itu berumur enam tahun. Namun Sebagian pendapat mengatakan tujuh tahun sebagaimana dituturkan Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah.

Membantah Tuduhan Keji

Tak sedikit ulama yang menulis kitab guna membantah tuduhan keji yang dilayangkan orang-orang Barat terhadap Nabi Muhammad Saw. Para orientalis dengan sangat berani mengatakan bahwa Muhammad adalah tak ada bedanya dengan seorang pedofilia yang mengawini anak kecil.

Di antara bantahan atas tuduhan itu adalah sebuah kitab kecil(kutaib) yang berjudul Aisyah Ummul Mukminin, Ayyamuha, wa Siratuha al-Kamilah fi Safahat karya Syaikh Ramadhan al-Buthi yang diterbitkan oleh penerbit Dar al-Farabi, Damaskus.

Tuduhan tersebut sebenarnya hanya mengandalkan fakta bahwa Nabi yang waktu itu berumur 53 tahun menikahi seorang Aisyah yang baru berumur 7 tahun. Seolah-olah Nabi Muhammad Saw. menikahi seorang gadis sesuka beliau. Pertanyaannya, apakah ada di antara sejarawan atau penulis biografi yang menemukan bukti bahwa Aisyah sangat menderita karena dinikahi Nabi? Sebaliknya, adakah di antara sejarawan dan penulis biografi yang tidak tahu bahwa Aisyah adalah wanita yang paling bahagia di seluruh Madinah sebab menikah dengan Nabi? Romantis sekali, bung.

Kemudian, jika mendedah hadits Khaulah di atas, maka akan diketahui beberapa argumen yang bertolak belakang dengan tuduhan itu. Pertama, mimpi itu terjadi pada waktu masih bersama Sayyidah Khadijah, yang berarti waktu itu Sayyidah Aisyah masih berumur empat atau lima tahun. Kedua, Nabi Saw. tak pernah memilih Sayyidah Aisyah di antara para gadis. Khaulah lah yang pertama menawari Nabi Muhammad Saw. Jadi, sama sekali tidak ada pandangan dalam benak Rasulullah Saw. terhadap Aisyah atau siapa pun, malah Khaulah lah yang mengingatkan Rasulullah dan menjadi perantaranya. Ketiga, beda antara mimpi manusia biasa dengan Nabi Muhammad Saw., mimpi yang dialami seorang Nabi adalah perantara wahyu nubuwat, dan masih banyak lagi. Selengkapnya bisa dibaca di kitab yang telah disebutkan di atas.

Keunggulan Sayyidah Aisyah dalam Ilmu

Tidak ada perbedaan di antara para sejarawan, semua sepakat bahwa Sayyidah Aisyah adalah rujukan utama para sahabat ketika mendapati suatu kemusykilan dalam persoalan hadits. Badruddin al-Zarkasyi dalam kitabnya al-Ijabah li Iradi maa Istadrakathu Aisyah ala al-Sahabah menukil riwayat Abu Musa al-Asy’ari yang mengatakan, “Tak ada suatu permasalahan yang kami temukan dalam memahami hadits, lalu kami tanyakan kepada Aisyah, kecuali kami mendapatkan ilmu tentang hadits tersebut.”

Kemudian Imam Ibnu Hajar al-Asqalani di dalam kitabnya al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, meriwayatkan dari Masruq, ia berkata, “Aku melihat para sahabat besar Nabi Saw. berguru kepada Aisyah dalam ilmu Faraidh(waris).”

Dari Atha’ bin Abi Rabbah, ia berkata, “Aisyah adalah orang yang paling faqih, paling alim, dan paling baik pemikirannya di antara manusia umumnya.” Hal senada dikatakan Hisyam bin Urwah, “Tak pernah aku melihat orang yang lebih mengetahui masalah fiqh, perobatan, dan syiir daripada Aisyah.”

Bahkan al-Zuhri, sebagaimana diriwayatkan al-Hakim dalam Mustadrak-nya, melempar pujian begitu tinggi kepada Sayyidah Aisyah, “Andaikan ilmu Aisyah dibandingkan dengan ilmunya semua ummul mukminin dan ilmunya seluruh perempuan, maka ilmu Aisyah lebih utama.”

Sebagai contoh seperti dalam kitab al-Ijabah milik Imam Badruddin al-Zarkasyi yang berisi pembetulan-pembetulan Sayyidah Aisyah terhadap para sahabat yang melakukan kesalahan dalam suatu riwayat. Suatu ketika Abu Hurairah r.a. meriwayatkan hadits dari Nabi yang berbunyi, “Barangsiapa menemui fajar dalam keadaan junub, maka janganlah ia berpuasa.” Lalu ketika Sayyidah Aisyah dan Ummu Salamah ditanya mengenai hal itu, keduanya menjawab, “Nabi Saw. pernah menemui fajar dalam keadaan junub tanpa bermimpi, kemudian beliau berpuasa.” Maka ketika Abu Hurairah r.a. diberitahu mengenai pembetulan tersebut, ia berkata, “Mereka berdua lebih mengetahuinya.” dan ia mencabut periwayatan yang dikatakan sebelumnya.

