Selamanya Berutang pada Tabloid BOLA

Sukar mengingat kapan pertama kali saya bertemu dengan tabloid ini. Tentu saja, saya beruntung punya Bapak yang kadang pulang kerja membawa koran. Saya yakin, suatu hari di paruh akhir 2008, koran (atau dalam konteks BOLA, tabloid) yang dibawa Bapak berwujud BOLA.

Keyakinan sudah melahap BOLA semenjak belum genap berusia 11 tahun ada alasannya tersendiri. Sewaktu BOLA merayakan ulang tahun peraknya yang ke 25 pada Maret 2009, saya ingat betul membaca semua edisi sejak awal Januari 2009, terutama halaman khusus Halaman 25. Petualangan ini saya akhiri pada 2015, saat berkuliah di kota lain. Alasannya sederhana, karena tak mampu menganggarkan duit kiriman.

Dalam kurun 2008 hingga 2015, setidaknya ada tiga era yang membedakan bagaimana saya membeli BOLA. Masa paling awal, 2008 hingga berakhirnya tahun pelajaran 2008/09, karena masih berstatus siswa Madrasah Ibtidaiyah, jadi saya amat mengandalkan Bapak untuk mendapatkannya.

Masa berikutnya, 2009 hingga 2012, bersamaan waktunya dengan pendidikan di SMP 8 Pekalongan, saya mulai membelinya sendiri. Sepulang sekolah, saya bersepeda menuju pom bensin di seberang Jalan Perintis Kemerdekaan. Kalau stok di loper sedang kosong, saya harus mengayuh lebih jauh, ke agen koran di Jalan Hayam Wuruk. Untuk edisi Senin, yang harganya Rp6.500, saya masih minta sangu lebih dari Bapak. Sedangkan untuk edisi Sabtu yang cuma Rp2.500, saya beli pakai uang saku hari itu.

Berikutnya, tahun 2012 hingga 2015, seiring dengan meningkatnya uang saku (konsekuensi logis dari munggah jenjang pendidikan), saya mulai mengorbankan uang saku. Dari SMK Kedungwuni, tiap hari terbit, saya pulang memutar lewat kota, demi bisa mendapatkan BOLA. Teman-teman saat itu paham, kalau hari Senin/Kamis, saya pasti tidak jajan.

Sesudah masa itu, berhubung saya sudah tidak lagi bersama orang tua (baca: sumber pendanaan), BOLA jadi jarang terbeli. Sesekali kalau merasa dompet masih tebal, saya ke Sampangan atau Ungaran pakai motor pinjaman untuk memburunya.

Praktis, semenjak kuliah pula saya merasa asupan informasi dari BOLA dapat tergantikan oleh sumber-sumber daring. Ponsel pintar dan laptop, harus diakui, menjadi alasan mengapa saya tak lagi merasa perlu untuk membeli edisi cetak BOLA. Sayangnya, kelakuan pembaca layar datar seperti saya ini yang turut berkontribusi pada gulung tikarnya tabloid bersejarah ini.

**

Perihal pengaruh BOLA dalam kehidupan football writing di Indonesia, saya kira tak ada yang perlu diragukan. Sedari SMK, saya selalu ditanya teman, buat apa beli BOLA, toh di internet sudah banyak informasi berseliweran?

Yah, dahulu, BOLA menjadi nomor satu karena kedalaman isinya. Artikel-artikel di sana tak ada bandingannya dengan berita cekak semacam Bola.net atau Bola.com. Andi Bachtiar Yusuf dalam cuitannya mengungkapkan, kekuatan BOLA terletak pada artikel feature dan depth reporting-nya.

Namun, keputusan BOLA untuk terbit dua kali sepekan, kemudian tiga kali sepekan, bahkan sempat menjelma jadi harian, tampaknya justru menghilangkan kualitas yang lama dimilikinya. Sisi menarik dari artikel-artikel panjang jadi tergantikan oleh berita-berita pendek yang anyep.

Mahfud Ikhwan, dalam tulisan pengantarnya untuk buku Tamasya Bola karya Darmanto Simaepa, punya kritikan tersendiri untuk tabloid olahraga terbesar Indonesia tersebut. Baginya, BOLA bertanggung jawab atas mentoknya kualitas literasi sepak bola di Indonesia kurun 2010-an, yang menurut dirinya, hanya terdiri dari tiga hal: tebak-tebakan skor di edisi akhir pekan, transkrip nyaris mentah dan alakadarnya dari jalannya pertandingan di edisi awal pekan, dan profil pemain yang tak pernah lebih dari biodata yang diberi kata hubung.

Darmanto Simaepa pun menyediakan satu tulisan khusus untuk BOLA di bukunya tersebut. Nadanya pun seirama dengan Mahfud Ikhwan, yakni tak percaya bahwa BOLA menjadi besar karena kualitas jurnalistiknya. Dalam sebuah artikel berjudul “Tiga Tamasya Kecil ke Masa Lalu Bersama ‘BOLA’” tersebut, ia bahkan secara telak menulis,

wartawan-wartawan itu menulis dengan cara pengkhotbah Jumat, padahal aslinya pengepul berita-berita rongsokan dari media luar negeri”.

Belakangan, saat sudah mengenal ESPNFC, The Guardian, Sky Sport, dan sejenisnya pada post-2015, saya bisa membenarkan anggapan Simaepa tersebut.

Namun bagi saya itu bukan masalah besar, kecuali satu hal: BOLA tak pernah kritis pada PSSI. Saat sepak bola Indonesia dirongrong kecamuk politik, bahkan ketika bertahun-tahun berhadapan dengan bobroknya pengelolaan kompetisi profesional Indonesia, mereka tak pernah mengangkat itu dalam halaman-halaman Ole Nasional. Simaepa benar lagi ketika mengatakan,

isinya berjarak, berusaha netral, dan tidak memberi kesegaran perspektif atas politik sepak bola Indonesia”.

Pada titik ini, keberanian mereka amat ciut jika dibandingkan dengan media kemarin sore seperti Panditfootball, Fandom, atau bahkan Tirto.

Saya jadi punya pertanyaan. Bolasport.com, anak kandung BOLA yang masih hidup, sanggupkah mereka mengambil “posisi yang semestinya” dalam carut marut sepak bola Indonesia?

**

Sejauh ini sudah ada dua tulisan saya di Suarr yang bertemakan sepak bola. Kepada siapa saya berterima kasih atas “kemampuan” menulis sepak bola, hanya ada satu jawaban: Tabloid BOLA. Jika di kehidupan pesantren dikenal adanya sanad keilmuan, maka sanad saya, kalau dirunut, akan tembus ke jurnalis-jurnalis BOLA seperti Weshley Hutagalung, Ian Situmorang, atau Firzie A. Idris.

Tatkala Bang Firzie, orang yang menghubungi saya sewaktu mengisi kolom di Bolasport, mengumumkan perjalanan BOLA akan diakhiri pada edisi ke 2.915 (Jumat, 26 Oktober 2018), saya turut merasakan mengapa semua orang mengucapkan #TerimaKasihBOLA: tenggelam dalam nostalgia. Dan karena saya saat ini terhitung menggantungkan hidup dari menulis sepak bola, maka bisa dipastikan, saya selamanya berutang pada BOLA.