Secercah Keindahan Al-Qur’an

Menafsirkan Al-Qur’an bukanlah perkara yang ringan. Tidak setiap orang memiliki kemampuan dalam memahami bahasa Al-Qur’an yang begitu luhur nan tinggi. Guna memahami untaian-untaian keindahan lafadznya tentu seseorang harus menguasai tata bahasa yang dipakainya , yakni tata bahasa Arab atau dikenal dengan ilmu Nahwu.

Bahasa Arab merupakan bahasa yang kaya akan nilai-nilai sastra. Satu kata bisa jadi memiliki dua, tiga hingga sepuluh makna. Satu kata yang sama pada ayat yang berbeda, ada kalanya juga memiliki makna yang berbeda, bahkan berlainan.

Salah satu contohnya adalah huruf jar Lam. Di banyak tempat, huruf jar Lam digunakan untuk menunjukkan alasan atau sebab seseorang melakukan suatu perbuatan.

Misalnya perkataan seseorang
جئتك لِتعلّمني علم النحو

“Aku datang agar kamu mengajariku ilmu nahwu”, berarti dia datang dengan tujuan agar orang yang didatangi mau mengajarinya ilmu nahwu.

Begitu juga firman Allah ta’ala
وَأُمِرْنَا لِنُسْلِمَ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ (الأنعام : ٧١)

“Kami diperintahkan agar berserah diri kepada Allah, Tuhan semesta alam.”

Namun, tidak semua huruf jar Lam adalah Lam at-Ta’lil. Ada juga huruf jar Lam yang tidak menunjukkan ta’lil (alasan), melainkan untuk menunjukkan akibat suatu perbuatan, seperti firman Allah ta’ala
فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا (القصص : ٨)

Turunya ayat ini  berkaitan tentang peristiwa ketika Ibu Nabi Musa  menaruh  bayinya ke dalam keranjang lalu menghanyutkannya di sungai Nil.  Upaya itu ia lakukan agar Musa dapat selamat dari buruan dan kejaran pasukan Fir’aun. Karena sebelumnya, Fir’aun telah bertitah kepada pasukannya supaya membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir dari Bani Israil pada tahun tersebut.

Kekhawatiran Fir’aun ini bukan tanpa alasan, hal ini didasari atas tafsiran mimpinya dimana kelak bakal ada anak laki-laki yang  akan menghancurkan kekuasaannya. Jadi tidak heran Apabila Fir’aun mengintruksikan supaya menumpas habis setiap bayi laki-laki yang lahir. Namun, tak disangka-sangka keranjang tersebut malah ditemukan oleh Sayyidah Asiyah, Istri Fir’aun. Ia pun mengambil bayi Musa, lantas menjadikannya sebagai anak angkat.

Kalau huruf jar lam yang terdapat pada ayat ini dimaknai sebagai ta’lil, maknanya akan rancu. Tidak mungkin keluarga Fir’aun mengambil Nabi Musa dan mendidiknya agar menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Tentu, mereka mengambil anak angkat dengan tujuan agar Musa kelak menjadi penolong, pembela dan pembawa kegembiraan dimasa mendatang.

Oleh karena itu, huruf jar Lam yang terdapat pada ayat ini adalah Lam al-Aqibah yaitu Lam yang menunjukkan ending suatu perbuatan. Sebagian Ulama’ menamainya dengan Lam as-Shairurah. Jadi, makna ayat tersebut kurang lebih “Maka keluarga Fir’aun mengambil musa agar menjadi kekasih dan kegembiraan bagi kehidupan mereka, namun ternyata dikemudian hari, Nabi Musa justru menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka”.

Maka dari itu, janganlah melulu berpedoman pada  al-Qur’an terjemahan. Karena bagaimanapun juga, penerjemahan al-Qur’an, terlebih kata per kata pastinya akan mereduksi (mengurangi) kandungan makna al-Qur’an sendiri yang begitu luas. Berpedomanlah kepada seorang guru yang tsiqah (dapat dipercaya). Maksudnya ia mempelajari makna al-Qur’an secara talaqqi kepada guru-gurunya.

Dikarenakan kemurnian agama Islam akan senantiasa terjaga jika ajaran-ajarannya diajarkan secara bersambung dan bersanad. Dari Rasulullah kepada Sahabat, dari Sahabat kepada Tabi’in, dari Tabi’in kepada Tabi’ut-tabi’in, dari Tabi’ut-tabi’in kepada generasi setelahnya, begitu seterusnya hingga sampai kepada kita.

Tanpa talaqqi (belajar kepada guru secara langsung), kemurnian agama Islam sedikit demi sedikit akan tergerus. Akan semakin banyak ayat-ayat al-Qur’an yang di tafsirkan dengan sekehendak hati. Tanpa mempertimbangkan kaidah Asbabun-Nuzul, Nasikh-Mansukh, Muthlaq-Muqayyad, Mujmal-Mufashshal, ‘Am-Khash dan kaidah-kaidah tafsir al-Qur’an lainnya.

Begitu juga dalam memahami hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam, haruslah dengan talaqqi agar tidak terjadi kontradiksi antara satu hadis dengan hadis lainnya yang lebih ditengarai salah memahaminya. Belum lagi, banyaknya perkataan yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam padahal bukan sabda beliau. Bukan termasuk hadis sahih, hasan ataupun dha’if, melainkan hadits maudlu’ (hadis palsu).

Semoga kita menjadi pribadi yang semakin baik. Senantiasa menghadiri majelis-majelis ilmu agama. Syaikh Abdullah al-Harari pernah berkata “Ilmu agama adalah eksistensi Islam”. Semakin banyak orang yang belajar ilmu agama di suatu daerah, berarti Islam tumbuh subur di daerah tersebut. Sebaliknya semakin sedikit orang yang mempelajari ilmu, daerah tersebut adalah daerah yang gersang. Bela-lah agamamu dengan mempelajari ilmu agama.

Beirut, 29 Ramadhan 1440 H / 30 azeran 2019 R