Masih dengan Abu Hurairah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya bahwa suatu ketika datanglah dua orang laki-laki kepada Sayyidah Aisyah, mereka berdua menanyakan hadits tentang ramalan, “Sesungguhnya Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Kesialan ada pada perempuan, hewan tunggangan dan rumah.” Mendengar itu Sayyidah Aisyah marah sekali, “Demi Dzat yang menurunkan Al-Quran kepada Abul Qasim(Nabi Muhammad Saw.), perkataan ini bukanlah perkataan Rasulullah. Tetapi beliau Saw. mengatakan, “Orang-orang Jahiliyah selalu bilang; “Kesialan terdapat pada perempuan, hewan tunggangan dan rumah.” Kemudian Sayyidah Aisyah membacakan surat al-Hadid ayat 22, “Setiap bencana yang menimpa bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya tertulis dalam Kitab(Lawh al-Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya..” Dalam sebagian riwayat menambahkan perkataan Sayyidah Aisyah, “Ia(Abu Hurairah) tidak hafal hadits tersebut, ia mendengar akhirnya tetapi tidak mendengar awalnya.”

Romantika Hidup Sayyidah Aisyah bersama Rasulullah Saw.

Untuk melengkapi tulisan ini, saya tunjukkan beberapa kisah romantika kehidupan Sayyidah Aisyah bersama Rasulullah Saw. berdasarkan beberapa riwayat.

Di dalam kitabnya Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Asfiya’, Imam Abu Naim al-Ashbahani meriwayatkan suatu hadits dari Sayyidah Aisyah, “Aku bertanya kepada Rasulullah, “Bagaimana cintamu kepadaku, Ya Rasul?” beliau menjawab, “Seperti simpul tali,” aku bertanya lagi, “Seperti simpul bagaimana, Ya Rasul?” beliau menjawab, “Hiya ‘ala haliha, ia tak akan berubah. Tetap akan seperti itu.”

Saking cintanya Rasulullah Saw. kepada Sayyidah Aisyah, sampai-sampai para sahabat menamai Sayyidah Aisyah dengan Habibatu Rasulillah sebagimana riwayat Imam Tirmidzi.

Selain Habibatu Rasulillah, Sayyidah Aisyah juga memiliki penggilan istimewa lainnya, yaitu ‘Uways yang merupakan bentuk tasghir dari Aisyah. Dalam Musnad Imam al-Hakim dituturkan dari Ummi Salamah, suatu ketika Sayyidah Aisyah berkata, “Ya Rasulallah, ajarilah aku sebuah doa.” Beliau Saw menjawab, “Wahai, ‘Uwaisy, berdoalah ‘Wahai Tuhan Muhammad, hilangkanlah angkara murka dari hatiku dan selamatkanlah aku dari fitnah yang menyesatkan.”

Selain itu, setiap kali Rasulullah hendak melakukan qiyamul lail, beliau Saw selalu meminta izin terlebih dahulu kepada Sayyidah Aisyah. Kemudian di hari berikutnya Rasulullah Saw. berkata kepada Sayyidah Aisyah, “Aku tahu ketika engkau rela denganku dan ketika engkau marah kepadaku!” Sayyidah Aisyah bertanya, “Dari mana engkau tahu, Ya Rasul?” beliau Saw menjawab, “Jika engkau sedang rela, maka engkau akan bersumpah atas nama Tuhan Muhammad, tapi jika engkau sedang marah kepadaku, maka engkau akan berumpah atas nama Tuhan Ibrahim.” Apa jawab Sayyidah Aisyah? “Benar, Ya Rasul. Aku hanya meninggalkan namamu.”

Terakhir, sebelum Rasulullah Saw. intiqal ila Rafiq al-A’la, wafat, beliau telah lama jatuh sakit. Ketika itulah beliau Saw. selalu bertanya kepada para istri beliau Saw., “Di mana aku hari esok?” Namun, para ummul mukminin paham apa yang dikersa-kan Nabi Muhammad Saw. yaitu dirawat di rumah Sayyidah Aisyah. Setiap hari ia begadang merawat Nabi Muhammad Saw. sampai wafat beliau Saw.

Kenangan terakhir bersama Nabi Muhammad Saw. dituturkan Sayyidah Aisyah sebagaimana riwayat Imam al-Hakim. “Sungguh Allah menyatukan air ludahku dengan air ludah beliau Saw. ketika beliau wafat. Waktu itu datanglah Abdurrahman kepadaku dengan membawa siwak, sedang Rasulullah Saw bersandar padaku. Lalu aku melihat beliau Saw. memandang siwak itu. Aku tahu beliau sangat ingin bersiwak. Aku tanyakan kepada beliau Saw. “Maukah kuambilkan untuk engkau?” karena saking lemahnya tubuh Rasulullah, beliau Saw hanya menganggukkan kepala pertanda ‘iya’. Lalu kuberikan siwak itu kepada beliau Saw. Namun beliau sangat kesulitan. Kukatakan kepada beliau, “Maukah kulembutkan siwak itu?” dan Rasulullah mengangguk tanda setuju. Setelah kuperlembut ujungnya dengan mulutku, siwak itu kuberikan kepada Rasulullah. Akhirnya beliau Saw. bisa bersiwak dengan sempurna.

Setelah sempurna bersiwak, beliau Saw hendak memberikannya kepadaku, akan tetapi sungguh lemah tubuh Rasulullah hingga tangan beliau terjatuh. Aku bergegas mengambilnya sambil membaca doa seperti doa Jibril kepada beliau Saw, dan dengan sangat lirih beliau Saw berbisik, “Rafiq al-A’la..” Segala puji syukur kepada Dzat yang telah menyatukan air ludahku dengan air ludah beliau Saw. di akhir hayat beliau di dunia.

Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbih ajma’in.